Dampak sosial virus corona: Beban ‘berlipat ganda’ bagi perempuan di masa pandemi Covid-19

Liza TambunanBBC News Indonesia
Rumah sakitHak atas fotoANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI
Image captionBeberapa rumah sakit menerapkan langkah-langkah yang lebih ketat untuk proses persalinan.
Dalam situasi luar biasa seperti pandemi Covid-19 yang tengah melumpuhkan dunia, perempuan kerap menanggung dampak ganda. Tak terkecuali perempuan di Indonesia.
Pandemi corona membuat Nomi Hernawan kehilangan kesempatan memberikan nutrisi terbaik bagi bayi yang baru dilahirkannya. Ia batal melakukan inisiasi menyusu dini (IMD), proses memberikan air susu ibu dan juga langkah penting bagi bayi belajar menyusu.
Sesaat setelah dilahirkan, bayi Nomi langsung dibawa ke ruang bayi agar terhindar dari ancaman penularan virus corona. Nomi dan si bayi terpaksa berpisah selama kurang lebih 24 jam. Sejatinya, bayi berada dekat ibunya di 24 jam pertama kelahirannya, jika tidak ada kendala medis.
“Saya sedih. Padahal harapannya, bisa langsung menyusui, bayinya juga bisa disandingkan sama saya di ruangan inap, dan keluarga bisa dampingi di rumah sakit,” ujar Nomi Jumat (17/4), seperti yang dilaporkan Yuli Saputra untuk BBC News Indonesia.
Si bayi yang dilahirkan pukul 08.00 WIB pada Minggu (5/4) itu pun diberi susu formula di awal kehidupannya. Nomi baru bisa menyusui langsung anaknya sehari setelahnya di sebuah ruangan khusus. Padahal, rumah sakit tempat Nomi melahirkan dikenal sebagai rumah sakit yang pro IMD dan ASI.
Awalnya, Nomi membayangkan proses persalinan anak pertamanya bisa berjalan normal seperti sebelum pandemi. Tapi untuk memeriksa kehamilan jelang persalinan saja, Nomi kesulitan.
Nomi mengaku sempat stres dan takut memeriksa kandungannya karena khawatir terpapar Covid-19.
“Jelas (saya) takut. Apalagi saat mau kontrol kehamilan menjelang persalinan. Riskan. Padahal kan harus rutin kontrol. Jadi terbatas dan banyak diundur,” ungkap ibu dari seorang bayi perempuan ini.
Ditambah lagi, ini kehamilan pertama Nomi, yang bagi banyak perempuan bisa memberikan tekanan psikis tersendiri.
“Makanya serba khawatir. Pas hamil pertama, pengalaman baru, ditambah lagi pandemi seperti sekarang. Jadi kebawa pikiran. Agak stres di awal-awal,” kata Nomi.
Persalinan yang dijalani Nomi juga berbeda dimana dokter dan perawat mengenakan alat perlindungan diri (APD) lengkap, seperti hazmat, masker, dan face shield (penutup muka). Nomi merasa beruntung masih bisa didampingi suami saat persalinan. Meski, suaminya harus memakai APD.

Mengajar murid dan mengasuh anak

Ibu dan anak belajar di rumahHak atas fotoANTARA FOTO/IRSAN MULYADI
Beberapa wilayah di Indonesia menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berarti sekolah-sekolah dan banyak perkantoran ditutup sehingga berbagai aktivitas harus dilakukan di rumah.
Laili Qadarsih, seorang warga Cianjur, Jawa Barat, adalah seorang guru dan ibu dari satu anak. Ia mengatakan sekolah asrama di mana ia bekerja telah ditutup sejak pertengahan Maret dan sistem pembelajaran dilaksanakan secara virtual sejak itu.
“Seminggu pertama itu adaptasi yang paling berat,” ungkap Laili melalui sambungan telepon pada (14/4).
Pada awalnya, guru bimbingan konseling itu mengaku merasa kewalahan. Banyak anak muridnya yang melemparkan pertanyaan saat dihadapkan dengan proses belajar mengajar yang baru. Ditambah ia harus mengasuh anaknya yang berusia enam tahun.
Namun, Laili mencoba menenangkan diri dan belajar untuk menguasai tantangan baru tersebut. Dengan perlahan, dia akhirnya menangkap pola yang nyaman dalam mengajar dan mengasuh anak.
“Memang agak berat sebenarnya. Tapi semakin lama semakin terbiasa jadi lebih enak. Jadi tugas pokok kewajiban saya sebagai istri juga terlaksana, sunah rosulnya bekerja juga membantu suami juga terlaksana.
“Jadi misalnya saya lagi kelas, lagi jam mengajar, sambil memantau anak, kemudian anak saya juga ngajak main atau gimana, bisa sambil melayani [permintaan anak], karena kan tidak harus duduk terus di depan laptop. Jadi kita balas dari chat-chat anak di jam mengajar, jadi bisa sambil melayani anak. Kemudian sambil nyuapin, kemudian ada misalnya harus masak dulu atau apa, bisa,” kata Laili.
covid, virus corona, dampak sosial, perempuanHak atas fotoANIS EFIZUDIN/ANTARA
Image captionBeban perempuan bertambah di tengah imbauan untuk membatasi aktivitas di luar rumah.
Sementara, bagi Arniati, sebagai ibu dari empat anak, ia memilih pendekatan yang berbeda.
Sama seperti Laili, Arniati berprofesi sebagai seorang guru. Ia mengajar pelajaran keagamaan di sebuah sekolah tingkat SMP di Jakarta.
Di antara kesulitan yang ia alami pada masa transisi bekerja dari rumah termasuk konsekuensi jaringan internet yang kurang stabil dan mekanisme penyampaian materi dari tatap muka menjadi online.
“Belum kendala-kendala di rumah. Kebetulan saya selain mengajar, dengan jadwal yang cukup padat, itu juga kan pendampingan empat anak dengan tiga jalur – SMP satu, dua di SD dan satu di TK, itu dalam satu waktu.
“Jadi benar-benar harus komunikasi ke anak dibangun bahwasanya mama dari rumah pun mengajar, sama seperti guru-guru di rumah mereka mengajar kalian. Lalu saya tetap koordinasi ke guru-guru anak saya kalau saya di rumah pun mengajar, jadi minta dispensasi waktu dalam pengumpulan tugas,” kata Arniati.
Belajar di rumahHak atas fotoANTARA FOTO/RONY MUHARRMAN
Image captionIlustrasi siswa-siswi belajar di rumah.
Di sisi lain, Arniati mengatakan pandemi ini juga berdampak pada finansial keluarganya. Suaminya yang memiliki usaha percetakan kini hampir tidak menghasilkan sama sekali.
“Konsep keuangan yang biasa kita nabung, lagi nggak bisa nabung” kata Arniati.
Walupun demikian, ia mengatakan hal tersebut masih bisa ditangani.
“Karena kita juga bukan tipikal keluarga yang konsumtif. Jadi memang dari sebelum wabah sudah biasa hidup hemat. Jadi ketika sekarang benar-benar hemat, ya udahkita rasakan dari sebelumnya,” katanya.

Finansial keluarga ‘lumpuh’

Bagi Neneng Nurhayati, pandemi Covid-19 tidak saja mengancam kesehatannya, tapi juga ekonomi keluarga dan kesehatan janin yang dikandungnya.
Dua pekan lalu, Dicky Nurdiansyah, suami Neneng, dipecat dari pekerjaannya sebagai petugas pelayan kebersihan di sebuah mall terbesar di Kota Bandung, Jawa Barat. Perusahaan penyalur jasa kebersihan tempat Dicky bekerja beralasan tidak mampu lagi membayar pegawai seiring dengan ditutupnya sejumlah mal.
Dicky pulang ke rumah tanpa membawa uang kompensasi atau bahkan pesangon sepeser pun. Kehidupan keluarganya dirasakan lumpuh.
“Benar-benar lumpuh. Gak bisa (dapat) penghasilan, gakada. Yah buat makan sehari-hari juga pinjam ke saudara,” ungkap Dicky saat dihubungi melalu telepon, Kamis (16/4), seperti yang dilaporkan wartawan Yuli Saputra untuk BBC News Indonesia.
Dicky bukan satu-satunya korban PHK selama masa pandemi. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat mencatat sebanyak 5.047 buruh terkena pemutusan hubungan kerja atau PHK. Selain itu, sebanyak 34.365 pekerja di Jabar diliburkan dan 14.053 orang dirumahkan. Data tersebut tercatat hingga 5 April 2020.
Pemecatan para suami bisa jadi menimbulkan beban yang lebih berat bagi para isteri. Seperti yang dirasakan Neneng. Apalagi, perempuan 28 tahun itu sedang mengandung anak kedua dengan usia kehamilan lima bulan.
Neneng harus memutar otak untuk menyiapkan makanan bagi keluarga.
“Siapa orangtua yang yang gak mikirin gizi (buat anaknya). Cuma… (Neneng berhenti, terdengar isakan) saya jadi pengen nangis. Cuma keadaan kayak gini, gimana yah, boro-boro mikirin gizi, buat bisa makan doang juga Alhamdulillah banget,” ungkap Neneng sambil terisak.
Neneng semakin tertekan lantaran memikirkan pula kehamilannya di saat situasi serba sulit ini.
“Kehamilan pertama kan ibaratnya suami masih kerja. Sekarang kasihan kehamilan kedua sampai kayak gini. Sampai pengen buah-buahan aja, namanya orang hamil, harus ditahan. Pengen yang manis-manis, kadang kan orang hamil gitu yah, tapi gak bisa.”
Wabah corona juga menyulitkan Neneng memeriksakan kehamilannya. Puskesmas yang biasa didatangi Neneng, tidak menerima pemeriksaan ibu hamil selama pandemi.
pandemi, virus corona, puskesmasHak atas fotoASWADDY HAMID/ANTARA
Image captionTata cara dan jam pelayanan kesehatan di Puskesmas pada masa pandemi COVID-19 mengalami perubahan seperti warga yang akan berobat diarahkan menunggu di luar gedung dengan pemberlakuan Physical Distancing dan jam pelayanan bertambah sampai malam hari pada Puskesmas yang tidak melayani pasien rawat inap.
“Tidak ada pemeriksaan buat saat ini di puskesmas karena rentan corona. Akhirnya, gak jadi periksa. Periksa ke bidan atau ginekolog kan lumayan uangnya, aku nggak punya,” kata Neneng.
Kehilangan satu-satunya penghasilan keluarga, membuat kehidupan Neneng dan Dicky semakin terpuruk. Untuk membeli beras saja, mereka harus meminjam ke sana sini dan menjual telepon genggam. Mereka pun terpaksa pindah dari kontrakan ke rumah orangtua demi mengurangi beban pengeluaran.
Pasangan suami isteri itu berusaha mencari penghasilan lain dengan melamar kerja dan menjual layangan. Namun, wabah Covid-19 seolah menutup semua peluang yang ada.
“Sekarang saya lagi coba-coba buat jual layangan. Itu pinjam modalnya ke saudara, tapi malah hujan. Jadi belum dapat hasilnya.
“Suami juga pengen ngelamar-ngelamar kerja, gak mungkin keadaannya. Semua perusahaan seperti ini. Jadi gak tahu gimana. Mau jualan, jualan apa dan sepi kan?Nggakkepikiran untuk saat ini,” ujar Neneng.
Saat ini, Neneng hanya bisa mengharapkan bantuan dari pemerintah yang janjinya akan memberi bantuan bagi warga yang terdampak wabah. Hingga kini, Neneng mengaku belum mendapat bantuan, meski pemerintah pusat dan provinsi Jawa Barat telah berjanji akan menyalurkan bantuan jaring pengaman sosial sejak beberapa pekan lalu.
BansosHak atas fotoANTARA FOTO/YULIUS SATRIA WIJAYA
Image captionPetugas pos menata logistik bantuan sosial untuk warga yang terdampak perekonomiannya akibat COVID-19 di Kantor Pos, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Jumat (17/4). Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyalurkan bantuan sosial (bansos) senilai Rp500 ribu bagi warga yang berpenghasilan rendah dan termasuk miskin baru akibat pandemi COVID-19, khususnya di zona merah persebaran yaitu Bogor, Depok, dan Bekasi.
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil menyatakan Pemprov Jabar akan memberi bantuan sebesar Rp500 ribu per kepala keluarga miskin dan terdampak wabah dalam bentuk sembako dan uang tunai. Namun, menurut Neneng, bantuan itu dijatah hanya 10 kepala keluarga (KK) per rukun tetangga (RT).
“Kata bu RT, dipilih dalam satu RT itu cuma 10 KK dan akunggak kebagian. (Bantuannya) belum menjangkau semua. Ternyata Ridwan Kamil yang diomongin (beda), gak kayak gitu. Padahal kan yang namanya di-PHK itu benar-benar kena dampak banget. Bingung kali RT juga kalau memang posisinya hanya 10 KK yang dipilih dalam satu RT,” ungkap Neneng.

Butuh ‘anjuran budaya’

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Mariana Amiruddin mengatakan beban berlipat ganda di tengah pandemi ini terutama ditanggung oleh perempuan yang berkeluarga dan bekerja.
“Kita membaca banyak suara dari banyak perempuan yang sekarang harus di rumah, terutama perempuan yang bekerja, itu mengalami beban yang sangat berat karena mereka jadi terbebani urusan-urusan rumah. Mulai dari mengasuh anak, mengajar anak sekolah yang juga secaraonline.
Pihak suami lebih banyak dalam posisi yang seperti biasanya, bahwa semua urusan rumah tangga harus dijalankan oleh istri. Jadi banyak sekali yang mengeluh sebetulnya karena situasi kerja di rumah ini,” kata Mariana kepada BBC News Indonesia.
“Dampak berlipat karena semua orang harus dirumahkan jadi perempuan mau tidak mau kembali harus menerima beban itu. Ketika dia berkantor dia bisa mengantisipasi dan mengatur semuanya, termasuk peran. Tapi ketika semua orang dirumahkan, dia jadi tidak bisa mengelak dengan situasi sebagai ibu dan istri, dia harus memegang beban ganda itu,” ujar Mariana.
Dampak ketimpangan gender di tengah pandemi tidak hanya dialami oleh para wanita di Indonesia.
Sebelumnya, Maria Holtsberg, penasihat risiko bidang kemanusiaan dan bencana di UN Women Asia dan Pacific, mengungkap dampak terhadap perempuan yang tidak proporsional.
“Krisis selalu memperburuk ketimpangan gender,” kata Holtsberg.
Mariana mengatakan pemerintah semestinya memberi perhatian yang lebih besar terhadap isu tersebut, terutama peran perempuan selama ada kebijakan masif untuk tetap di rumah.
“Solusinya sebetulnya selain anjuran kesehatan soal situasi Covid, seharusnya juga ada anjuran tentang budaya. Budaya itu maksudnya bagaimana setiap keluarga itu dalam situasi pandemi ini bisa membagi tugas dan bekerja sama untuk mengelola kehidupan yang harus di rumah.
“Jadi kan selama ini pemerintah kan hanya membicarakan untuk kesehatan – cuci tangan, tetap di rumah, dan sebagai macam. Tapi, hal-hal yang sifatnya sosial budaya itu tidak terjamah, tidak tersentuh padahal problem paling banyak itu justru persoalan sosial budaya, termasuk soal ekonomi,” kata Mariana.

2 thoughts on “

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *