Matinya Keadilan di negeri ini

Winston Jippi Johannes, Matinya keadilan di negeri ini, fn

Selasa, 21 Agustus 2018, Indonesia kembali mencatat sejarah kelam.

Untuk kesekian kalinya, keadilan lagi-lagi harus kembali takluk di bawah tekanan massa dari kelompok radikal garis keras di negeri yang mengaku sebagai “negara hukum” ini.

Pada hari itu, Meiliana, seorang ibu tiga anak keturunan Tionghoa di Sumatra Utara, divonis 18 bulan penjara lantaran mengeluhkan volume pengeras suara masjid yang dianggapnya terlalu keras.

Ia diseret ke pengadilan dengan tuduhan penistaan agama.

Meiliana menangis sesenggukan ketika Hakim Ketua Wahyu Prasetyo Wibowo, yang selama persidangan berada dalam tekanan kelompok Islam garis keras Forum Umat Islam, mengumumkan vonis hukuman terhadapnya.

Belum cukup sampai di situ, Meiliana harus kembali dipermalukan.

Ibu tiga anak berusia 44 tahun itu dibawa dari pengadilan dalam kondisi tangan diborgol layaknya penjahat kriminal.

Perkara ini berawal dari keluhan Meiliana terhadap volume pengeras suara masjid yang dinilainya terlalu bising.

“Kak tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid itu kak, sakit kupingku, ribut,” ujar Meiliana kepada tetangganya seperti yang dibacakan dalam tuntutan jaksa.

Setelahnya pengurus masjid sempat mendatangi rumah Meiliana. Namun tanpa diduga pertemuan tersebut malah membuat keadaan semakin meruncing.

Keluhan Meiliana ditanggapi dengan brutal oleh masyarakat Muslim setempat dengan membakar Vihara umat Buddha di sana.

Massa membakar dan merusak sedikitnya 14 kuil Buddha di kota pelabuhan Tanjung Balai di Sumatra Utara dalam kerusuhan Juli 2016 itu, setelah munculnya berita provokasi mengenai keluhan Meiliana tersebut.

MUI Sumatera Utara bahkan langsung menerbitkan fatwa penistaan agama kepada Meiliana.

Ia dituduh telah melakukan penistaan terhadap adzan yang merupakan bagian dari syariat Islam Agama Sempurna.

Meiliana akhirnya didakwa 18 bulan penjara dan mendekam di Rutan Tanjung Gusta sejak Mei lalu,

Sejak awal persidangannya, kasus ini sudah dibebani oleh tekanan Massa dari kelompok Islam garis keras terhadap pengadilan yang menuntut Meiliana divonis bersalah.

Sementara para pelaku kerusuhan yang membakar dan 14 vihara hanya mendapat hukuman ringan selama 1 bulan 15 hari potong masa tahanan oleh PN Tanjung Balai.

Seluruh pelaku kerusuhan bahkan langsung bebas ketika vonis diketok.

Tidak satupun pelaku kerusuhan yang dituntut dengan pasal penistaan agama, meski nyata-nyata telah merusak belasan tempat ibadah umat Buddha.

Pengacara Meiliana menyatakan akan mengajukan banding terhadap vonis hakim yang dinilai sangat jauh dari rasa keadilan tersebut.

Sementara itu kelompok radikal garis keras dari Forum Umat Islam justru menilai hukuman terhadap Meiliana terlalu ringan.

Vonis kontroversial terhadap Meiliana ini nyaris lenyap ditelan gegap gempita Asian Games 2018. Hanya beberapa media mainstream yang memilih untuk memberitakannya.

(VOA Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *