CATATAN PARADOKS SEORANG WARGA
Seandainya Menang/Dimenangkanpun, Akan Jadi Bumerang

Sangat mendesak, supaya para tokoh yang tidak menghindari ungkapan yang mengatakan; ”Kalah Jadi Abu, Menang Jadi Arang”.

Oleh Miduk Hutabarat @ Aktivis Lingkungan & Budaya

Bapak Ibu dan rekan-rekan yang saya hormati, saya kira tidak berlebihan jika mengatakan, “Pilpres 2019 bukannya semakin merajut rasa kebangsaan diantara warga, justru fanatisme masing-masing paslon telah merobek sendi-sendi masyarakat Indonesia.

Menhan Jendral (Purn) TNI Ryamizard Riacudu telah melotarkan pernyataannya & diposting melalui  YUTUBE dan dikutif media online dan cetak. Yang mengatakan, mmenurut analisa Beliau, setelah mencermati kondisi paska Pilpres, potensi akan terjadi konflik yang lebih besar dari kejadian 21-21 Mei. Yakni pada saat diumumkannya hasil gugatan tim BPN paslon 02 oleh MK Juni 2019. Jika hal itu terjadi, TNI akan akan mengambil alih keamanan.

Beberapa jam setelah membaca pernyataan tersebut, Senin, 03 Juni 2019 malam saat mau mandi, saya teringat tentang catatan refleksi akhir tahun 2018 yang saya tulis. Waktu itu saya sudah memutuskan akan mencoblos kedua paslon. Sebagai bentuk protes saya atas ketegangan yang ditimbulkan kedua Paslon.

Mengingat dari info yang beredar, ketegangan telah membuat ratusan keluarga menjadi berpisah. Maka atas dasar itu, saya memutuskan untuk mendiskualifikasi kedua Paslon.

Namun sembari waktu berjalan, tepatnya setelah masa kampanye berlangsung, setiap ada waktu luang saya mengikutinya dari sosmed. Materi Pidato Kebangsaan Prabowo Subianto di gelora Istora Senayan Jakarta Kamis, 29 Januari 2019 telah memberi catatan khusus buat saya. Kemudian mengikuti postingan kampanye lainnya, ternyata membuat perasaan saya kembali tentram. Dan oleh pikiran saya, kembali memutuskan menjatuhkan pilihan kepada PS-Sandiaga Uno. Alasannya sama seperti pilpres tahun 2014.

saya setuju dengan pandangan PS tentang paradoksnya Indonesia dan gagasannya untuk mereview kembali system pemilu yang sudah tidak mencerminkan lagi sila keempat Pancasila. Tidak bisa dipungkiri, Demokrasi kita sudah terlalu liberal. Berikutnya lagi, perhatiannya pada agenda swasembada pangan, penyediaan dan pengelolaan energi dan sangat mendesaknya membangun industri strategis Bangsa.

Pandangan beliau tentang pentingnya mengamankan sda dan aset negara serta menjaga kekayaan Indonesia supaya tidak mengalir keluar. Tetapi mengkapitalisasinya untuk membangun industry strategis, ketahanan pangan dan energi. Itulah sekilas pandangan saya atas pilihan yang diambil.

Saya setuju, sangat sulit bisa membayangkan dengan demokrasi yang sudah liberal ini akan mampu membawa kita ke cita-cita kemerdekaan. Buktinnya, toh tidak adanya satu contoh di negara Asia Tenggara atau Asia, maju dan sejahtera karena mengusung sistem demokrasi dengan pemilihan langsung. Jepang monarkhi, Korea Selatan, Korea Utara, Taiwan, Singapure dan bahkan Malaysia sulit untuk disandingkan dengan Indonesia dari luas, ragam dan jumlah penduduknya. Kecuali dengan Cina, sama-sama luas dan besarnya jumlah penduduk. Tetapi setelah Inggris menyerahkan Hongkong kembali ke Cina (1997), barulah Cina membuka dirinya terhadap dunia luar yang menganut system totaliter itu.

Karenanya, menjadi catatan penting buat saya, bahwa demokrasi Indonesia harusnya sesuai dengan sila keempat Pancasila. Tragisnya, setelah reformasi 98 berlangsung, kita telah mencampakkansistem demokrasi ala musyawarah mufakat tersebut. Hanya karena mendasarkan pemikiran, karena system ala mufakat telah memberi ruang bagi rejim orda baru untuk berkuasa selama tiga puluh tahun. Oleh barisan reformasi secara radikal menggantinya dengan sistem pemilu langsung berdasarkan perolehan suara terbanyak.
II

Kembali kepada rasa kuatir yang disampaikan Menhan paska diumumkannya hasil sidang gugatan tim BPN 02 atas SITUNG oleh KPU di MK. Saya pribadi bisa menerima berita tersebut. Kebuntuan politik antara kedua kubu membuat semakin rumitnya keadaan. Mengingat perseteruan tidak saja terjadi di elit politik tetapi sudah merasuk ke barisan para pendukung. Membuat kanal titik temu semakin kecil peluangnya.

Elit sendiri mengalami kesulitan untuk duduk bersama –sesuai dengan sila ke 4 dari Pancasila-, untuk membangun mufakat berdasarkan hikmat yang dipimpin oleh permsyawaratan dan keadilan. Membuat kedua kubu masih terus berseteru.

Sementara MK sebagai lembaga yang diberi mandat untuk menengahi gugatan oleh pihak yang dirugikan, oleh pihak yang dirugikan justru persoalannya bukan dalam hal adanya perbedaan selisih suara saja.Tetapi mengangkat persoalan telah terjadinya ketidakadilan dalam penyelenggaraan Pemilu. Disinilah kebuntuan yang harus diatasi itu.

Apa yang mau saya katakan adalah, Pilpres 2019 nampaknya adalah sesuatu yang sulit dan rumit. Kemelut merupakan akumulasi dari pertikaian Pilpres 2014 dan Pilgub DKI 2018. Hal ini harusnya menjadi kesadaran bersama kita, karena tidak bisa dipungkiri. Kekesalan itu telah melekat di memori para simpatisan dan barisan masing-masing paslon. Luka lama itu terus tergoncang yang membuat sulitnya pulih.

Oleh karena itu menurut saya, ada baiknya selepas idul fitri ini ada sejumlah tokoh yang tidak terlibat langsung dengan Pilpres memprakarsai suatu pertemuan. Mereka ini bertemu untuk mencari langkah konstruktif tentang apa yang akan dilakukan paska pengumuan sidang MK ke depan. Supaya kebuntuan politik mendapatkan jalan keluar. Dalam hal, jalan yang ditempuh dapat memberi perasaaan nyaman bagi masyarakat Indonesia. Apa yang harus dilakukan supaya hasil keputusan MK bisa diterima akal sehat masyarakat seluas-luasnya.

Sulit membayangkan, jika terjadi kekacauan besar dan atau konflik besar paska ditetapkannya hasil sidang gugatan MK. Haruskah kedua paslon dan barisan pendukung yang diminta bertanggungjawab?  Atau pihak yang berwenang, yakni Pemerintah yang sedang berkuasa cg yang menyelenggarakan pemilu?

Bila terjadi kekacauan. Apakah kedua paslon didiskualifikasi, kalau ya, lantas oleh siapa ? Untuk hal itu, kita serahkan saja kepada para pakar hukum tata negara untuk merumuskannya.

Demikian catatan paradoks saya untuk pilpres 2019.

Salam Nusantara @ MH

2 thoughts on “

  1. After reading your article, I have some doubts about gate.io. I don’t know if you’re free? I would like to consult with you. thank you.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *