Covid-19, Kerentanan Sosial, dan Gagalnya Physical Distancing
Selasa, 31 Maret 2020 14:15 WIB
KASUS pandemi Covid-19 di Indonesia kian hari terus meningkat. Sampai 30 Maret 2020 sudah tercatat yang positif ada 1.414 kasus, sembuh 75 kasus, dan meninggal 122 kasus. Pandemi Covid-19 di Indonesia memiliki dampak multi sektor, dari kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi, hingga aktivitas beribadah di masyarakat. Dampak pada sektor-sektor tersebut kian hari mulai dirasakan masyarakat. Ini tersebab menyangkut persoalan kesejahteraan sosial masyarakat.
Kesejahteraan sosial masyarakat di sini berkaitan dengan kesehatan, kondisi ekonomi domestik rumah tangga, rasa aman-nyaman, serta kualitas hidup yang baik. Sehingga masyarakat yang sedang dihadapkan pada pandemi Covid-19 dapat tetap memenuhi kebutuhan dasarnya dan menjalankan fungsi sosialnya. Oleh karena itulah pemerintah selain berfokus utama penanganan pandemi Covid-19, juga jangan mengesampingkan kondisi kesejahteraan masyarakat di masa pandemi Covid-19 ini. Jika kesejahteraan masyarakat diabaikan, dikuatirkan akan memicu kerentanan sosial yang masif di masyarakat. Ini tentu semakin membuat situasi dan kondisi di Indonesia bisa seperti benang kusut. Menyelesaikan satu masalah, muncul masalah lain.
Kerentanan Sosial
Pandemi Covid-19 merupakan bentuk bahaya (hazard) yang memiliki potensi mengancam segala aspek kehidupan masyarakat, seperti sosial, ekonomi, kesehatan, dan psikologis. Dampak pada masyarakat di Indonesia tentu tidak berbeda jauh dengan masyarakat di negara lain yang juga sama sedang menghadapi pandemi Covid-19. Kondisi kerentanan sosial (social vulnerability) menjadi realitas nyata yang terjadi pada masyarakat dalam menghadapi pandemi Covid-19. Kerentanan sosial menjadikan posisi ketahanan masyarakat (community resilience) mengalami guncangan (shock) akibat pandemi Covid-19.
Ketahanan masyarakat berkaitan dengan kemampuan dari masyarakat untuk dapat menggunakan sumber daya yang tersedia (seperti, teknologi, makanan, pekerjaan, dan rasa aman-nyaman) dalam memenuhi kebutuhan dasar dan menjalankan fungsi sosialnya. Namun kondisi saat ini justru menjadikan ketahanan masyarakat mengalami kerentanan sosial. Kerentanan sosial membuat produktivitas menurun, mata pencarian terganggu, dan munculnya gangguan kecemasan sosial di masyarakat (seperti kepanikan).
Hal inilah yang bisa kita lihat mengapa instruksi mengenai physical distancing tidak berjalan dengan efektif. Sebab instruksi physical distancingdianggap menciptakan kerentanan sosial pada masyarakat, khususnya masyarakat yang memiliki status pekerjaan informal yang sumber pemasukan ekonominya didapat sehari – hari dan tidak memiliki gaji pokok tetap (seperti pedagang dan ojek online).
Berdasarkan data SurveiA Angkatan Kerja Nasional Badan Pusat Statistik 2019, jumlah masyarakat yang berstatus pekerja formal sebanyak 55.272.968 orang dan masyarakat yang berstatus pekerja informal sejumlah 74.093.224 orang. Data ini menunjukkan bahwa lebih banyak masyarakat yang bekerja di sektor informal, dan inilah yang membuat mengapa masih banyak masyarakat tidak menjalankan instruksi physical distancing, karena untuk mempertahankan ketahanan ekonomi keluarganya.
Selain masalah pekerjaan, faktor lain yang membuat instruksi physical distancing tidak efektif karena faktor karakteristik kultural masyarakat, dan kebijakan pemerintah yang tidak tegas bahkan cenderung mempertontonkan ego sektoral antar lembaga pemerintahan, baik pusat dan daerah.
Dampak Kerentanan Sosial
Dampak kerentanan sosial dapat membuat masyarakat melakukan tiga tindakan yang saling terkait, yaitu tindakan apatis, tindakan irasional, dan tindakan kriminal. Hal ini bisa kita lihat pada fenomena masyarakat yang terjadi saat ini. Sehingga apa yang terjadi pada masyarakat merupakan kulminasi dari kerentanan sosial yang kini sedang dihadapi oleh masyarakat.
Pertama, tindakan apatis. Pada tindakan apatis bisa kita lihat pada tindakan masyarakat yang tidak peduli dengan instruksi pemerintah untuk physical distancing dan tidak pulang ke kampung halamannya (mudik). Faktanya,physical distancing tidak berjalan efektif. Masih banyak masyarakat yang bisa kita lihat melakukan kegiatan kumpul-kumpul dan kegiatan kerumunan lainnya. Selain itu saat ini banyak masyarakat yang memilih kembali ke kampung halamannya. Tindakan pulang kampung masyarakat ini rupanya justru meningkatkan jumlah kasus Covid-19 dan sebaran wilayahnya, baik yang berstatus ODP (Orang Dalam Pemantauan), PDP (Pasien Dalam Pengawasan) dan Suspect Covid-19.
Apakah sikap apatis yang dilakukan oleh masyarakat ini salah? Secara sosiologis tidak dapat dikatakan salah (non etis). Jadi jika ada individu atau kelompok masyarakat yang menyalahkan dan marah – marah di media sosial mengenai tindakan apatis masyarakat ini, menurut penulis tidak bijak. Sebab apa yang dilakukan masyarakat merupakan respon naluri dari kerentanan sosial yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, ini menjadi pekerjaan pemerintah untuk bisa membuat masyarakat tetap memiliki ketahanan sosial agar tidak melakukan tindakan apatis saat bangsa dan negara ini dihadapkan pandemi Covid-19.
Kedua, tindakan irasional. Pada tindakan irasional tidak sedikit masyarakat meyakini berbagai bahan obat dan metode pencegahan agar tidak terkena Covid-19 sekalipun belum ada bukti penelitian ilmiahnya. Misalnya saja ada masyarakat yang meyakini bahwa metode berbaring untuk berjemur di atas rel kereta api dapat membantu mencegah penularan Covid-19. Apa yang dilakukan masyarakat dalam penggunaan bahan obat dan metode tertentu untuk mencegah tertularnya dari Covid-19 sekalipun belum ada bukti penelitian ilmiahnya ini tidak lepas dari keterikatan masyarakat atas cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), dan adat istiadat (custom) yang berlaku pada lingkungan kehidupannya. Secara sosiologis, tindakan sosial ini disebut dengan tindakan tradisional.
Tindakan irasional lainnya, yaitu panic buying. Panic buying menjadi respon masyarakat untuk tidak mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari – harinya, dan ini justru malah membuat berbagai harga kebutuhan melonjak tinggi dan menjadi langkah karena adanya penimbunan ilegal.
Tindakan irasional berikutnya, yang awalnya masyarakat memahami resiko tinggi (seperti bunga yang tinggi, dan pencurian data) untuk tidak mengajukan pinjaman ke renternir, baik renternir yang berbasis pinjaman konvensional maupun pinjaman online (fintech). Mau tidak mau masyarakat mengajukan pinjaman ke rentenir sebagai mekanisme kebertahanan hidup bagi diri dan keluarganya di saat kondisi ekonomi tidak menentu pada pandemi Covid-19 ini.
Oleh karena itulah masyarakat juga harus dapat mencermati pinjaman kepada rentenir yang legal dan harus dapat mengantisipasi risikonya. Jika tidak, tindakan meminjam ke rentenir akan menambah masalah baru bagi masyarakat. Maka untuk itu masyarakat dapat mencari tahu terlebih dahulu tentang kredibilitas pihak atau lembaga pinjaman rentenir legal atau ilegal diwebsite Otoritas Jasa Keuangan (OJK) (www.ojk.go.id) sebelum mengajukan pinjaman. Di satu sisi pemerintah (dalam hal ini OJK dan Bank Indonesia) juga harus membuat regulasi yang ketat dan tegas untuk melindungi dan berpihak pada masyarakat agar tidak menjadi korban dari pihak atau lembaga pinjaman rentenir ini. Jika tidak, masalah masyarakat kepada pihak atau lembaga pinjaman rentenir ini akan menjadi pekerjaan tambahan bagi pemerintah kemudian harinya (setelah pandemi Covid-19 teratasi).
Ketiga, tindakan kriminal. Hal yang paling dikuatirkan dari kerentanan sosial atas pandemi Covid-19 adalah tindakan kriminal yang dilakukan oleh oknum masyarakat. Secara sosiologis, tindakan kriminal merupakan perbuatan yang melanggar hukum serta merugikan dirinya dan orang lain (korban) yang mengganggu keseimbangan, ketentraman dan ketertiban di masyarakat. Bentuk tindakan kriminal yang terjadi misalnya saja pencurian, penjambretan, pencopetan, pemalakan, penjarahan, bahkan pembunuhan. Contoh nyata dari tindakan kriminal akibat pandemi Covid-19 ini bisa kita ketahui di berbagai media berita yang sudah mulai terjadi di negara – negara lain (seperti Italia, India, Cina, Amerika), bahkan di Indonesia sudah mulai terdapat kasus pencurian dengan motif berkurangnya pemasukan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Mengapa ini bisa terjadi?
Tindakan kriminal yang dilakukan oknum masyarakat sebagai dampak kerentanan sosial yang dihadapinya, setidaknya dapat dipahami dalam 3 konteks secara sosiologis. Pertama, dasarnya masyarakat itu berada dalam kondisi stabil, sistem – sistem kehidupannya beroperasi secara lancar dan berfungsi. Namun, akibat pandemi Covid-19, kondisi kestabilan dan keberfungsian ini terganggu. Untuk dapat berada pada posisi stabil dan berfungsi, bagi masyarakat yang tidak memiliki akses kapital dengan baik, maka jalan singkat yang beresiko akan dilakukannya. Kedua, tindakan kriminal terjadi karena aturan-aturan yang mengatur tingkah laku berbenturan. Misal, pemerintah menginstruksikan untuk masyarakat melakukan physical distancing, sementara pemerintah tidak menyiapkan instrumen untuk melindungi ketahanan masyarakat yang pekerjaannya disektor informal. Dan ketiga, tindakan kriminal terjadi karena adanya kekosongan kontrol atau pengendalian sosial. Misalnya, tidak adanya sanksi tegas dan efek jera bagi oknum yang memanfaatkan kondisi pandemi Covid-19 ini untuk kepentingan dirinya dan memperkaya dirinya, seperti penimbunan dan pemalsuan cairan hand sanitizer dan obat – obatan yang kemudian dijual bebas di masyarakat.
Tiga tindakan yang dijelaskan oleh penulis di atas beserta beberapa contohnya, hanya sebagian dari dampak kerentanan sosial yang akan terjadi di masyarakat kita akibat pandemi Covid-19 ini. Maka untuk itulah sebelum pemerintah menerapkan kebijakan physical distancing, atau karantina wilayah maupun lockdown, harus memperhatikan aspek kesejahteraan sosial di masyarakat. Hal ini guna agar kebijakan pemerintah didukung penuh oleh masyarakat dan berjalan efektif saat masyarakat memiliki ketahanan sosial pada diri dan keluarganya.
Social Safety Net
Beberapa pekan lalu, Presiden Jokowi dalam konferensi pers menegaskan bahwa pemerintah akan mengutamakan 3 hal dalam penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia, yaitu keselamatan kesehatan, social safety net (jaring pengaman sosial) dan dampak ekonomi. Penyataan Presiden Jokowi tentu menjadi harapan bersama masyarakat untuk menghadapi pandemi Covid-19. Berbagai paket dari 3 kebijakan itu pun sedang disusun oleh masing-masing kementerian terkait.
Jika pemerintah pada akhirnya mempertegas kebijakan physical distancingatau, karantina wilayah atau lockdown, maka terlebih dahulu menyiapkan instrumen yang dapat meminimalisir kerentanan sosial masyarakat. Hal yang paling penting sebelum menerapkan kebijakan tersebut adalah menyiapkan kebijakan social safety net terlebih dahulu. Sebab sebagaimana kita ketahui, ada potensi kerentanan sosial beserta dampaknya yang akan muncul pada masyarakat akibat kebijakan tersebut.
Pada konteks kebijakan social safety net di masyarakat, diharapkan pemerintah tidak menggunakan pola seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT). Sebab wacana yang beredar di media massa, pemerintah akan memberikan stimulus BLT kepada masyarakat dalam menghadapi pandemi Covid-19. Mengapa tidak disarankan menggunakan pola BLT?
Sudah banyak kajian penelitian yang menyatakan pola BLT yang ada di Indonesia memiliki keterbatasan. Pertama, distribusi yang tidak merata.Kedua, memicu adanya praktek korupsi dan nepotisme. Ketiga, lemahnya mekanisme koordinasi antar lembaga. Dan keempat, memicu terjadi konflik di masyarakat akibat kecemburuan yang terjadi di masyarakat, seperti masyarakat X dapat, namun masyarakat Y tidak dapat. Begitu juga masyarakat yang dianggap mampu justru malah dapat, tetapi masyarakat yang tidak mampu malah tidak dapat, dan lain sebagainya.
Hal yang setidaknya perlu menjadi pertimbangan bagi pemerintah saat kebijakan social safety net dirumuskan, yaitu: Pertama, sejauh mana masalah – masalah sosial ini dapat teratasi; Kedua, sejauh mana kebutuhan – kebutuhan dasar pada masyarakat dapat dipenuhi; Ketiga, sejauh mana kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dapat disediakan; dan Keempat, sejauh mana masyarakat tidak mengalami ketergantungan setelah kebijakan ini berakhir.
Pola penerapan kebijakan social safety net dapat dilihat dalam bentuk program, aktor yang terlibat dan mekanisme distribusinya. Ketiga hal ini dapat menjadi dasar pemerintah merumuskan kebijakan social safety netsebagai upaya antisipasi potensi kerentanan sosial beserta dampaknya akibat diberlakukan kebijakan physical distancing atau, karantina wilayah atau lockdown.
Pada bentuk program, setidaknya pemerintah tidak lagi berupa bantuan uang, baik yang ditransfer maupun tunai. Akan tetapi berbentuk bantuan sembako, multi vitamin dan obat-obatan, keringanan pembayaran tagihan listrik, dan keringanan pembayaran cicilan pinjaman masyarakat (baik pinjaman multiguna, KPR, maupun bentuk pinjaman lainnya kepada lembaga pinjaman milik pemerintah maupun swasta) sampai batas waktu kebijakan berakhir.
Untuk pemberian bentuk program ini pemerintah perlu membuat ketentuan karakteristik masyarakat mana yang berhak menikmati bentuk program ini, jadi tidak semua kelas masyarakat menerimanya, seperti pada masyarakat kelas atas dan menengah tentu tidak berhak menerima bantuan sembako, multi vitamin dan obat-obatan, keringanan pembayaran tagihan listrik dan pinjaman karena pada dasarnya kelas atas dan menengah sudah memilikisafety net berupa tabungan, dan deposito yang dapat memenuhi kebutuhan mereka di saat menjalankan kebijakan physical distancing atau, karantina wilayah atau lockdown.
Pada konteks aktor yang terlibat, saat ini sudah banyak kegiatan voluntaristik yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat untuk turut membantu pemerintah, petugas medis, dan juga masyarakat pada umumnya yang sedang dihadapkan pada pandemi Covid 19, seperti menjadi relawan petugas medis, memberikan masker, pemberian hand sanitizer, penyemprotan disinfektan di lingkungan masyarakat, bahkan kegiatan penggalangan dana. Kegiatan voluntaristik masyarakat ini sebenarnya dapat menjadi mitra bagi pemerintah untuk meringankan beban masyarakat. Maka untuk itulah dalam menerapkan program social safety net dapat melibatkan berbagai elemen masyarakat yang terlibat dalam kegiatan voluntaristik ini.
Selain mitra yang berasal dari masyarakat, pemerintah juga dapat meningkatkan kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi dan sektor swasta (perusahaan) untuk membantu menjalankan berbagai kebijakansocial safety net. Masing – masing pihak tentu memiliki fungsi dan kewajibannya sebagai institusi sosial di masyarakat. Misalnya saja pada perguruan tinggi memiliki fungsi dan kewajiban tridharma perguruan tinggi. Sedangkan sektor swasta memiliki fungsi dan kewajiban berupa Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan.
Untuk peran perguruan tinggi, pemerintah dapat melibatkan perguruan tinggi menjadi mitra dalam memecahkan persoalan yang terjadi dengan basis ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu juga perguruan tinggi bisa dilibatkan untuk mengontrol, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan social safety net di masyarakat.
Untuk sektor swasta, pemerintah dapat melibatkan sektor swasta untuk penggalangan dana Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan. Jadi diharapkan pelaksanaan kebijakan social safety net tidak hanya bersumber dari APBN maupun APBD, tetapi juga bantuan dana sosial dari sektor swasta. Sehingga diharapkan kebijakansocial safety net berjalan maksimal dan sesuai dengan tujuannya.
Berikutnya mekanisme distribusi. Pada pelaksanaan kebijakan social safety net di masyarakat, pemerintah harus benar-benar merumuskan secara detail bagaimana mekanisme distribusinya. Jangan sampai karena kurangnya koordinasi, dan tidak detail instruksi mekanisme distribusi, pelaksanaan kebijakan social safety net di masyarakat tidak tepat sasaran dan bahkan tidak maksimal. Sehingga dapat memicu masalah baru lagi dari kebijakansocial safety net ini.
Mekanisme distribusi ini perlu melibatkan peran aktif ketua Rukun Tangga, Rukun Warga, tokoh masyarakat, pihak keamanan, dan juga pihak perguruan tinggi untuk mengontrol, dan mengawasi pelaksanaannya. Jangan sampai pelaksanaan di lapangan disalahgunakan oleh oknum – oknum tertentu untuk kepentingan dirinya, dan kelompoknya. Selain itu dalam mekanisme distribusi, diingatkan kembali kepada pihak yang bertugas di lapangan untuk tetap menjaga kesehatannya dan melakukan physical distancing.
Diharapkan pelaksanaan kebijakan social safety net dapat meminimalisir potensi kerentanan sosial dan dampaknya yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu sebelum pemerintah menjalankan kebijakan physical distancing, dan khususnya karantina wilayah atau lockdown, terlebih dahulu menyiapkan strategi antisipasi dari potensi kerentanan sosial yang akan terjadi di masyarakat. Agar tidak melahirkan berbagai masalah baru. Bahkan masyarakat mulai kuatir akan terjadi lagi penjarahan seperti tahun 1998 akibat tingkat frustasi masyarakat yang mulai tinggi karena dihadapkan kerentanan sosial ini.
Semoga pandemi Covid-19 dapat teratasi dan masyarakat dapat kembali menjalankan aktivitas sosial-ekonomi seperti biasanya. Masyarakat dapat kembali saling berjabat tangan. Masyarakat dapat saling duduk berdekatan. Masyarakat tidak saling curiga kepada masyarakat lain kalau ia adalahcarrier Covid-19. Masyarakat dapat kembali mengadakan kegiatan ibadah bersama. Masyarakat dapat melakukan kegiatan kumpul-kumpul kembali. Masyarakat dapat mengobrol bersama sambil menikmati secangkir kopi dan teh. Pada akhirnya kita semua dapat menjalankan fungsi sosial sebagai masyarakat dan individu pada umumnya. Sebab hakikatnya manusia adalah makhluk sosial.
Your article helped me a lot, is there any more related content? Thanks!
Can you be more specific about the content of your article? After reading it, I still have some doubts. Hope you can help me.