Dikalibrasi Oleh Korona

Sebastian Hutabarat

Apa hal terpenting yang perlu kita pelajari dan ajarkan kepada anak anak kita ini? Begitu pertanyaan saya pada seorang Ibu muda dengan dua putri, berkebangsaan Jerman, yang juga seperti kami, tak bisa pulang karena korona.

 Yoga, strugle life, farming katanya dengan lugas.

Ibu muda ini sudah dua bulan lebih tinggal di cottage terpencil yang jauh dari keramaian ini.

Saya menyampaikan emphaty bagaimana dulu juga perjuangan istri terkasih Imelda Nada Marchia saat kedua putri kami, sebesar kedua putrinya ini.

Ya, need to have five hands katanya, sambil juga membuatkan saya kopi yang enak.

Oh,sungguh awal perkenalan yang indah.

Saya lalu bercerita dengan kondisi kami yang lahir dari Bangsa yang uniq di Tepian Danau Toba yang maha indah,tetapi 90 persen penghuninya pergi merantau dengan alasan utama ‘pendidikan’.

Tidak sedikit yang harus menjual kerbau, sawah dan apa saja yang mereka punya demi sihir bernama ‘pendidikan’ ini.

Hasilnya?

Banyak orang Batak yang kemudian jadi Pejabat, jadi Lowyer, Dokter, Teknokrat dll.

Lalu bagaimana dengan Danau Indah titipan Tuhan itu?

Dengan jujur harus berani kita katakan, semakin rusak, sangat jauh dengan dulu,  ketika kita disebut sebagai Bangsa yang terisolir, animisme, jauh dari dunia pendidikan dan modernisasi.

Oh, apakah ada yang salah dengan pendidikan?

Saya kira tidak, pendidikan itu mutlak dan penting.

Tapi Pendidikan apa yang paling penting? Itu mungkin yang perlu kita kalibrasi atau kaji ulang.

10 tahun lalu,setelah 15 tahun pulang kampung,  saya jalan jalan ke kampus tempat saya dulu kuliah, UNPAR Bandung. Kampus keren, dengan biaya yang tidak murah.

Saya bersyukur bisa diterima di ruang Pak Bambang Air, begitu kami menyebut gelar pada  Dosen pintar yang cara mengajarnya bagi saya sangat menarik.

Saya lalu menyampaikan apresiasi yang tinggi pada Pak Bambang, terutama setelah melihat dua foto anaknya dalam seragam wisuda di dinding kantornya.

Satu dari ITB, dan satu lagi dari UI, keduanya alumni Universitas ternama di Negeri ini.

Wah, bahagia sekali Pak ya, punya anak yang dua duanya hebat.

Pak Bambang balik bertanya, Anda sekarang tinggal dimana?

Saya di Balige Pak, pulang kampung.

Pak Bambang menatap saya sejenak,  lalu bertanya kerja apa disana?

Ah,namanya di kampung Pak, kerja apa saja , kadang juga ke ladang.

Nah, itu yang betul Kata Pak Bambang membuat saya terdiam siap menyimak mata kuliah berikutnya.

Coba anda bayangkan, kita sebagai orangtua menyekolahkan anak kita ini tinggi tinggi untuk kemudian merusak bumi ciptaanNYA ini.

Belum saya bertanya,  Pak Bambang melanjutkan, anak saya di foto itu satu jurusan pertambangan dan satu jurusan perminyakan.

Mengapa mereka memilih jurusan itu? Karena disana banyak uang.

Tapi apa yang kemudian terjadi? Bumi kita ini, tidak semakin baik, baik yang sekolah di tambang dan di perminyakan, kemudian sama sama mengeksploitasi bumi tempat kita ini tinggal.

Pembicaraan 10 tahun lalu itu,masih sangat melekat kuat di hati saya yang dulu hampir dalam setiap mata kuliah hanya bisa lulus dengan nilai pas pasan, sekalipun sering harus begadang untuk mengerjakan tugas dan belajar.

Beberapa bulan ini,terutama ketika korona memaksa kita untuk tinggal di rumah, yang bahkan untuk pulang ke kampung saja tidak diperbolehkan, kita lagi lagi dipaksa mempertanyakan dan merenungkan hal hal penting apa yang sebenarnya perlu kita pelajari dan ajarkan buat anak anak kita dalam hidup yang singkat ini?

Kemanakah semua ilmu ilmu yang dengan susah payah kita pelajar itu?

Hanya dengan virus korona yang tak terlihat itu,telah memaksa kita kembali mempertanyakan aneka hal penting itu, termasuk dalam urusan paling sensitive, urusan agama dan beribadah.

Saya lebih senang dengan istilah ‘kalibrasi’ atau mengukur ulang, bahkan mengukur ulang semua ‘alat ukur’ yang selama ini kita pakai dalam mengukur apapun.

Kemarin, salah seorang teman yang kerja di Pizza Andaliman Balige mengirim saya WA, usai dia menerima surat berkop Kejaksaan Negeri Samosir.

Saya minta suratnya dibuka dan di WA ke saya.

Isinya, saya diminta menghubungi Pak Jaksa Daniel Simamora, Jaksa yang menuntut saya 3 bulan penjara untuk tuduhan fitnah kepada Sdr Jautir Simbolon, pemilik Tambang Batu di Silimalombu, yang juga Abang Kandung Bupati Samosir.

Surat itu diterima di Balige lewat pos, sore tanggal 6 Juni, tapi isi surat itu meminta kami menghadap Jaksa tanggal 5 Juni 2020 sehari sebelum surat kami buka. Gimana caranya?

Keganjilan itu hanya satu dari banyak keganjilan lain semenjak saya dianiaya hingga berdarah darah  dan disandra 3 tahun lalu, hanya karena memotret dengan HP,  stone crusher besar yang berdiri perkasa di bibir pantai Desa Silimalombu  itu.

Polres Samosir, walau harus perlu membuat LP yang berbeda beda, memaksa saya menjadi tersangka.

Dan Kejasaan Samosir, walau harus dengan tanggal mundur, dengan secepat kilat memaksakan saya menjadi terdakwa dan selama 8 bulan saya merasa dipermainkan dalam sidang demi sidang yang melelahkan, yang memakan banyak waktu, pikiran dan biaya.

Adakalanya setelah jauh jauh datang dari Balige ke Samosir, tiba tiba lewat WA, Jaksa bilang sidangnya di Balige.

Juga ada kalanya, setelah berada di ruang sidang di Samosir, Jaksa pengganti mengatakan tidak siap bersidang karena Jaksa Daniel berhalangan,  dan sidang diundur ke Minggu berikutnya.

Dan semua hal hal yang meletihkan itu, dilakukan oleh orang orang hebat yang  sangat berpendidikan tinggi di Negara ini.

Setelah 16 kali sidang yang melelahkan itu, oleh Ketua PN Balige Pak Paul Marpaung,akhirnya memberi saya hadiah putusan  penjara 2 bulan, persis seperti tuntutan Jaksa dan Putusan kepada Sdr Jautir Simbolon yang bersama anggota anggotanya menganiaya saya dan rekan saya aktivis lainnya, yang juga Sekjen YPDT, Joe Marbun Madya.

Lagi lagi semua keputusan yang serba aneh ini,dilakukan oleh Pejabat pejabat tinggi yang saya kira juga digaji dengan cukup tinggi oleh Negara ini.

Polisi, Jaksa dan Hakim begitu ngotot harus memenjarakan saya untuk kesalahan yang tidak pernah saya lakukan.

Kenapa Negera ini harus memenjarakan suamiku? Kata istri saya dalam sebuah judul tulisan nya.

Disaat lain, dengan alasan korona, Mentri Hukum dan Ham,juga atas nama Negara harus rela melepaskan ribuan narapidan dari dalam penjara,yang kemudian dalam tempo singkat membuat aneka horor dan teror dimana-mana karena tingginya angka kriminal,setelah pelepasan aneka narapidana itu.

Lagi lagi semua keputusan ini, dilakukan atas nama Negara, oleh Pejabat pejabat Negara yang saya yakin juga setelah menempuh aneka pendidikan yang tinggi,aneka pelatihan dan aneka bentuk kompetisi lainnya.

Ketika korona memaksa kita tanpa kecuali,termasuk kami yang harus rela diam di Bali hingga bulan Juni mendatang, membuat saya kembali bertanya pendidikan seperti apa sebenarnya yang paling perlu kita pelajari dan tularkan kepada anak cucu kita ini?

Menjadi sarjana, lalu menjadi Pejabat?
Menjadi sarjana lalu menjadi Teknokrat? Menjadi Bankir atau aneke karier profesional lainnya?

Atau menjadi apa?

Walau masih senang menulis berpanjang panjang,tapi saya harus tega memutus tulisan ini,karena jam 10 nanti kami janji untuk belajar sambil menikmati Boreh Sauna. Sauna yang oleh Pak Kadek,dibuat dari kayu dan sumber panasnyapun dibuat sederhana dari kayu bakar.

Hal hal sederhana seperti ini,sering lebih menarik untuk kami pelajari.

Semoga bisa mengobati aneka kebingungan menghadapi para pejabat di Negeri tercinta yang lama salah urus ini

Belajar mencintai Negeri ini,kata seorang kawan, seperti mendorong gerbong panjang kereta api yang sudah lama keluar dari relnya.

Hati Padi, Kelusa Gianyar, 8 Mei 2020

One thought on “Dikalibrasi Oleh Korona

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *