RABU, 08 JAN 2020 08:14 WIB • DILIHAT 435 KALI • http://www.mdn.biz.id/o/97601/
ARTIKEL Karmel Simatupang*
Destinasi Wisata Toba Berkelas Internasional?
Semenjak Presiden Joko Widodo menetapkan Danau Toba sebagai destinasi prioritas berkelas internasional, tertangkap optimisme kuat pariwisata Danau Toba segera kembali berjaya. Pemerintah pun menetapkan jumlah kunjungan wisata mancanegara (wisman) ke Danau Toba mencapai 1 juta orang pada 2019. Akan tetapi melihat pencapaian hingga ujung 2019, target ini masih jauh dari harapan. Kunjungan wisman ke Danau Toba Tahun 2019 kurang dari 250.000 orang.
Sesungguhnya kita sangat mengapresiasi kebijakan pemerintah pusat yang memberi perhatian besar terhadap pengembangan Danau Toba. Selama tiga dekade sebelumnya, pengembangan dan pembangunan Danau Toba cenderung tertinggal dan stagnan. Bahkan kondisi fisik alamnya kencang mengalami eksploitasi parah. Tetapi saat ini, infrastruktur jalan, jembatan, transportasi danau dan udara, sudah semakin membaik dan terus ditingkatkan.
Boleh dibilang, berpalingnya pemerintah terhadap pengembangan sektor pariwisata sebagai core bisnis pemasukan devisa negara termasuk terlambat. Secara khusus pengembangan serius destinasi-destinasi yang punya ciri khas dan sejarah kuat peradabannya seperti Kawasan Danau Toba (KDT).
Presiden Jokowi tercatat sebagai Presiden Indonesia yang paling punya perhatian besar terhadap KDT dan yang paling sering berkunjung ke kawasan ini. Kita sangat mengapresiasi hal ini. Pada pemilihan umum periode pertama pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (2014-2019), dan periode kedua Jokowi-Ma’ruf Amin (2019-2024), dukungan warga di 7 kabupaten KDT, antara lain Tapanuli Utara, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Dairi, Samosir, Karo dan Simalungun memang fantastis. Rata-rata di atas 90%. Bahkan Samosir merupakan peraih rekor tertinggi di Indonesia memberi suara pada pasangan Capres Jokowi, dari 94,46% sampai 97%. Jokowi dengan demikian, boleh dikata tak lupa memperhatikan pencintanya.
Pada sisi lain, dalam Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2014, roadmap pengembangan KDT sebenarnya juga telah ditetapkan menjadi daerah tujuan wisata dunia. Selain itu, KDT ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) melalui Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008, dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Tahun 2011.
Oleh karenanya, Presiden Jokowi sudah tepat menjadikan KDT sebagai destinasi wisata berkelas internasional.
Selain itu, saat ini Danau Toba yang merupakan Geopark Kaldera Toba (GKT) sudah menyandang status sebagai anggota jaringan Geopark Global UNESCO (UGG), meski penetapannya akan dilakukan pada April 2020, di Paris, Perancis.
Selain itu, saat ini Danau Toba yang merupakan Geopark Kaldera Toba (GKT) sudah menyandang status sebagai anggota jaringan Geopark Global UNESCO (UGG), meski penetapannya akan dilakukan pada April 2020, di Paris, Perancis.
Status ini turut mendukung Toba sebagai destinasi wisata bertaraf internasional. Di bawah payung UGG, GKT akan memiliki jaringan yang luas dengan anggota mencapai 147 UGG pada 47 Negara. Sama seperti 4 geopark global lainnya di Indonesia yang sudah diakui UNESCO, yakni Batur, Sewu, Ciletuh dan Rinjani Global Geopark.
Menurut hemat saya, perlu mendaratkan visi besar ini menjadi cita-cita bersama seluruh stakeholder KDT, dimulai dari masyarakat lokal (adat), pelaku usaha kecil-menengah, petani, nelayan, institusi pendidikan dan pemerintah pusat hingga daerah. Hanya dengan demikian visi ini berhasil.
Pertama, pembangunan fasilitas infrastruktur, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, bandara hingga hotel berbintang yang berlangsung saat ini perlu dibarengi pembangunan suprastruktur, yakni SDM dan budaya masyarakat. Tidak tepat mengesampingkan keberadaan masyarakat setempat dengan karakter lokalitasnya, sebagaimana KDT sebagai asal muasal suku Batak dengan keberadaan adat istiadatnya. Sejatinya perspektif pengembangan KDT berbasis nilai-nilai lokal.
Kita melihat, misalnya, kunjungan Presiden Jokowi ke Desa Wisata Budaya Gamcheon, Busan, Korea Selatan baru-baru ini. Presiden sangat kagum melihat penataan masyarakat lokalnya, yang sebelumnya daerah kumuh menjadi daerah wisata yang ramai dikunjungi wisman. Penyajian makanan dan minuman kata Presiden sangat baik dan murah. Masyarakat setempat benar-benar diberdayakan. Inspirasi ini bisa ditiru dalam penataan kampung-kampung wisata adat di KDT.
Sejauh ini kita melihat, pola pengembangan KDT masih cenderung mengabaikan peran serta dan keberadaan masyarakat sekitar. Misalnya, terjadinya konflik Badan Pengelola Otorita Danau Toba dengan masyarakat adat di Desa Sigapiton, Toba Samosir, karena masyarakat justru terancam di tanahnya sendiri untuk pengembangan wisata, alih-alih membangun bersama masyarakat. Pola demikian, akan menghasilkan bom waktu di kemudian hari.
Kedua, janji pemerintah untuk membebaskan perairan Danau Toba dari keramba jaring apung (KJA) dan polutan lainnya harus direalisasikan secepatnya. Kita terus menunggu janji pemerintah tentang hal ini karena sudah bertahun-tahun. Tidak mungkin destinasi wisata Danau Toba bertaraf internasional jika pencemaran danau tidak dihentikan.
Demikian juga pemulihan hutan KDT. Seperti janji Presiden Jokowi akan menarik 148.000 hektar lahan di KDT yang dikuasai konsesi (Gatra, 1/8/2019). Lahan konsesi tersebut dihijaukan kembali, sebagian untuk pariwisata dan sebagian untuk pertanian warga KDT.
Diperlukan evaluasi komprehensif terkait dengan pelaksanaan even pariwisata di KDT. Contohnya pelaksanaan Festival Danau Toba (FDT). Hampir satu dekade terakhir, pelaksanaan FDT cenderung bermasalah, seremonial dan terkesan hanya menghabiskan anggaran. Setiap tahun sepi pengunjung, seperti FDT 9-11 Desember 2019 yang lalu. Padahal FDT diharapkan sudah seharusnya menggaet wisatawan domestik dan mancanegara.
Sebaiknya FDT atau Pesta Danau Toba (PDT) dikembalikan pengelolaannya bersama masyarakat sebagaimana pernah menjadi kalender wisata yang dinantikan-nantikan. Itu karena sebelumnya masyarakat benar-benar menjadi tuan di halamanya dan berpesta. Wisatawan pun berduyung-duyung datang menyambut even tahunan tersebut.
Meminjam komentar Togu Simorangkir terkait pelaksanaan FDT 2019, harus menggunakan hati dalam pelaksanaan sebuah festival. Ia membandingkan, bagaimana pelaksanaan Lake Toba Pig Festival 2019 yang notabene tidak mendapat dukungan dana dari pemerintah justru lebih seru ketimbang FDT 2019 yang sepi peminat. Sekali lagi itu karena dirayakan bersama dengan masyarakat setempat. Jadi masyarakat tidak hanya penonton dan terasing dari sebuah pesta di halaman rumahnya.
Sebagai penutup, tanpa pelibatan masyarakat lokal dan pendekatan berbasis adat-budaya, dan pemulihan lingkungan di KDT, visi destinasi wisata Toba berkelas internasional akan sulit diwujudkan. Karenanya, agar visi ini berhasil, pengembangan dan pembangunan destinasi wisata Toba haruslah berprespektif penguatan lokalitas dan pemulihan lingkungan hidup sekitarnya.
===
*Penulis adalah Mahasiswa S3 Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan identitas atau biodata diri singkat (dalam satu-dua kalimat untuk dicantumkan ketika tulisan tersebut dimuat). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Kirimkan tulisan dan foto (minimal 700 pixel) Anda ke redaksimbd@medanbisnisdaily.com.