TANO BATAK (3), GENERASI MARRAGAM-RAGAM
Oleh Nestor Rico Tambun
Suatu kali, A.E. Manihuruk, jenderal yang cukup lama dipercaya Presiden Soeharto menjadi Kepala BAKN (Badan Administrasi Kepegawaian Negara), dalam satu rapat dengar pendapat di DPR, dikritik salah seorang anggota DPR menganut sukuisme, karena mengangkat orang Batak jadi pegawai negeri dari seluruh daerah.
Dengan santai, dengan logat Bataknya yang kental, Pak Manihuruk menjawab yang isinya kurang lebih begini:
Jadi pegawai negeri itu syaratnya banyak. Jadi guru, syaratnya ini, ini, ini. Jadi suster di rumah sakit, harus ada ini, ini, ini. BAKN memproses pengangkatan pegawai berdasarkan pengajuan dan syarat-syarat itu. Kalau kurang, disuruh lengkapi. Semua sama. Seluruh Indonesia begitu.
Jadi, bapak ibu anggota dewan yang terhormat, kami tidak bisa mengangkat pegawai yang berkasnya tidak diajukan dan syarat-syaratnya tidak lengkap. Jadi, kalau yang mengajukan berkas dan syaratnya lengkap dari Semarang, dari Palembang, dari Jayapura, dari Kupang, atau Samarinda itu orang Batak, ya saya nggak tahu. Coba bapak ibu anggota dewan yang terhormat periksa, kenapa orang yang minta diangkat jadi guru dan pegawai pemerintah daerah dari Papua itu orang-orang Batak?
Anggota dewan itu terdiam. Seorang anggota dewan lain nyeletuk sambil tersenyum, “Pak Manihuruk dilawan….”
Kisah ini diceritakan seorang teman wartawan, orang Batak, yang meliput dengar pendapat itu. Tapi itulah salah satu gambaran keistimewaan orang Batak. Pegawai negeri orang Batak itu ada dimana-mana. Itulah hasil orang-orang tua yang berjuang menyekolahkan anaknya itu.
Akhir tahun 60-an – awal 70-an, standar pendidikan putra-putri Tano Batak itu sudah SLTA: SMA, STM, SMEA, SPG, SPK. Di banyak daerah masih banyak orang tak lulus SD, bahkan buta huruf. Mereka-mereka ini pergi ke berbagai daerah di Indonesia, pergi sendiri atau ikut saudara, dan melamar jadi PNS dari sana. Pada masuk, karena sedikit saingan.
Orang Batak bukan etnis besar, tapi karena begitu tersebar, mereka terlihat sebagai suku yang “a truly special”. Pergilah ke segala perguruan tinggi, pergilah ke segala kantor, dari di Sumatera, di Jawa, di Kalimantan, hingga pedalaman Papua. Di sana akan menemukan orang-orang bermarga. Jadi guru, jadi polisi, tentara, dokter, paramedis, pegawai pemda. Itu diluar yang kerja di perusahaan-perusahaan swasta, atau buka usaha.
Itu yang jalur sekolah. Seperti kita tahu, orang Batak juga “panombang” ulung. Di setiap daerah bukaan baru, pasti banyak orang Batak. Wilayah Riau kini sudah mirip tano Batak kedua. Dimana-mana kebun sawit orang Batak. Dari yang kecil hingga besar banget. Banyak yang jadi miliuner. Begitu pula di Jambi, dan daerah lain. Dari tempat panombangan inilah mereka menyekolahkan anak.
Nah, sekarang apa yang bisa diharapkan Tano Batak dari putra-putrinya yang tersebar di Nusantara ini? Bagaimana mereka ini memandang dan memperlakukan bonapasogit?
Kita harus realis. Orang-orang rantau yang merasakan hidup di kampung, dulu ikut bekerja keras dan hidup pahit bersama orangtua, umumnya masih ada rasa keterikatan dengan kampung, terutama kalau orangtua masih hidup. Sesekali mereka pulang untuk pesta, atau membawa anak-anaknya liburan.
Itu yang saya sebut di bagian awal tulisan ini. Kecintaan orang Batak pada kampungnya lebih personal, pada orangtua, pada keluarganya. Ya, mungkin kangen kampungnya, kangen lagu-lagu, makanan, dan sebagainya. Tapi tidak mencintai total, karena sadar kehidupannya sudah ada di tempat lain. Dia dan anak-anaknya tak mungkin Kembali.
Berbeda, misalnya, dengan orang-orang dari banyak daerah di Gunung Kidul, Kulon Progo, atau Bantul, yang dulu termasuk miskin karena sering kekeringan, yang contoh kemiskinannya saya ceritakan di awal cerita ini.
Kemiskinan membuat orang-orang dari daerah ini juga pergi ke kota, jadi tukang bakso, tukang jamu, jadi pembantu, atau pekerjaan lain, bahkan jadi TKI di luar negeri. Sering malah orangtua yang merantau, bapak jadi tukang bakso, atau ibu jadi bakul jamu, tapi anak-anak tinggal/sekolah di kampung.
Tiap bulan mereka mengirim uang ke kampung. Kantor-kantor bank-bank di daerah itu pasti tahu besar jumlah besar uang yang mengalir tiap bulan dari kota dan dari luar negeri ke daerah itu.
Di kota mereka hidup di kontrakan seadanya. Sukses bagi mereka adalah kalau bisa membangun atau memperbaiki rumah, atau membeli sawah di kampung. Kalau Lebaran, mereka ramai-ramai pulang. Pemerintah daerah menyambut mereka bak pahlawan. Daerah itu kini terlihat maju dan makmur, dari uang yang dicari di kota dan di luar negeri.
Batak tidak seperti itu. Kalau sukses di Bandung, ya bikin rumah di Bandung. Kalau perlu kawin dengan orang Bandung, nanti dikasih marga. Sukses di Pontianak, ya bikin rumah di Pontianak. Ya, kadang memperbaiki atau membangun rumah untuk orangtua di kampung. Tapi kalau orangtua sudah tiada, rumah itu sering jadi kosong.
Batak generasi anak-anak mereka lebih jauh lagi. Mungkin kenangan dan pemahaman mereka tentang orang Batak dan Tano Batak hanya sebatas ompungnya. Betapa tercengangnya kita melihat anak-anak muda Batak di kota-kota saat ini. Masih muda-muda, pintar-pintar. Banyak sekali, di segala bidang. Ya, karena umumnya keluarga Batak sangat mengejar pendidikan.
Suatu ketika, dalam pertemuan non-formal aktifis penyandang disabilitas, di sebuah café kopi, di Tebet, saya bertemu dengan seorang boru Sirait. Cantik, tidak kelihatan boru Batak. Umurnya baru 26 tahun, S2 dari Inggris, kerja di Bappenas, menangani bidang MDGs (pembangunan berkelanjutan) kalau tak salah, yang juga menyangkut disabilitas.
Saya tanya, boru Sirait dari mana? Dari Sirait Holbung. Saya kaget. Eh, kita satu kampung dong. Sirait Holbung itu nggak sampai satu kilometer dari Lumbanlobu. Itoan itu santai saja. Oya? Sudah lupa, karena hanya waktu kecil dulu pernah dibawa orangtuanya pulang ke sana.
Nah, kita harus realis menghadapi yang seperti ini. Kita sekarang sama-sama Batak. Tapi sebenarnya tidak sama lagi. Mungkin hanya kelihatan sama kalau ada pesta. Tapi dalam mindset kehidupan dan budaya, dalam memandang Tano Batak sebagai “bonapasogit”, mungkin sudah berbeda-beda.
Sebenarnya, yang diharap mempersatukan adalah budaya. Bahwa kita suku bangsa yang tua, dengan budaya yang sangat lengkap dan khas. Ada marga-marga, dengan huta-hutanya, ada rumus kehidupan Dalihan Na Tolu, ada rumah Batak, ada gondang, ada tortor, ada ulos, ada yang lain-lain.
Tapi semua akar-akar budaya itu kini kan mulai punah, termasuk di bonapasogit. Kini tak ada lagi yang bisa membangun rumah Batak. Sudah punah pande rumah dan panggorga. Kini kita manortor bukan dengan gondang. Sudah hampir habis pande gonsi. Kini kita manortor bukan dengan ulos Batak asli. Partonun ulos Batak asli tinggal beberapa gelintir.
Kini kita telah menjadi Batak yang marragam-ragam. Masih Batak. Masih ber-Dalihan Na Tolu. Tapi mungkin nilai-nilai Habatahon yang dianut orang Batak sekarang tidak sama lagi. Sudah dipengaruhi pandangan hidup lain, dipengaruhi sekte-sekte agama, dipengaruhi gaya kehidupan politik, dan macam-macam.
Tidak mengingkari ada juga orang Batak yang berbuat dengan niat ikut membangun daerah dan menolong orang di daerahnya. Tapi umumnya untuk kejayaan pribadi. Best practise perbuatan anak rantau untuk Tano Batak, mungkin Yayasan (SMA) Soposurung, yang merekrut anak-anak muda pintar, mendidik, sehingga semua masuk perguruan tinggi negeri terkemuka.
Lulusan SMA Soposurung kini ada dimana-mana, dan keren-keren. Tapi, apakah mereka ingin kembali dan mengabdi ke Tano Batak? Ya, saya kira mengutamakan karirnya. Agak pahit, tapi itu nyata. Tano Batak miskin karena membiayai anak-anak. Daerah lain, mengirim dan membawa yang ia dapat pulang ke daerah. Orang Minang juga banyak begitu.
Kita tahu, masyarakat pasti berubah. Kemana arah perubahan itu, tergantung masyarakat itu sendiri. Itu sudah rumus Ilmu Sosiologi.
Kayaknya, orang Batak, harus merumuskan ulang budayanya. Tano Batak harus memformat ulang kehidupan budaya yang baik. Jangan terlalu mengharapkan para Batak rantau, yang mungkin kebanyakan hanya sok heppot dan gittal. Pikiran dan cara pandangnya sudah beda. Cintanya sudah di lain negeri…
HUTA, BONA NI PINASA Nestor Rico Tambun
Setiap pulang kampung, saya merasa sedih melihat pohon hariara besar itu. Di bawah pohon itu dulu ada sumur. Airnya mengalir deras, bening. Kalau pulang sekolah, di SMPN Lumbanlobu, suka kepanasan dan haus. Mampir di sumur itu, langsung minum dari bak kecil yang terbuat dari kayu, lalu cuci muka.
Sekarang sumur itu sudah tidak ada, seperti juga tidak ada lagi rumah di huta (kampung) kecil itu. Dulu di sana ada satu rumah Batak, milik seorang namboru penjual gorengan, yang goreng pisang dan godok-godoknya terkenal enak di Lumbanlobu. Ah!
Beberapa tahun lalu, saya diajak anak saya yang berprofesi sebagai panggorga, pembuat ukiran khas Batak, di sebuah huta yang sudah kosong, di daerah Parmaksian, Porsea. Masih ada tiga rumah gorga (ukir) dan satu sopo di huta itu, tapi sudah terancam rusak. Ruma gorga yang tengah malah sudah mulai rusak parah, bagian depannya berjatuhan, dirambati tumbuhan rambat. Itulah foto huta yang saya jadikan ilustrasi di tulisan “Tano Batak (2), Ompung yang Tremor”.
Begitulah, huta (kampung) di Tano Batak kini banyak yang sunyi, bahkan kosong sama sekali tanpa penghuni. Rumah-rumah Batak yang harganya tak ternilai, satu per satu rusak dan hancur. Bahkan ada kampung yang sama sekali tidak ada lagi rumah, karena orang-orang tua sudah meninggal, dan anak cucu kampung sudah tersebar di rantau.
Sedih.
Kalau mau jujur, kondisi ini salah satu bukti pudar dan nyaris hilangnya kebudayaan Batak. Seperti saya sebut di awal tulisan “Tano Batak (4), Papangan So Jadi Pusung”, setiap orang Batak terikat dengan unit marga dan huta tertentu. Apa margamu? Dimana kampungmu?
Tiap orang Batak terikat dengan marga dan hutanya. Huta itu menjadi identitas adat. Huta itu pasti milik keturunan ompu tertentu, dari marga tertentu. Setiap orang Batak pasti punya “bona ni pinasa”, tanah asal, kampung halaman.
Huta atau kampung adalah wilayah teritorial otonom dalam kehidupan orang Batak. Tidak ada orang yang bisa atau berani mengganggu atau mencampuri urusan huta orang. Karena baik tanah, dan segala yang terjadi di huta itu, adalah otoritas raja huta dan semua warga keturunan di huta itu. Itu hukum positif dalam hak tenurial (pertanahan) dan kehidupan sosial dalam masyarakat Batak. Huta itu adalah hak teritorial dasar dalam hukum adat Batak.
J. C. Vergowen, dalam bukunya “Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba” menyebut huta sebagai “republik kecil yang merdeka”. Sebuah “kerajaan kecil” yang raja-rajanya tidak akan mau menerima campur-tangan orang luar. Dan tidak ada juga orang yang berani campur-tangan urusan huta orang. Itu penghinaan. Bisa urusannya bunuh-bunuhan.
Huta adalah pemukiman yang umumnya berbentuk empat persegi panjang, dikeliling parik (tembok) yang umumnya ditanami pohon bambu dan pohon-pohon lain. Di dalamnya dua baris rumah berbaris saling berhadapan, dan tengah-tengahnya lapangan yang memanjang. Huta ini adalah “milik” sipungka huta, yang mendirikan huta, dan turun-temurun dipimpin oleh keturunannya.
Menurut Sitor Situmorang, dalam buku “Toba Na Sae”, berdasarkan sejarah lisan Toba, yaitu tarombo atau silsilah marga-marga Batak, yang diwariskan dan diterima dari generasi ke generasi, pemukiman pertama, desa yang terorganisir, dengan pemukiman dan persawahan yang sudah tertata, terletak di lembah sebelah barat Pusuk Buhit yang kini dikenal sebagai lembah Limbong – Sagala. Nama huta pertama itu adalah Sianjur, ditambah dengan predikat “mula-mula” sebagai pemula semua huta, sehingga lengkapnya Sianjurmulamula.
Huta berbentuk benteng bujur sangkar ini kemudian dijadikan model setiap huta di Tano Batak. Huta ini juga kemudian menjadi awal dan dasar lembaga adat/institusi Bius, yang menjadi pemerintahan sosial dan hukum yang melembaga di Tano Batak selama puluhan generasi, sampai Belanda menghapuskannya.
Huta menjadi satuan teritorial adat yang juga merupakan unit politik kecil. Orang yang bermukim di huta yang sama adalah keturunan dari satu kakek (ompu) yang sama, yang berarti satu marga.
Jadi, huta-huta (kampung) di Tano Batak itu sebenarnya rangkaian pemukiman otonom dari unit-unit marga. Huta-huta dari kelompok marga Nairasaon (Manurung, Sitorus, Sirait dan Butar-butar) umumnya menduduki daerah wilayah Uluan, mulai dari Sibisa (Prapat) hingga Porsea.
Sementara kelompok marga Sibagot Ni Pohan (Simanjuntak, Panjaitan, Napitupulu, Marpaung, Simangunsong, Tampubolon, Siagian, Sianipar, Tampubolon, Silaen, dan sebagainya) dan kelompok marga Sipaettua (Pangaribuan, Hutapea, Hutahaean, Aruan, Hutajulu, Sibarani, dan sebagainya) memenuhi wilayah Toba Holbung, wilayah mulai dari Porsea hingga kawasan Balige.
Bukan berarti satu wilayah hanya diisi marga atau anak cabang marga tertentu. Karena lumrah terjadi marga pendatang mendirikan huta. Ada juga marga Sitorus, kelompok marga Nairasaon, yang menduduki wilayah di tengah-tengah kelompok marga Sibagot Ni Pohan, di daerah Sigumpar/Silaen, menyebar hingga ke Parsoburan.
Pulau Sibandang di depan Teluk Muara adalah ulayat marga Aritonang/Rajagukguk. Tapi di sana juga ada huta marga boru mereka Naibaho yang sudah tinggal di sana 13 generasi. Meski tetap hormat kepada hula-hula, marga Naibaho juga punya otoritas sendiri dalam lingkungan hutanya. Di Sibisa, yang merupakan tanah ulayat Nairasaon, juga ada huta marga Silalahi dan Nadapdap.
Kampung saya, di daerah Lumbanlobu, Toba, merupakan wilayah huta-huta marga Sitorus, Butar-butar, Sirait, dan Tambun, Tapi ada satu huta marga Naipospos dan dua huta marga Panjaitan. Mereka Panjaitan dari Sitorang dan Naipospos dari Laguboti.
Bagaimana huta-huta ini tumbuh dan berkembang?
Menurut Bonar Siahaan, pemuka adat yang juga suka menulis tentang budaya Batak, dalam sebuah percakapan di rumahnya, di Siboruon, Balige, Juli 2019, dahulu kala, ketika manusia dan kampung masih sedikit, kalau ingin mamungka huta (membuat kampung), harus diniatkan dan hati-hati. Karena mungkin saja ada musuh yang keberatan atau mau merebut, terutama kalau berada di lokasi yang strategis.
Pertama didirikan undung-undung (pondok atau gubuk} untuk tempat berlindung dan bermalam, karena jaman banyak juga binatang hutan. Harus menancapkan kayu dulu, sebagai pertanda. Kayu pertanda itu disebut “balikkuhu”.
Tapi, sebelum memilih tempat dan memberi tanda, biasanya dicari juga sumber air atau mual. Karena tanpa sumber air, orang akan kesulitan (hidup). Sumber air itu biasanya berbentuk mata air pancuran. Konon, menemukannya tidak mudah. Ada yang ketemu sangat dekat, kadang agak agak jauh. Karena itu mual bagian dari huta yang dianggap sakral. Mengotori mual suatu kampung adalah tindakan kurang ajar yang menghina pemilik huta. Tongka (pantang). Sebaliknya, pantang melarang orang lain memanfaatkan mual kita.
Kalau tidak ada yang keberatan, pembangungan huta diteruskan dengan membuat parik (benteng) yang mengeliling kampung. Sesudah parik dibangun, lalu ditanami bambu dan pohon kayu. Bambu dan kayu itu jadi bukti dia siusung bunti (pemegang bukti) huta atau pemilik huta.
Sipungka huta (pendiri kampung) dan keturunannya kemudian akan mendapat kehormatan sebagai raja huta. “Ganjang pe banjar ganjang, mandapot di Raja Huta”. Artinya, apapun kegiatan dalam huta, tidak boleh dilakukan sebelum bertanya kepada raja huta. Meski dia orang kaya, atau pejabat, tidak boleh mendahului raja huta. Itu Patik Ni Raja Huta, hukum raja huta. Raja
Setelah orang Batak makin banyak dan organisasi kemasyarakatan makin berkembang, pendirian dan penetapan huta dilakukan dilakukan di hadapan raja-raja adat, para tunggane huta, dengan patik (ketentuan hukum adat). Di-patik-kan nama hutanya, bagian-bagian dan fungsinya. Ada harbangan (gerbang utama), ada balubu (jalan kecil untuk orang maupun hewan). Kalau wilayahnya luas, ditentukan mana untuk persawahan, perkebunan (parjumaan), parbandaan (pemakaman), parmahanan (tempat menggembal ternak), dan sebagainya.
Ini disebut Huta Na Marpatik, huta yang ditetapkan dengan patik (hukum). Fungsi-fungsi ini tidak bisa dirubah. Harus dirubah dulu patiknya. Harus minta ijin dari kerabat dan tetangga, dan disepakati raja huta. Dipatikkon lagi. Dalam konteks ini, adalah salah kalau misalnya, kemudian orang membangun tambak atau kuburan di dalam huta. Dang bahenon parhutaan gabe parbandaan. Jangan membuat perkampungan jadi pekuburan.
Karena huta sudah dikeliling parik (tembok) sejak awal, kapasitasnya terbatas, sementara jumlah orang (rumah tangga) bertambah. Kalau tidak bisa lagi mendirikan rumah, orang kemudian membuka kampung, memecah dari huta yang ada. Namanya manosor, membuat sosor. Makanya ada nama huta Sosor Dolok, Sosor Binanga, dan sebagainya. Tentu, ngomong dan pamit dulu kepada tunggane atau raja huta.
Sosor ini menjadi huta baru, yang menjadi milik yang membuka huta. Dia menjadi raja huta di sana, tapi masih dibawah naungan huta induk, karena mereka pecahan dari sana dan masih keturunan dari satu ompu.
Menurut amangboru Bonar Siahaan, kalau bikin sosor, supaya resmi, sesudah membuat huta dan ada rumah, dipanggil para tunggane ni huta (tetua-tetua huta) untuk meresmikan. Bahwa kampung ini namanya Sosor Anu. Hanya para dongan tubu, teman semarga. Supaya mereka “manggabei”, merestui, agar jadi huta yang baik dan ramai.
Kalau ikut hombar huta (tetangga kampung), marga-marga lain, harus memotong sapi. Bisa juga acara besar, margondang misalnya. Kalau hanya dongan tubu, bisa memotong babi atau kambing. Kalau huta atau parjabuan sudah sah diadatkan, sudah bisa melakukan pesta atau upacara adat. Sudah memegang “kerajaan” sendiri, tapi harus tetap bersama saudara di huta induk.
Jika huta cabang ini menjadi penuh dan keluarga yang membuat sosor lagi, biasanya huta cabang jadi disebut “Lumban”, sementara huta yang baru menjadi sosor. Jadi huta-huta di Tano Batak itu, jenis dan urutannya ada tiga: Huta (sebagai huta bagasan atau kampung induk), Lumban (sebagai huta cabang), dan Sosor (sebagai ranting). Jadi dari satu huta, bisa menjadi banyak lumban dan sosor. Masih satu marga, masih satu keturunan, tapi tiap orang punya “bona ni pinasa”, huta asal tempat kelahiran.
Begitulah huta-huta tumbuh dan berkembang, hingga membentuk warna dan budaya khas Tano Batak. J.J. van de Velde, pegawai pemerintah Belanda yang tahun 1930 – 1940-an pernah bertugas di Tapanuli, dalam bukunya Brieven uit Sumatra (Surat-surat dari Sumatra), menggambarkan keterpesonaan pada rangkaian dan suasana huta-huta yang dikelilingi tembok yang ditumbuhi rumpun bambu, dan dikelilingi sawah-sawah.
“Di dalam huta-huta yang terlindung itu terdapat rumah adat yang indah sekali, terbuat dari kayu dan dihiasi ukir-ukiran. Di dalam huta itu berkeliaran banyak sekali ternak-tenak babi dan anjing, yang melahap semua sampah dan kotoran, termasuk kotoran manusia!” tulis van de Velde.
Huta-huta inilah yang menjadu basis Bius, pemerintahan sosial di Tano Batak, sebelum penjajah datang. Raja-raja huta menjadi penanggung jawab dalam kehidupan di huta masing-masing, sekaligus menjadi wakil ke lingkungan yang lebih besar, yakni horja dan bius. Raja Bius dan perangkatnya dipilih dari para raja-raja huta ini. Raja huta ini jugalah yang menyampaikan dan menjalankan keputusan bius di huta masing-masing.
Itu berlangsung puluhan generasi, hingga Belanda dating dan menghapus bius. Wibawa dan wewenang Raja Huta dalam hukum adat didegradasi, dengan mengangkat kepala negeri, kepala kampung, dan sebagainya.
Kembali ke soal huta, sebagai “kerajaan kecil” orang-orang yang masih satu darah, satu keturunan. Meski huta-huta sudah beranak-pinak menjadi lumban-lumban dan sosor, toh kapasitasnya terbatas. Orang Batak, dengan berbagai alasan, pada akhirnya banyak yang melakukan migrasi, untuk mencari tanah pemukiman dan kehidupan baru.
Selain migrasi karena sekolah dan bekerja, orang Batak sudah lama banyak yang migrasi ke Sumatera Timur, atau tempat lain di Sumatera. Dulu mungkin manombang ke Tanah Jawa di Simalungun, ke daerah Tebing Tinggi, Lubukpakam, Tanjung Balai, Kisaran, dan sebagainya. Anak mereka, selain sekolah dan bekerja di tempat jauh, mungkin ada yang pindah merantau ke Riau, Jambi, Lampung, atau ke tempat lain. Anak mereka ini lalu sekolah dan bekerja di Pulau Jawa, atau daerah lain di Indonesia, atau bahkan ke luar negeri.
Begitu tersebarnya orang Batak, sehingga huta-huta perlahan jadi sunyi, bahkan hilang. Sementara banyak orang yang mungkin tak tahu lagi kampung asal ompung atau bapaknya. Atau tahu, tapi tidak pernah berkunjung, dan tidak ada yang kenal. Orang yang tinggal di kampung juga mungkin tidak mengenal mereka.
Suatu ketika, dalam arisan marga Tambun dari kampung kami, datang seorang boru Sitorus dengan suaminya. Ibunya, boru Tambun dari kampung kami, sejak menikah tinggal di Parongil, Sidikalang. Sejak mereka kecil, si ibu sering cerita tentang Hutajulu, nama kampung kami, dan ingin membawa anak-anaknya ke sana. Tapi sampai anak-anaknya pada menikah dan merantau, dan si ibu meninggal, keinginan itu tak tercapai. “Jadi, ini rupanya tulang-tulangku yang disebut omak itu,” kata bere itu sambil menangis.
Begitulah kini kehidupan orang Batak, sangat tersebar. Ada yang kebetulan bisa tersambung dengan kerabat seperti bere boru Sitorus di atas. Tapi banyak yang tidak tahu, dan tidak tersambung lagi dengan “bona ni pinasa”, kampung asal leluhurnya.
Lau bagaimana? Bagaimana seharusnya?
Kalau berdasarkan inti sistim kekeluargaan dan kekerabatan orang Batak, setiap orang semestinya tahu dan mencari bona ni pinasa-nya masing-masing. Dan orang yang ada di bona ni pinasa seharusnya tahu dan mencari saudara-saudaranya yang tersebar.
Tapi kampung sudah sunyi, bahkan ada yang sudah kosong sama sekali, seperti kampung di yang hanya bersisa pohon hariara itu?
Menurut saya, keturunan dari satu huta mestinya harus merasa perlu dan berusaha saling mencari, kemudian mendirikan satu rumah sebagai “ruma parsantian”, rumah milik bersama untuk tempat mereka pulang. Siapa saja bisa pulang, untuk ziarah atau sekedar berkunjung. Atau suatu ketika, melakukan satu acara bersama, sebagai pertanda satu darah dari leluhur yang sama.
Bila orang-orang Batak bisa melakukan itu, identitas suku-bangso Batak, Habatahon, mungkin akan bertahan hidup. Paling tidak akan menunda kepunahan….