Celoteh Laris Naibaho

BEREBUT KABUPATEN DUA

Desas-desus kini mulai muncul. Agak ramai. Konon, Pasangan Kabupaten, pecah kongsi. Benar atau tidak, namanya juga desas-desus, kadar faktanya diragukan.

Di negeri jauh, pecah kongsi itu biasanya muncul ke permukaan jelang masa akhir jabatan. Sebabnya, ini sudah menjadi rahasia umum, dipicu oleh ketidaksesuaian pembagian tugas, atau bisa juga karena pembagian rezeki yang tidak merata,  atau ada penyimpangan untuk  hal-hal yang mereka sepakati saat mulai berkongsi. Yang terbanyak ialah, ini agak-agak berkaitan dengan teori Aktualisasi diri : Menjadi nomor satu itu, woo. Kalau bisa nomor 1 mengapa harus nomor 2? Jadi nomor dua sangat ingin menyodok ke atas. Sebabnya, itu lho, getaran luar biasa dari sanubari,  saat dipanggil, “ The Winner is…” Maka untuk meraih itu, berapapun harganya, ibarat di meja QQ, rela melakukan “Selon”. Bila menang ke Istana. Andai kalah, “mulak ma au tu huta ni damang-dainang” sambil melantunkan lagu pilu, “Na hutuntun do lomokku umbaen hutaon ma na songon on….”

Tampaknya, masih hiburan lepas senja, jika dalam waktu dekat ini,  kita mampu menyapu atau meniadakan “Politik Uang” dari hutatta. Karut marut pemikiran masyarakat  antara kebutuhan jangka pendek dan kebutuhan jangka panjang masih adu jotos. Uang 200-300 ribu apalagi sd 500 ribu, bukanlah jumlah yang kecil bagi orang tertentu, karena itu menyangkut beras untuk satu bulan. Dia tak akan mampu berhitung, bahwa 500.000 dibagi (5 x 365 =1825 hari)= hanya Rp 274/hari. Sebuah jumlah yang bahkan, beli bon bon saja tak cukup. Kuat dugaan, slogan itu “Lenyapkan Politik Uang”, masih hanya sekedar buayan. Sekedar nyenang-nyenangin, atau hanya sekedar mengubah mimpi buruk menjadi mimpi indah. Di dunia nyata itu masih bulsit, kecuali ada figur yang sangat kuat dan berpengaruh, baik ucapan-ucapannya, maupun tindak lakunya selama ini di masyaraka yang , berani maju untuk bertarung dengan pekikan, “Ini dadaku, mana dompetmu?”
***

Sampai dengan sekarang, belum ada yang bernyali turun ke gelanggang menyampaikan hasratnya maju Cabup di 2020. Ada rasa khawatir begitu dalam, kalau-kalau si incumbent akan menutup saluran di mana-mana. Kecuali itu, masyarakat di sana, akan hiruk-pikuk bertanya, “Berapa modalmu?” Soalnya, pengalaman di negeri sebelah, jika bertarung dengan modal 1 lawan 1, petahana belum pernah kalah,  kecuali, sekali lagi, kecuali figur yang maju sebagai Cabup itu, ruaar biasa cerdas dan selama ini dikenal pula track recordnya sebagai “haus untuk berbakti kepada masyarakat”.

Dengan realita seperti itu, kini mulai ada yang kasak-kusuk, untuk melamar jadi Kabupaten-2 (2020-2024). Beberapa orang, konon sudah mulai bisik-bisik, berani kursi Kabup-2 itu harus dibayar. Tak soal harus membayar  dengan jumlah yang agak besar, karena mendampingi petahana selama 5 tahun, kecuali modal itu akan balik, juga sekaligus sebagai kampanye untuk maju sebagai Pilbup di periode selanjutnya, sebab Bupati petahana tak lagi bisa ikut bertarung, karena UU tak membolehkan bisa menjabat 3 kali.
**
(Selamat menyongsong hari Minggu)–
tulisan berikutnya : Kabupaten-2 dan Lelang Bertingkat Naik

KASAK KUSUK CABUP 2020
Catatan Laris Naibaho, Fb 20/6/19
Di hampir semua daerah yang ada di Indonesia, anjuran ini hidup sejak dulu. Tak terkecuali di hutatta, “Jangan beli kucing dalam karung”. Tentu yang dimaksudkan ialah, agar terjadi kehati-hatian, supaya tidak tertipu. Karena di mana pun, belum ada perilaku penjual kucing secara karungan. Juga belum pernah ditemukan pembeli kucing karungan. Kalau untuk gadong judur-ubi rambat atau attirha-singkong, biasa itu. Jamak ada satu dua yang rusak atau tak lagi layak untuk di masak.

Kehati-hatian perlu di zaman yang berkilau dengan kemasan. Semboyan salah satu pembasmi ketiak, “Mulanya begitu menggoda, selanjutnya terserah anda.” Agak bau-bau romantis memang. Yang dimaksudkan, tentu saja, ada keengganan seorang pemuda melanjutkan godaannya terhadap gadis yang ditemuinya itu billokon. Apalagi dengan bau ketiak. Namun, jika si gadis tak billokon dan memancarkan harum mewangi, masuklah rayuan pulau kelapa, “Boleh kenalan, dek?”

Di zaman 4 G ini, kemasan menduduki tempat teratas. Baru diikuti dengan kwalitas. Tapi secara apriori, kita sebut saja,  kemasan itu  sudah menyatu dengan kwalitas. Bayangkan jika sebuah Restoran di hutatta, yang menyajikan bepeka dan arsik ikan mas, enak secara rasa, tapi  bau pesing dari toilet dan lanok berdansa ria di meja, Amang tahe! Bagi yang datang dari kota yang sudah menempatkan kebersihan menjadi yang utama, tentu akan ngacir. Maka tak heran, ada seorang pengusaha minuman, yang kini menguasai pangsa pasar di Indonesia, merasa perlu memesan kemasannya dari Korea Selatan. Selain indah, bagus, juga memenuhi stantar Internasional. Botolnya itu jika, menjadi sampahpun akan busuk dan berfungsi sebagai pupuk tanah.
***
Jelang 2020, banyak sosok yang mulai “Jual tampang”. Kemasan-kemasan yang ditampilkan ke masyarakat, bolehlah. Cukup aduhai. Mereka itu, ada yang dari  pengusaha, artis gagal, tak ketinggalan dari pensiunan  ANS maupun yang pundaknya pernah ada bintang. “Jabatan Bupati memang menggiurkan,” ujar seorang, ketika kami bincang ria sambil ngopi di samping sebuah Gedung pesta. Kami memilih ke luar dari Gedung, karena tak sanggup di dalam mendengar suara yang mingor karena pertarungan mic paranak dan parboru. “Fasilitas yang Bupati yang didapat Bupati pun penghargaan dari masyarakat sangat  luarbiasa,” katanya. “Bahkan ada sebagian masyarakat, merasa,  pestanya akan menjadi sangat luarbiasa dan dianggap bermartabat kalau dihadiri Bupati. Padahal holan pesta tardidi do…” sambungnya.

Soal tampang atau kemasan inilah menjadi masalah. Apakah semua kemasan-kemasan yang mereka tampilkan adalah tidak hanya sekedar memperindah, atau memang mencerminkan isi,  dengan maksud agar terpilih? Atau hnya sekedar daya tarik untuk mengecoh rakyat, , tanpa dirinya tahu, apa sih yang menjadi pekerjaan seorang Bupati? Soalnya, pada diskusi lain, seorang artis yang dulu sangat terkenal menyebutkan, “Yang penting terpilih dulu. Jadi Bupati itu tidak sulit. Setelah terpilih, kita tinggal delegasikan semua tugas ke Kadis. Tinggal minta laporan ini dan itu, karena pada dasarnya, apa-apa yang mau dilakukan atau dikerjakan di Kabupaten itu, ada di tangan Kadis. Sebagai seorang yang terpilih jadi Bupati, dan kita sebut saja itu sebagai jabatan Politis, tinggal ongkang-ongkang saja,  dan perintah ini itu serta minta laporan, selesai,” paparnya.

Pernyataan artis ini, agak-agak ada benarnya, jika dihubung-hubungkan dengan Kabupaten -1 yang lalu dan yang kini sedang menjabat. Lihatlah misalnya, bahkan ini sangat memprihatinkan, sebuah kejadian, sengaja atau pura-pura, ada bawahannya yang membuat Surat Keputusan (SK) yang melebihi kewenangannya, sementara si Bupati tak tahu atau tidak menyadari itu keliru, dan keluarlah statemen dari Pejabat itu : Saya Akan Melakukan  PERLAWANAN TERHADAP SI ANU…***

2 thoughts on “

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *