KabarIndonesia – Samosir, Ketua Pengadilan Negeri (PN) Balige, Paul Marpaung memandu acara pengambilan sumpah/janji dan melantik 25 anggota DPRD Samosir periode 2019-2024, dalam Sidang Paripurna DPRD Samosir, Senin 25 November 2019.
Sidang Paripurna pemberhentian dan pelantikan anggota DPRD ini dipimpin Ketua DPRD 2014-2019 Rismawati boru Simarmata didampingi wakil ketua Jonner Simbolon.
Ke 25 Anggota DPRD yang dilantik untuk periode 2019-2024 ini terdiri dari 12 orang wajah baru dan 13 orang petahana (anggota dprd 2014-2019). Keseluruhan berasal dari 4 daerah pemilihan di Samosir dan dari partai PDIP, Nasdem, PKB, Golkar, Demokrat dan Gerindra.
Rismawati Simarmata, Ketua DPRD Samosir 2014-2019, dalam pidato pembukaannya di sidang paripurna menyampaikan bahwa sejak awal dirinya sebagai pimpinan dan anggota DPRD tidak mengenal kompromi terhadap hal-hal yang tidak benar dan melanggar aturan.
“Ketika 5 tahun yang lalu saya memegang palu ini, Saya menyatakan kepada rakyat bahwasanya kepemimpinan kami adalah tanpa kompromi, bahkan terhadap kawan dan partai sendiri. Dan pada hari ini ketika saya memegang palu ini untuk yang terakhir kalinya, dapat kami sampaikan dengan kepala tegak kepada rakyat bahwasanya janji kami telah kami penuhi, kami tepati dan tanpa kompromi. Dan dalam kesempatan ini kembali kami menyampaikan janji untuk memperjuangkan suara rakyat tanpa kompromi untuk 5 tahun berikutnya, sekalipun tidak menjadi pimpinan lagi.” sebut Rismawati, yang juga akan dilantik sebagai anggota DPRD Samosir periode 2019-2024.
Mendengar penuturan pimpinan rapat ini, suasana ruangan yang dipadati ratusan orang yang hadir, menjadi hening. Amatan pewarta yang turut hadir, masing-masing membayangkan peristiwa “perbedaan pendapat” yang ramai diposting di medsos antara ketua dprd dengan bupati, terkait data jumlah persentase kemiskinan di Samosir. Ketika itu pro kontra pun terjadi, masing-masing pihak mempertahankan pendapatnya dengan berbagai alasan, bahkan pihak yang satu menganggap Rismawati melanggar aturan dan akan membawanya ke ranah hukum.
Rismawati pun melanjutkan pidatonya, “Mungkin bagi para hadirin dan terutama anggota DPRD yang baru bertanya-tanya, kenapa kami berjuang tanpa kompromi. Wajar, karena atasan kitapun tidak punya kompromi, bahkan dapat disebut tidak kenal kompromi. Bagaiman mungkin rakyat Samosir kenal kompromi, ketika angka kemiskinan kabupaten ini yang sebesar 13,38% per Maret 2018 jauh lebih tinggi daripada rata-rata provinsi Sumut yang hanya sebesar 8,83% per Maret 2019.
Tentunya kami tidak bisa berdiam diri sebagai DPRD Samosir, terlebih kami bertiga yang duduk dikursi pimpinan. Terngiang di kepala kami, salah satu prosedut parlemen: QUI TACET CONSENTIRE VIDETUR (Baca: KUI TAKET KONSENTIRE VIDETUR). SIAPA YANG DIAM DIANGGAP SETUJU. Kalau kami diam, berarti kami setuju akan kemiskinan di kabupaten Samosir,” ujarnya dihadapan masyarakat yang hadir.
“Veteran perang kemerdekaan RI yang hadir saat inipun tidak setuju akan kemiskinan, baik pada zaman penjajahan maupun zaman kemerdekaan, sehingga mereka memilih untuk tidak diam dan berjuang. Maka kami pun tidak setuju akan kemiskinan di kabupaten Samosir, sehingg kami memilih untuk tidak diam dan bersuara,”
Hal kedua yang selalu mengganggu pikiran Rismawati terkait penguasaan lahan-tanah ulayat. Rismawati kemudian mengungkapkannya dihadapan peserta rapat paripurna. Pewarta media ini berusaha untuk mendapatkan lanjutan pidato Ketua DPRD Samosir, yang disampaikan di forum yang terhomat, selengkapnya sbb:
“Maka dari itu kami meluncurkan RANPERDA TANAH ULAYAT, untuk menjamin Hak Penguasaan Adat atas tanah mereka. Agar rakyat adat bisa berdiri sejajar dengan pemilik modal yang akan masuk di kabupaten Samosir. Meskipun rakyat tidak punya uang, tapi mereka jelas masih punya tanah adat warisan leluhur yang seyogianya harus dikuasai adat mereka dan dipergunakan seluas-luasnya demi kemakmuran keturunan leluhur adat mereka.
Namun tentunya seperti kata Presuden Joko Widodo, perda seyogianya tidak menghalangi masuknta pembangunan ataupun investasi. Dengan sistem konsesi sewa bagi hasil tanah, masyarakat adat tetap menguasai tanah adatnya dan mendapat bagi hasil. Investor bisa berinvestasi lebih mudah dan didukung penuh masyarakat, dan pemerintah mendapat tambahan pendapatan asli daerah.
Besar memang tantangan kami dalam menyusun Ranperda tanah ulayat, terutama dari pemerintah kabupaten Samosir dan bahkan Partai kami sendiri. Namun ketika kami menyaksikan Ronggurnihuta dan berbagai desa di pelosok yang antusias menyambut perjanjian baru. Kembali kami dikuatkan oleh senyum dan tawa rakyat kita yang tetap punya semangat membara. Semangat membara yang kami saksikan ini tidaklah berbeda dengan semangat yang disaksikan Veteran perang kemerdekaan RI di pulau Samosir di masa lampau. Dimana, sekalipun rakyatnya sangat miskin namun tetap siap mengorbankan segalanya demi masa depan yang merdeka.
Maka setelah melalui perjuangan dan perdebatan yang panjang, rampunglah kami buat Ranperda tanah ulayat tersebut. Namun persetujuan bersama Pemerintah kabupaten Samosir tidak kunjung datang hingga detik yerakhir ini. Maka kami memohon maaf kepada segenap rakyat Samosirvatas kegagalan yang sangat kami sesali ini. Mudah-mudahan Perda ini bisa disetujui oleh Pemkab Samosir yang sekarang atau yang mungkin baru nantinya, untuk menggenapi harapan rakyat kita.” terang Rismawati.
Menjelang akhir pidatonya, Rismawati kembali menegaskan kedudukan Anggota DPRD sebagai wakil rakyat dan mitra sejajar pemerintah daerah.
“VOX POPULI VOX DEI. Suara rakyat adalah suara Tuhan, maka hanya suara rakyatlah yang harus didengar oleh Wakil rakyat, bukan suara kawan, partai bahkan pemerintah.
Dari rakyatlah kekuasaaan kita, oleh rakyatlah kita berkuasa, dan demi rakyatlah kita berkuasa. Rakyatlah yang memberi jabatan kepada kita, maka kepada rakyat jugalah jabatan itu kita kembalikan di akhir mssa nantinya.
Maka sebagai anggota Dewan, tidak boleh ada kompromi dalam menyuarakan suara rakyat. Karena Tuhan Yang Maha Esa bisa murka bila suara umatnya tidak disuarakan. Apalagi bila diselewengkan dibawah sumpah jabatan yang sebentar lagi akan bersama-sama kita ucapkan.
Mungkin para hadirin dan terutama Anggota Dewan yang terhormat berdebat dalam hati akan konsekwensi ucapan saya. Apakah boleh mengkritik pemerintah dan partai atas dasar suara rakyat? Maka saya kutiplah Tan Malaka, salah satu bapak pendiri Republik ini yang tewas tragis dibedil republik kita sendiri. ‘Kalau sistem itu tak bisa diperiksa kebenarannya dan tidak bisa dikritik, maka matilah sistem itu.
Kemudian saya kutip sila ke-empat Pancasila: ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.’
Terakhir saya akan mengutip kembali pernyataan Veteran Perang Kemerdekaan RI yang (mungkin) hadir pada saat ini. ‘Kami berjuang untuk Indonesia Merdeka dan berdaulat, bukan Indonesia yang dijajah oleh anak negeri dengan korupsi dan penindasan’. Dan itulah dasar kenapa harus ada legislatif untuk melakukan tugas pengawasan, aspirasi, persetujuan bersama.
Pengawasan yang tajam dan tanpa kompromi menjamin kebijaksanaan dan terhindarnya korupsi. Aspirasi menjamin perwakilan rakyat dalam sistem kerakyatan dan terhindarnya penindasan. Persetujuan bersama menjamin memang adanya permusyawaratam, atau khususnya untuk ‘halak hita’ (red. orang Batak) tergenapinya ‘satahi saoloan’ (red. seia-sekata). Sehingga yang benarlah yang menjadi jalannya di negara kita, khususnya daerah kita.
Konsekwensinya, DPRD dan Pemerintah daerah harus sama-sama memahami dan sama-sama memaklumi dua hal. Pertama, bahwasanya DPRD harus siap mengawasi dang mengkritik pemerintah atas dasar suara rakyat. Kedua, pemerintah harus siap diawasi dan dikritik DPRD.
Memang banyak tantangan dan ancaman bagi para wakil rakyat yang mau menyuarakan kebenaran. Takut akan oknum, akan partai, akan penguasa, yang bisa saja berkonspirasi untuk tidak melanggengkan kita duduk di kursi Dewan ini, bila tidak ‘sejalan’. Memang menyuarakan kebenaran itu pekerjaan berat, tapi yakinlah kawan-kawan Dewan dan hadirin sekalian, ‘ujungna sai monang do hasintongan, pada akhirnya kebenaran pasti menang. Dan seperti kata Megawati Soekarnoputri: ‘jika kalian sejatinya memperjuangkan suara rakyat, yakinlah Rakyat yang akan mendukung kalian, melindungi kalian dan memilih kalian kembali” tegas Ketua DPRD Samosir dari partai PDI-P ini.” pungkasnya.
Diakhir sambutannya yang dia sebut sebagai sambutan perpisahan pimpinan DPRD, Rismawati Simarmata membuat sebuah pernyataan dalam bahasa Batak Toba: “Songon nidok ni Ibu Kartini sian pulo Jawa, salpu ma naholom roma na tiur, nunga salpu na dipudingku, huuduti ma na dijolongku, manang aha pe na masa ujungna sai monang do hasintongan,” (terjemahan bebas: Seperti dikatakan Ibu Kartini dari pulau Jawa, habis gelap terbitlah terang. Yang dibelakangku sudah berlalu, akan kulanjutkan yang dihadapanku. Apapun yang terjadi, hanya Kebenaranlah yang tetap menang.” (Pidato dikutip media ini atas ijin yang bersangkutan).