Tulisan Nestor Rico Tambunan, soal perilaku wisata
BANDARA DAN PARIWISATA….
Awal Agustus lalu saya ke Doloksanggul, lewat Siborongborong, bersama dua teman penggiat bisnis produk budaya dan secara terbatas menangani tur-tur wisata. Ketika bicara soal Bandara Silangit, salah seorang teman itu cerita pengalaman terbaru, ketika membawa rombongan wisata kecil dari Jakarta.
Si Teman membawa rombongan naik mobil sewa yang banyak dijajakan begitu keluar dari terminal Bandara. Silanggit. Mereka mau ke warung kopi dan homestay Piltik, milik fotografer Edward Tigor Siahaan. Tidak pakai tawar-menawar, karena dekat saja dari simpang arah ke Sipahutar. Pikir teman itu, paling Rp 100 ribu.
Tahu, apa yang terjadi? Si Sopir mobil itu ngotot minta Rp 300 ribu. Gile. Untuk mobil tipe Avanza atau Xenia itu sewa seharian kan? Haha… ya begitulah umumnya gaya Sumatera Utara. Kalau orang kelihatan punya duit, atau bisa dibohongi, embat aja. Bodo amat.
Saya jadi ingat pengalaman ketika mau pulang ke Jakarta, Februari lalu. Saya turun dari mobil Siantar di simpang ke bandara, dekat patung setengah manusia setengah ikan yang aneh itu, dan melambai ke angkot yang berisi anak-anak sekolah. “Ke bandara depan situ lae,” kata saya sambil naik. Sopir angkot itu melihati saya sejenak, lalu berkata, “Dua puluh ribu, ya?”
Saya heran. Saya tahu anak-anak sekolah itu, penduduk di situ biasa bayar beberapa ribu. Kenapa saya beda? Tapi saya jadi ingat “hukum embat” ala Sumut itu. “Terserah lae lah… satu juta juga nggak apa-apa!” kata saya kalem.
Hong wilaheng hong…! Semua orang seperti mengalami eforia ketika kawasan Danau Toba ditetapkan jadi salah satu destinasi tujuan wisata nasionaI dan internasional. Mau dijadikan Monaco of Asia, atau apalah. Apanya yang internasional? Emang wisatawan itu langsung datang ngeruyung kalau sudah ada bandara internasional dan kita teriak-teriak wisata.
Rumus wisata di seluruh dunia itu hospitality: keramahan, pelayanan yang baik. Rumus kedua, karakter, keunikan, terutama dalam budaya. No culture, no tourism. Orang datang ke Bali karena keunikan budaya dan suasana Bali. Orang datang ke Yogya, karena keunikan dan suasana Yogya. Lalu sekarang, orang datang ke Danau Toba, mencari apa?
Keindahan panorama yang kepingan surga dan kepingin surga itu? Kuburan Sidabutar yang selalu didramatisir itu? Pertunjukan sigale-gale yang verbal itu?
Panorama alam Danau Toba memang indah. Tapi orang nggak bisa mandi-mandi seperti di Raja Ampat, Bunaken, atau Wakatobi. Air danau itu tidak bisa disentuh karena sudah butek dan gatal, penuh limbah keramba, limbah hotel dan rumah tangga. Airnya makin surut pula, karena hutan sekeliling sudah hancur dan tak memproduksi air yang memadai. Ayolah, tak perlu ada dusta di antara kita.
Tapi biarlah itu urusan para pengambil kebijakan dan para pemangku kepentingan pariwisata di kawasan Danau Toba. Tapi ingatlah baik-baik “hukum” hospitality itu. Kalau orang-orang di kawasan di Danau Toba belum mengerti pariwisata itu bisnis jasa pelayanan, percumalah. Siapa yang mau datang untuk dtipu, diembat, dan dibentak-bentak? Apalagi kalau tidak ada yang menarik dinikmati. Kalau cuma melihat pemandangan aja sih, ya sudah, cukup datang sehari, atau semalam.
Jangan lupa pula, ini jaman komunikasi kilat internasional. Satu pelayanan tidak baik, akan tersebar seketika ke seluruh dunia. Begitu juga pelayanan baik. Jadi, baik-baiklah kalau ingin banyak orang datang ke Danau Toba dan memberikan pemasukan devisa buat masyarakat. Pelajari dan terapkan, binalah orang agar memahami rumus-rumus pariwisata itu.
Nama bandara? Taelah…nggak ngaruh kali. Menurut saya, itu menunjukkan kita ini masih senang bertengkar tanpa alasan yang mendasar atau krusial… manggulut imput ni leang-leang (maaf), seperti dikatakan JC Vergowen, 87 tahun yang lalu.
……..
Bapak ibu yang terhormat, sebentar lagi kita akan mendarat di Bandara Raja Sisingamangaraja XII, di Silangit, Siborongborong… Hati-hati, jangan sampai bapak ibu ditipu, dibohongi, atau dibentak-bentak….