Rakyat, obsesi abadinya
        (Bang Taufik Kiemas dan Bung Karno)

                       by:  Saut Sirait

Pada 8 Juni 2013, rasa sedih menghentak sanubari. Bang Taufik Kiemas, yg saat itu masih Ketua MPR dikabarkan meninggal dunia. Keesokan harinya dilaksanakan upacara penguburan, dgn inspektur upacara Presiden SBY. Saat jenazah tiba di TMP Kalibata, saya konsentrasi, bermenung menggali memori, moment2 perjumpaan dgn Bang TK.
Ada yg unik dalam perjumpaan pertama. Maret 1993, saya dirawat di RS PGI Cikini. 2 hari kemudian Bang Panda Nababan masuk untuk dirawat. Dan, 2 hari kemudian Bang TK masuk untuk pemeriksaan jantung. Bang Panda kemudian membawa saya ke kamar Bang TK.
“Fik, ini adik kita, pdt saut sirait, direktur departemen pemuda HKBP dan sedang berjuang melawan intervensi militer bersama abang gua, soritua nababan” ujar Bang Panda. Saya langsung menunduk menghampiri dan menyalam. Bang TK yg tengah baring langsung duduk, menyalami dgn erat dan penuh semangat mengatakan: “Saat seusiamu saya dengan Panda sdh dipenjarakan Rezim ini, jadi jangan pernah gentar”.

Saat itu, tepatnya 1 tahun sebelumnya, HKBP sedang dilanda kehancuran. Pangdam I Bukit Barisan dalam kapasitas sebagai Ketua Bakorstranasda mengeluarkan SK pengangkatan Pj. Ephorus (pimpinan tertinggi HKBP) dan dilantik pada 31 Des. 1992. Tindakan yg tidak pernah dibayangkan,  menabrak segala fondasi hukum, theologia dan agama. Dan, HKBP terbelah dua dari atas sampai ke bawah. Kelompok yg setia di bawah konstitusi menamakan diri Setia Sampai Akhir (SSA) di bawah kepemimpinan Ephorus Soritua Nababan dan kelompok dukungan militer, dgn nama “Sai Tiara” yg memakai PWT Simanjuntak dan Sountilon Siahaan sebagai bonekanya.
Ketika Bang Panda mengakatakan bahwa saya adalah mantan Ketua GMKI Jakarta, Bang TK tambah bersemangat memotivasi saya. “Saya mantan Ketua GMNI Palembang”, ujarnya.
Pembicaraan kemudian bertambah “hangat” menyangkut kondisi politik, antara Bang Panda dan Bang TK. Intinya, tindakan Rezim Soeharto terhadap HKBP adalah tanda-tanda kehancurannya yg semakin mendekat. Bang Panda dan Bang TK ternyata sdh sangat akbrab, satu ideologi dan senantiasa berjuang untuk “menumbangkan” rezim. Mereka menyarankan agar saya tetap berjuang dan mengembangkan jaringan dgn kawan2 di luar HKBP.
Pada tahun itu, Kongres GAMKI akan diselenggarakan. Secara tidak langsung perjumpaan di rumah sakit itu menginspirasi saya untuk maju merebut Ketum GAMKI. Pada Kongres GAMKI di Kinasih Bogor, Oktober 1993, saya berproses dan mendapat dukungan luas. Bang Moxa Nadeak (Alm),-abang angkat saya,- bersama cabang2 GAMKI sdh memastikan akan terpilih. Namun di saat akhir, Ketum yg sdh dibehentikan, karena sdh melampaui periode, Bang Alex Paat, mengadukan penyelenggara Kongres ke Polisi dan kepolisian langsung bertindak, dengan memanggil Ketua Umum pelaksana Kongres, Bang Moxa dan Pj. Ketum GAMKI  Bang Alex Litaay (Alm, jadi Sekjen pertama PDIP). Atas laporan Bang Alex Paat, kondisi Kongres berubah. Semua tiba pada pemahaman, dengan adanya kasus HKBP yg sedang berhadapan dgn Rezim, bila saya memimpin GAMKI, gerakan Alex Paat pasti menang. Saya pun menyadari hal itu. Pdt. Dicky Mailoa, yg saat itu sangat membela HKBP SSA, akhirnya disepakati mayoritas untuk Ketum, dan terpilih. Saya kemudian diangkat menjadi salah satu ketua.
Saya dan Bang Dicky total satu ide atas realitas politik. Pada Kongres KNPI tahun1996, atas permintaan khusus saya, dengan dukungan Bang Dicky, delegasi GAMKI mengeluarkan pernyataan tertulis yg dibagikan kepada peserta dan pers dgn isi: “Supaya Kongres KNPI tidak mengeluarkan pernyataan dukungan kepada Bapak Soeharto”. Bang Dicky (Ketum), Bung Baltasar Tarigan (Ketua), Saut Sirait (Ketua),  dan Joice Worotikan (Wasekjen) menandatangani pernyataan itu. Satu dari delegasi Ohio Halawa (Sekjen, alm) tidak bersedia menandtangani. Pernyataan itu jelas sangat beresiko, Presiden Soeharto masih sangat kuat.  Namun itulah keyakinan iman kami berempat selaku pimpinan pusat GAMKI.
Pasca Kongres KNPI upaya perlawanan yg semakin formal dilakukan. Bersama Ahmad Basarah (Sekjen GMNI, kini Wakil Ketua MPR dan Ketum PA GMNI) dibentuk Forum Kebangsaan Pemuda (FKPI), Kelompok Cipayung yg diperluas, dgn HMI MPO, 13 ormas mahasiswa/pemuda pada tahun 1996. FKPI kemudian menggalang dukungan LSM. Menjelang SU MPR 1998, 13 ormas yg tergabung di FKPI dan 14 LSM menandatangani pernyataan menolak Soeharto jadi calon Presiden.  Di bawah komando Ahmad Basarah, 9 orang berangkat ke Markas ABRI di Cilangkap menghantar pernyataan itu. Revolusionir-Progresip, disuarakan Ahmad Basarah pada waktu, dengan akad, kita siap untuk “kembali tinggal nyawa” (semoga suatu saat Mas Basarah dan Cak Imin membentuk Tim penulis untuk kiprah FKPI yg lengkap).
Kembali kepada Bang TK, yg menjadi “ultimate concern” tulisan ini. Sesunguhnya spirit dan dukungan Bang TK  terhadap proses2 yg dilakukan FKPI dan simpul-simpul gerakan perlawanan lain, teramat kental. Sangat tidak mungkin dilepas darinya, termasuk kepada diri saya pribadi. Secara langsung atau melalui Bang Panda, pesan dan dukungan Bang TK, selalu mengalir. Namun, hal yg paling fundamental adalah sikap dan pernyataannya di Kebagusan (rumah beliau, yg berfungsi jadi rumah perlawanan rakyat).  Di samping dgn Ahmad Basarah, saya rutin ke sana bersama simpul-simpul lain, baik korban2 Soeharto, mantan Napol dan pelbagai LSM. Dalam setiap perbincangan dgn Bang TK, perkataan yang selalu keluar adalah: “kalau rakyat sudah datang kepada kita, ke rumah ini, siapapun tidak akan sanggup mengalahkan”.
Pasca serangan gerombolan “rambut cepak” yg dipimpin boneka rezim, Panangian Siregar (Sekjen PDI Soerjadi), dalam kerusuhqn 27 Juli, (KUDATULI) kedatangan rakyat ke Kebagusan semakin banyak dan bergelombang. Hal itu kemudian diikuti kedubes, terutama sekretaris 1 dan atase pertahanan negara2 Eropa dan Asia.
Rakyat, sungguh menjadi andalan utama dalam spirit Bung TK. Apabila rakyat dari daerah2 datang, entah itu 2, 3 atau 20 orang, Bang TK selalu memberi prioritas kepada mereka. Rakyat itulah “ideologi”, subyek dan tujuan politik Bang TK. Kepercayaannya kepada rakyat hampir identik dgn kepercayaan kepada Allah yg disembahnya. “Tidak menyakiti, tetapi mendengar dan melayani rakyat” adalah jiwa raganya dalam masa-masa perjuangan dan perlawanannya pada rezim Soeharto.
Bang TK yang lahir pada penghujung tahun, 31 Des 1942 itu, sungguh menjadikan rakyat sebagai obsesi pencapaian cita-cita politiknya.
Hal yg sungguh mengagetkan dan menurut saya dari perspektif kristen, ada suatu penampakan sikap, putusan dan tindakan “Injili” yg dilakukan Bang TK. Dan, hal itu sangat jelas, tidak lepas dari kecintaannya pada rakyat.
Menjelang pencalonan Presiden pada tahun 2004,  dengan tandas dia mengeluarkan perkataan: “Jenderal anak-anak pada SBY”, yg pada waktu Menko Polkam. Banyak yang mengaitkan kemenangan SBY pada Pilpres 2004, tidak terlepas dari  pernyataan sumbang Bang TK. Emosi elit-elit politik bagai tersulut dgn pernyataan yg bernada sombong itu.
Namun, makna “Injili” justru berangkat dari realitas itu. Ketika kekuasaan sdh di tangan SBY, Bang TK tidak bersikap picik atau apriori. Sikap pengosongan diri, merendahkan hati bahkan “menjatuhkan” diri dilakukannya. Bang TK pergi ke Istana dan maju sebagai Ketua MPR. Banyak komentar negatif dan kecurigaan pada Bang TK, dgn ambisinya untuk menjadi Ketua MPR, di saat SBY yg disemburnya dgn kata-kata yg bernada penghinaan menjadi penguasa.
Namun bagi yg mengenal TK, semua tahu, ada misi suci yg hendak diwujudkannya. Dia rela u “melacurkan” diri bagi kemuliaan rakyat, persatuan bangsa yg sangat dicintainya. Bang TK sadar, bila “harga diri” menjadi pertaruhan di atas kepentingan bangsa, maka kehancuran akan menjadi kepastian. Bang TK sadar, sepenuh-penuhnya melihat keadaan bangsa secara utuh. Hal itulah yg terpenting dan segala-galanya baginya.
Sadar atau tidak, setuju atau tidak, paska reformasi, Pancasila tidak lagi memiliki kekuatan. “Segregasi ideologi” yg menjadi “jaminan” perpecahan bangsa, sdh mulai terjadi. Ideologi tanpa “ideologi” atau Pancasila tinggal menunggu kematian, adalah realitas pada saat itu.
Dengan meraih Ketua MPR, Bang TK kemudian menggiring MPR untuk mengeluarkan kebijakan dan program 4 pilar. Dapatkah kita membayangkan Indonesia tanpa Pancasila?
4 pilar Pancasila, kembali membangunkan, membangkitkan kesadaran kita mengenai status konfesionis Indonesia: Pancasila. Sungguh tindakan yang sangat Alkitabiah, bagi saya.
Bila hari ini 8 Juni 2019, 6 tahun haul Bung TK, dan 188 tahun kelahiran Bung Karno (6 Juni 1901), saya sangat terharu dgn “pidato” Mas Ahmad Basarah (yg dgn khusus diperintahkan Bang TK untuk mencari, menggali dan menguasai dokumen tentang Pancasila dan proses kemerdekaan, yg kemudian telah menjadi disertasinya di Undip dgn judicium excelent dan 5 Novel) dan tausyiah Prof. Jimly Asshiddiqqie. Ada perjumpaan, benang merah antara Bung Karno dgn Bang TK: rakyat dan Pancasila. Satu sang “penyambung lidah rakyat” dan satu lagi “pemercaya rakyat”. Satu “pencetus Pancasila”, yg satu lagi “penyelamat Pancasila”.
Prof. Jimly menjadi pakar hukum yg menghantar “pahlawan proklamator” kepada Bung Karno. Ahmad Basarah menyatakan dalam pidatonya: “sekiranya Bang TK masih hidup, keadaan tidaklah seperti sekarang”.
Saya seperahu dgn Mas Ahmad Basarah. Jelas, sekiranya Bang TK masih bersama kita, saya yakin, “212” tidak akan ada. Jika Bang TK masih ada, Pilpres Indonesia tidak akan seperti sekarang. Politik identitas, atas nama agama, nomenklatur kafir, tidak akan menjadi pisau yg menyakiti kita. Hanya saja, bila Prof. Jimly menghantar gelar “pahlawan proklamator” untuk Bung Karno, saya sedang menunggu Mas Ahmad Basarah untuk menjadi penghantar gelar untuk Bang TK tercinta. Penuh cinta, Bang TK. ( Terbayang pertemuan official, DKPP dengan Pimpinan MPR  Mei 2013, sebulan sebelum kepergiannya. Saat kata sambutannya selaku Ketua MPR, Bang TK berkata, …juga “Bang pendeta Saut Sirait”. Ah,   kesedihan jadi bertahan di hati.).

Jkt 08062019

One thought on “

  1. I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *