*Siapa Pengusul Pemilu Serentak Dengan Pilpres?*
Oleh : Dimas Supriyanto
MARI TANYA EFFENDI GHAZALI DAN HAKIM MK INI – Kalau penyelenggaraan Pemilu Serentak di tahun 2019 banyak menelan korban jiwa, sehingga ratusan petugas KPPS mati (maaf, meninggal) – jangan buru buru menyalahkan pemerintah dan penyelenggaranya, yaitu KPU. Apalagi menyudutkan pemerintah dan petahana Presiden Jokowi.
Silakan tanya dulu kepada Effendi Ghazali, pakar komunikasi – yang tidak komunikatif – karena ngomongnya sering melantur lantur – sok menghibur dan membingungkan itu.
Effendi Ghazali Ph.D., MPS ID, akademisi dan pakar Komunikasi dari UI dengan gelar berderet – inilah, orang yang pertama mengajukan usulan ke Mahkamah Agung (MA) agar Pemilu 2019 dilakukan serentak yakni Pemilu Legislatif (Pileg) bersama sama dengan Pemilihan Presiden (Pilpres), pada 2014 lalu.
Alasan pengajuan yang dilakukannya bersama “Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak” dengan menggugat UU Nomor 42/2008 tentang Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK) – registernya bernomor 14/PUU-XI/2013 — lantaran pemilu serentak lebih efisien, katanya. Baik dari segi waktu maupun biaya.
Di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, pada Rabu (20/2/2013) itu Effendi Ghazali menyatakan, gelaran pilpres dan pileg yang tidak serentak membuat boros anggaran. Jika kedua pemilihan itu dilaksanakan bersamaan, maka diperkirakan olehnya akan menghemat hingga Rp 120 triliun!
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan usulan itu! Palu pun diketok. Tok! Tok! Tok! Dan pemilu serentak dilakukan di tahun ini. Lalu korban pun jatuh bergelimpangan. Petugas KPPS, pengawas dan aparat kepolisian yang menjaganya meninggal kelelahan dan masuk rumah sakit.
Memang penggagas acara ‘Republik Mimpi’ ini, sempat mengajukan Judicial Review agar Pemilu Serentak 2019 dibatalkan dan ditolak MK. Akibatnya, dia menyesal. Tapi penolakan dan penyesalannnya bukanlah untuk membatalkan pemilu serentak, melainkan karena keputusan MK itu memberlakukan ‘Presidential Threshold’ yang baru diterapkan pada Pemilu 2019. Padahal dia minta sejak Pemilu 2014 lalu!
Bayangkan saja – jika sejak 2014 sudah ada pemilu serentak seperti sekarang?!
JUMLAH anggota KPPS meninggal dunia pun kini bertambah dari hari kehari. Terakhir, menjadi 144 jiwa. Selain itu, 883 anggota KPPS dilaporkan sakit.
Jumlah ini mengacu pada data KPU hingga Rabu (24/4/2019) pukul 15.15 WIB.
“Petugas pemilu kedukaan, sakit 883, wafat 144, total 1.027. Tersebar di 33 provinsi,” kata Komisioner KPU Viryan Azis di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu kemarin.
Effendi Ghazali kini hanya bisa menyatakan turut berdukacita atas meninggalnya mereka – para patriot yang memenuhi tugas negara itu.
“Tidak ada orang yang meragukan bahwa kita ikut berduka cita sedalam-dalamnya,” katanya.
Dia bilang “kita” – padahal, dulu dia yang ngotot Pileg dan Pilpres 2019 serentak.
Dampak negatif pemilu serentak yang diabaikan oleh Effendi Ghazali bukan hanya meninggalnya para “Pahlawan TPPS” – para Patriot Pemilu, yang melayan rakyat pemilih yang harus mencoblos 5 surat suara sekaligus di TPS; memilih anggota DPRD tingkat kabupaten/kota, anggota DPRD tingkat provinsi, anggota DPR, anggota DPD, serta calon presiden dan wakil presiden.
Yang paling konyol – stigma negatif ditimpakan kepada penyelenggara (KPU) dan pemerintah . Serta kubu petahana, yang dianggap sebagai biang kerok ini semua.
Padahal justru Effendi Ghazali dkk lah biang keroknya.
Bagi para penganut “Salawi”, apa pun dan siapa pun yang bikin ricuh dalam Pemilu dan urusan lain di negara ini, tetap saja yang “dinyanyikan” adalah lagu lagu “Salawi” ; pokoknya yang Salah JokoWi.
NAMA lain yang layak disalahkan atas Pemilu Serentak di tahun 2019 ini – dan audah mengaku – adalah Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman – yang mengetokkan palu keputusannya.
Kini dia mengaku ikut berdosa lantaran turut memutuskan dilakukan pemilihan umum (Pemilu) secara serentak. Bahkan kemudian dia mengakui penyelenggaraan Pemilu 2019 merupakan yang tersulit di dunia, katanya kepada laman CNNIndonesia.com.
“Saya merasa ikut berdosa karena saya ikut memutuskan. Kalau tidak salah sudah 45 orang petugas KPPS dan 15 orang polisi yang meninggal dunia (saat pemilu),” ujar Anwar di Cisarua, Bogor, Senin (22/4).
Anwar menjelaskan salah satu pertimbangan MK saat memutuskan pemilu serentak adalah efisiensi waktu dan anggaran. Namun, ia mengaku dalam pelaksanaanya, anggaran pemilu ternyata lebih besar dari perkiraan awal dan mencapai Rp35 triliun.
“Saya begitu pulang dari TPS, ternyata (sadar) betapa sulitnya Pemilu. Tapi putusan hakim MK pun bukan firman Tuhan, konstitusi saja bisa diamandemen. Ternyata anggaran pemilu (juga mencapai) sekitar Rp35 triliun,” tuturnya.
Dari pengalamannya pribadi, Anwar mengaku kesulitan dalam memilih saat memasuki bilik Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pasalnya, terlalu banyak pihak yang harus dipilih dalam pemilu serentak tersebut.
“Kebetulan saya memilih di wilayah Tangsel (Tanggerang Selatan), masuk Banten. Jadi dari tingkat kesulitan memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika yang kita tau sebagai mbahnya demokrasi,” sebutnya.
Anwar memastikan pelaksanaan pemilu 2019 akan menjadi bahan evaluasi ke depan.
Ia juga berharap seluruh pihak dapat menerima keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait hasil pemilu pada 22 Mei mendatang.
“Tapi sudah lah, ini sudah terjadi. Ini bahan evaluasi ke depan. Tugas berat masih menanti kami, saya terus terang selalu berharap mudah-mudahan pemilu ini, terutama pilpres tidak bermuara ke MK,” ungkap dia.
Enteng sekali, ya – orang orang pinter ini ; para akademisi, penegak hukum dengan gelar berderet deret ini.
Nyawa orang banyak sudah bergelimpangan, dan dia cuma bilang; “Sudah lah” ***