Tulisan fb Daniel Taruli Asi Harahap, 1 juli 2019
Sejak kemarin saya menerima belasan WA yang menshare video keributan di gereja HKBP Kayutinggi DKI sekaligus meminta pendapat saya tentang peristiwa menyedihkan tersebut. Jawaban saya terhadap belasan WA itu seragam pendek: tanya Praeses DKI dan Ephorus. Saya tidak paham. Sejujurnya itu jawaban jengkel bercampur malu dan putus asa. Sekaligus malas mengetik panjang2 untuk menjelaskan sesuatu di luar kendali dan pengaruh saya, kepada orang per orang pulak. (Menurut saya, seharusnya Pimpinan Pusat atau Praeses DKI mengeluarkan pernyataan resmi tentang menyikapi peristiwa tersebut. Bukannya mendiamkan atau membiarkan video itu bagi api yang menjalar ke segala penjuru.)
Senin pagi di hari libur pendeta ini saya ingin menyampaikan beberapa hal yang kiranya dapat menjadi permenungan kita bersama dalam rangka melanjutkan benci tapi rindu ber-HKBP ini.
Pertama: hubungan pendeta dan huria itu jodoh-jodohan atau cocok-cocokan. Saya percaya semua Huria (tentu termasuk Sintua dan anggota aktiv jemaatnya) pada dasarnya baik. Dan saya yakin semua kami pendeta juga pada dasarnya baik. Tapi bisa jadi chemistry antara Pendeta A dengan Huria X tidak pas alias tidak jodoh akhirnya hanya cekcok kerjanya. Sebab itu ketika serah terima jabatab di Balikpapan Baru dua tahun lalu saya sampaikan di hadapan Praeses dan Parhalado semoga Balikpapan Baru ini adalah jodoh saya. Dan sejauh ini demikian. Tidak tahu besok. 🙂 Sebab itu fungsi Kantor Pusat sebenarnya mirip juga dengan Biro Jodoh: mempertemukan dua pihak yang sama2 baik dan saling menyukai.
Saya punya pengalaman dulu di Serpong. Kolega saya si A konflik dengan parhaladonya di huria X dan kolega saya satunya lagi si B juga konflik dengan parhaladonya di huria Y. Saya katakan kpd Praeses waktu itu Pdt Lukman Panjaitan jangan2 ini hanya soal rongkap. Bagaimana kalau kita tukar saja tempat kedua pendeta (menunggu SK Pusat). Praeses setuju. Jadilah kedua pendeta di dua pagaran tukar tempat. Apa yang terjadi? Baik pendeta A maupun pendeta B sukses. Huria X dan huria Y happy.
Dari sini saya semakin yakin bahwa hubungan pendeta dengan huria memang tidak bisa dan tidak guna dipaksakan. Berbeda dengan GKI hubungan pendeta HKBP dengan Huria bukan perkawinan seumur hidup melainkan “pacaran” beberapa tahun saja. Sejauh ini memang saya belum pernah tidak cocok apalagi pisah secara kelahi dengan Huria yg saya layani. Namun saya juga tidak mau cepat2 menghakimi kawan pendeta yg cekcok dengan Hurianya. Dalam pikiran saya mungkin tak jodoh. Ya kalau memang hubungan pacaran tidak bisa lagi dilanjutkan ya pisah saja baik2. Tidak usah pake acara bertumbuk atau pukul2an.
Kedua: Di HKBP pendeta ditempatkan di suatu Huria bukan hanya sebagai pengkotbah dan konselor melainkan juga manajer dan pemimpin. Dan untuk membantu atau sebaliknya mempersulitnya memanage dan memimpin Huria itu ada sejumlah Sintua yang bersama-sama si pendeta menjadi Parhalado. Seringkali para Sintua itu adalah para pendiri dan perintis Huria itu atau sudah lama melayani di Huria itu, dan punya banyak pengaruh dan link dalam Huria tersebut. Pengalaman saya hampir 30 tahun pendeta, kesuksesan seorang Pendeta di HKBP tergantung bagaimana dia mampu menjadikan Parhalado itu mitra, ujung tombak dan perisainya memimpin dan memanage Huria. Seorang pendeta yang gagal memimpin Parhalado di Hurianya sudah bisa dipastikan akan gagal memimpin Jemaatnya, atau minimal sangat rentan kepada konflik besar. Sebab itu jujur saja dimana pun saya ditempatkan saya tidak mau merendahkan apalagi berkonflik dengan Parhalado. Memecah belah Parhalado juga sangat riskan demikian pula merekrut sendiri siapa yg jadi Parhalado. Lebih baik si pendeta memposisikan dirinya sebagai maestro dan para sintuanya sebagai pemain musik kawakan.
Pendeta salah (saya bicara umum) jika menganggap Parhalado adalah saingan apalagi musuhnya. Semua Sintua harus menjadi partnernya minimal tidak menjadi lawannya. Untuk mendampingi dan memimpin Parhalado itu diperlukan “sahala” atau wibawa. SK penempatan dan gelar akademik teologi hanyalah sebagian kecil dari sahala yang diperlukan untuk memimpin Parhalado. Sahala yang lebih besar didapat melalui karakter kejujuran, keberanian dan kesederhanaan, iman dan kasih, ketrampilan berkomunikasi dan bernegosiasi, hikmat dan persahabatan. Celakanya hal2 ini justru sangat sedikit diajarkan di kampus dan latihan persiapan pelayanan. Sayang saya tidak pernah diundang memberi sesi di LPP. Jika diundang saya akan kasi sesi dengan judul: Panduan Bagi Pendeta Mendampingi dan Meneguhkan Haparhaladoon (tentu dengan honor sekian juta plus tiket bpp-silangit, ongkos lokal dan penginapan hehehe). 🙂
Ketiga: Pendeta harus selalu di tengah sebab itu siap2lah kesepian. Di Huria itu ada banyak sekali kelompok: resmi dan tidak resmi, besar dan kecil, kelihatan dan tak kelihatan. Dalam kelompok itu ada lagi kelompok. Pendeta harus selalu di tengah. Mungkin kadang karena kebutuhan dia bergeser ke kiri atau ke kanan, namun harus segera kembali ke tengah. Sebab itu dia berkawan dengan semua pihak sekaligus tidak berpartai dengan pihak manapun juga. Dan posisi itu pasti membuatnya kesepian. Dan itu salib yang mesti dipikulnya. Pendeta sebagai pimpinan jemaat juga tidak bisa berpikir sektoral. Dia harus memikirkan semuanya mulai dari anak2 sampai lansia, dari yg paling miskin sampai yang paling kaya, dari wijk satu sampai sekian. Itu pasti membuatnya sangat capek juga stress dan itulah juga salib yang mesti dipikulnya. Dan paling baik jika dia mampu membagi salib itu ke parhalado Hurianya. Dengan kata lain walau masih muda pendeta harus memposisikan dirinya sebagai bapa atau ibu yang mencintai semua anak2 yang dipercayakan kepadanya. Bisa jadi ada yang menyakiti hatinya (atau sebaliknya malah si pendeta yang menyakiti) namun jangan pernah merasa benar 100 persen (cukup 70 persen saja, supaya ada pintu dialog).
Pertanyaan: andaikan (semoga tidak pernah terjadi) saya ditempeleng di hadapan orang banyak oleh anak saya sendiri siapakah yang paling salah dan bertanggungjawab dalam hal ini? Haruskah saya membalasnya setimpal? Haruskah saya melaporkannya ke polisi?
Keempat: Pendeta dan Sintua sama2 butuh piknik. Jangan taunya cuma marsermon dan maradat. Pergilah jalan2 ke kebun binatang, nontonlah berdua istri, makanlah di warung pinggir jalan bersama anak2, tanamlah bunga, belajar bikin jus, atau berenang lama2. Hidup berjemaat di satu sisi sangat mendamaikan hati namun di sisi lain bisa bikin pusing dan susah tidur. Jangan mau stroke karena mikirkan hkbp. Sebab hkbp ini akan jalan terus walau Anda sakit atau mati. Sebab itu rileks saja.
Di waktu serah terima jabatan di Balikpapan dua tahun lalu saya katakan saya menerima SK mutasi ke Balikpapan Baru bukan untuk susah. Persoalan saya sudah banyak. Saya tidak kekurangan masalah. Sebab itu jika ada persoalan yang berat akan saya serahkan kepada Praeses. Saya juga datang ke sini bukan mau konflik. Saya mau bahagia.
Sebab itu yang pertama-tama saya lakukan di Balikpapan Baru adalah menyenangkan hati saya. Sebab jika hati saya senang maka saya akan semangat melayani. Dan saya juga tidak mau hidup saya empat enam tahun di Balikpapan sia-sia apalagi dalam berjauhan dengan keluarga. Saya pun berusaha melakukan hal-hal bermakna walau kecil dan sederhana mi. Sesekali saya pergi makan kepiting atau minum wine. Atau jalan2 berdua dengan Martha. Tugas gereja dilakukan dan masalah diselesaikan namun jangan lupa bahagia. Agar tidak suka konflik di gereja perbanyaklah piknik dan rekreasi.
(Bersambung)
Your article helped me a lot, is there any more related content? Thanks! https://accounts.binance.com/kz/register-person?ref=RQUR4BEO