OBITUARI DINIHARI
Tatan Danil, 25/5/2019 di Wag Alumni APDN angk.16

“Kunyalakan api di dalam tungku
dingin sekali malam itu..”

Aku tak tahu, Dy, dari mana memulai ini. Aku ingat, dulu sekali, ketika kau di IIP Cilandak, dari Kisaran aku pernah menulis catatan yang amat panjang untukmu. Hampir duapuluh halaman ketik. Hanya kepadamu aku pernah menulis surat sepanjang itu. Lalu, dalam surat balasanmu, kau kabarkan,  ‘esai’ gado-gado itu kau edarkan dan menjadi bacaan wajib kawan-kawan sekelasmu. Haha. Lucu juga. Tapi malam ini, agaknya tak banyak yang sanggup kutuliskan, meski tak sedikit kenangan tentang persahabatan berpuluh tahun denganmu. Mungkin, ini menjadi semacam ‘monologue interior’ saja bagiku. Tentang seorang sahabat yang dihatiku terasa amat dekat. Sahabat yang berbeda, dari yang lain.

Bertahun-tahun bersama di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Medan, yang dulu disebut ‘sekolah Camat’ itu, aku mengenalimu sebagai belia dengan citarasa humor yang cerdas. Darimulah aku bisa menghargai kehebatan Basiyo, misalnya. Atau kedakhsyatan awak Srimulat, seperti Asmuni, Tarsan, cs., yang kau hafal semua nama dan sosok warganya. Bahkan gestur dan idiom plesetan khas masing-masing mereka. Juga rombongan Cak Kartolo, Cak Basman, cs. para aktor ludruk dari Surabaya. Yang mengagumkanku adalah, koleksi kaset para seniman humor itu tersimpan rapi di lemarimu, bersama ratusan kaset lainnya, sebagaimana pernah kau tunjukkan padaku, ketika suatu hari aku menginap di rumahmu, di Medan. Semuanya, citarasa kesenian rakyat Jawa itu, kau nikmati dengan penghormatan, dengan sungguh-sungguh, dengan sukacita, dan kau simpan sampai berpuluh-puluh tahun.

Tapi juga, yang paling kuhormati darimu adalah apresiasimu yang  bagus ikhwal Konser Rakyat Leo Kristi (KRLK). Kau juga menyimpan kaset-kasetnya, sejak dari Nyanyian Cinta, Nyanyian Malam, dst. Tak banyak orang yang kukenal, yang bisa menikmati KRLK. Karena itulah aku merasa nyaman di akademi yang sama sekali tak “nyeni” itu. Sekolah yang mengharuskan kita apel pagi, siang, dan malam. Menggosok tanda pangkat dan macam-macam atribut (seperti di fotomu itu. Potret jadul ketika kau masih  di tahun pertama), dan menyemir sepatu setiap hari. Aku menemukan kawan, dengan  perhatian dan jalan pikiran yang sama, di sela-sela perkuliahan tentang The Liang Gie, Soltau, Miriam Budiardjo, Sondang Siagian, tentang gorong-gorong dan sirtu, tentang palawija dan tanah bengkok, dan sebagainya, yang sebagian membosankanku. Oh, aku berutang padamu, Dy. Beberapa waktu lalu, aku pernah menjanjikan akan mengirimkan untukmu album “Hitam Putih Orche”, yang kau belum punya. Karena belum sempat ke Medan, album itu malah kuberikan sebagai kado ulang tahun untuk Bang Ali Djauhari, yang beberapa bulan lalu sudah almarhum pula.

Kecintaanmu pada musik membuatku kagum. Dengan ingatan yang jernih dan tajam, dengan pemahaman yang luas. Sampai ke silsilah awak band, serta  judul-judul album dan urutannya, rapi tersimpan dalam ingatanmu. Mengingatkanku pada seorang David Tarigan, atau Denny Sakrie (alm). Aku cuma punya simpanan dua ratus kaset, tapi kau sudah menyimpan seribu-an. Mulai dari Nurainun sampai Janis Joplin. Mulai dari Rhoma Irama sampai Rolling Stone. Mulai dari Waldjinah sampai Emerson, Lake and Palmer. Mulai dari Bing Slamet sampai Louis Amstrong. Mulai dari Gembell’s sampai Genesis. Mulai dari Guruh Gipsy sampai Guns ‘n Roses. Mulai dari Pancaran Sinar Petromak sampai Electric Light Orchestra. Sampai yang tak dikenal banyak orang sekalipun. Masihkah tersimpan gitarmu dulu, teman kita menyanyikan Koes Plus, Fariz RM, Bani Adam, Harry Roesli, dan entah apa lagi, bersama Tulen juga, Suang, Rince, Risma, dan kawan-kawan, di malam-malam yang hangat, di asrama yang selalu riuh, di kampus Jalan Jati, setelah menikmati mie rebus masakan Wak Cing? Atau di malam-malam sunyi, di Jalan Marakas dulu? Atau ketika piket tengah malam (yang kadang-kadang dikejutkan oleh teriakan Pak Rombang Tarigan), sambil menunggu pesanan nasi goreng Jalan Pandu?

Aku ingin mengenangmu sebagai sahabat baik yang tidak biasa. Sahabat yang aku pernah tidur di rumahmu. Dan kau pun pernah tidur di rumahku. Kau bukan seniman, tapi rasa sayang dan kecintaanmu terhadap kesenian, membuatmu tidak biasa di mata dan hatiku. Dan kau pergi tiba-tiba.. Beberapa malam lalu, hampir pukul dua dinihari, ketika aku risau tak bisa lelap, tiba-tiba menemukan wajahmu di halaman fb Suang Karo, dan doa-doa belasungkawa yang mengejutkan. Kulihat pula gambarmu terbaring kaku di peti jenazah, tanpa senyum, dan isterimu, Beru Ginting, yang menangis terkulai. Aku tak bisa berkata apa pun tentangmu, berhari-hari setelah itu. Dan berharap-harap, itu sebagai kabar yang  keliru. Tentu saja, isteriku, Sulfi, terkejut ketika kuberitahu tentang kabarmu. “Bang Eddy? Bang Eddy yang dulu menjemput kita di Polonia waktu Papa meninggal?”, tanyanya berulang. Lama memang kita tak bertemu, terakhir waktu reunian di Swiss Belhotel, tapi setiap kali bertelepon, setelah tertawa-tawa, selalu kita saling menutup dengan pesan dan harapan: “Sehat-sehat, kam, ya. Istirahat yang cukup. Jumpa kita di Medan!”

Dy, banyak yang berkelebatan dalam ingatanku. Semuanya bersirobok dalam benakku. Bercampur rasa duka yang perih. Dan kehilangan yang sangat. Tapi, memang, “Siapa yang bisa menghentikan waktu?”, begitu sepotong lirik lagu Harry Roesli setengah bertanya, seperti yang pernah kau sebutkan padaku. Baik, Dy. Jika aku ke Medan, pada kesempatan pertama, aku akan berziarah ke makammu. Sambil memutar sepenggal ‘waktu’, menghidupkan lipatan kenangan tentang gaya bercandamu yang khas. Kadang-kadang nyelekit tapi bagiku selalu asyik itu. Mengenangkan suara gitarmu. Ketulusan  dan sensitifitasmu, yang khas kalak Karo itu.

Aku menyayangimu, kawan. Sepenuh hatiku. Aku berdoa untuk kebahagiaan dan kedamaianmu di sana, di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih. Kenangan tentangmu, tentu akan kusimpan baik-baik di sisa usiaku. Selamat jalan, sahabat karibku. Selamat jalan, Eddy Dharma Tarigan..

2 thoughts on “

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *