Indonesian Election Cases

MENGHADIRKAN NEGARAWAN PEMIMPIN OTENTIK.

Hari Rabu, 17 April 2019 sejarah mencatat Negara Republik Indonesia telah melaksanakan pemilihan umum (Pemilu) ke 11 kali sejak tahun 1955. Pemilu telah dilakukan di republik ini menjadi catatan sejarah dapat ditelusuri generasi ke generasi sepanjang masa. Catatan sejarah itu, bagian tak terpisahkan proses kematangan berdemokrasi yang harus terus-menerus ditingkatkan konsisten berkesinambungan hingga benar-benar terwujud demokrasi substantif menghadirkan negarawan pemimpin otentik, pemimpin untuk semua di Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, UUD RI 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Bhinneka Tunggal Ika telah HARGA MATI.

Secara teori, retorika, wacana maupun menu diskusi, seminar, dll sebutan negarawan tidak asing lagi diperbincangkan di ruang publik. Bahkan seseorang menyebut diri seorang negarawan tanpa menyadari arti dan makna hakiki predikat negarawan komprehensif paripurna.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007) “Negarawan ialah ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan”.

Definisi negarawan sebagaimana disebutkan diatas, memberi pengertian, pemahaman mendalam dan mendetail bagi setiap orang komprehensif paripurna. Sehingga bisa ditarik garis demarkasi konkrit antara seorang politisi dengan seorang negarawan menjadi pemimpin otentik, pemimpin untuk semua mengemban amanah kepercayaan rakyat menghadirkan kemaslahatan bangsa dan negara.

Anak negeri baru saja usai melaksanakan perhelatan pesta demokrasi rakyat memilih pemimpin, Pilpres, Pileg Serentak 17 April 2019  yang seharusnya wadah pendidikan politik rakyat dan pesta demokrasi penuh kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan telah “dibajak” politisi-politisi minus kenegarawanan menimbulkan keresahan, kecemasan dan ketakutan berbangsa bernegara.

Pilpres, Pileg Serentak 2019 yang seharusnya menghadirkan putera-puteri terbaik Ibu Pertiwi Indonesia melalui seleksi kompetensi, kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, integritas dengan menyodorkan, menawarkan visi-misi, ide, gagasan, program cerdas, jenial, brilian membangun bangsa, justru sebaliknya “dibajak” politisi-politisi tak bertanggung jawab ajang penyebar virus ujaran kebencian, fitnah, hoax atau kebohongan, hujat, hasut, adu domba, provokasi, agitasi, permusuhan, kampanye hitam menyerang kontestan lain.

Politisi tanpa kenegarawanan tak pernah menyadari kekeliruan dan sesat pikir merusak, mengobrak-abrik keutuhan bangsa dan negara akibat tindakan menghalalkan segala cara demi meraih ambisius berkuasa.

Membenturkan fanatisme buta isu sektarian-primordial sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) demi meningkatkan potensi dukungan konstituen adalah perilaku buruk, kumuh, tak beradab. Sebab, isu SARA serta fanatisme buta sektarian-primordial lainnya akan menimbulkan gesekan, benturan, bahkan konflik horizontal ditengah masyarakat dan bangsa.

Politisi bermotif mengejar ambisi nafsu birahi kekuasaan telah membajak kontestasi politik pertarungan “hidup-mati” dengan berbagai intrik, manuver politik di luar nalar politik kesantunan dan keadaban yang meninggikan harkat, martabat kemanusiaan sebagaimana tujuan hakiki demokrasi itu sendiri. Berbagai tindakan tak terpuji seperti; ujaran kebencian, fitnah, hoax, hasut, hujat, adu domba, provokasi, agitasi, kampanye hitam, politik uang (money politics), intimidasi, serta tindakan melanggar hukum lainnya dilancarkan sistemik, masif, terstruktur. Hal inilah salah satu bukti tabiat buruk politisi tanpa kenegarawanan yang mudah ditemukan pada perhelatan pesta demokrasi era belakangan ini.

Politisi tanpa kenegarawanan sejatinya hanyalah politisi pemburu rente, pintar kalkulasi untung-rugi atas investasi politik digelontorkan. Politisi semacam ini sangat tak layak diberi amanah kepercayaan rakyat, sebab mereka sejatinya bermotif menjadikan kekuasaan tujuan akhir. Ketika kekuasaan benar-benar telah diraih maka mereka akan mengkompensasi investasi politik membangun imperium kekuasaan, baik kekuasaan politik, finansial dan lain sebagainya. Mereka tidak pernah memaknai kekuasaan instrumen memperjuangkan amanat penderitaan rakyat, konon lagi meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan, keadilan secara holistik.

Seorang negarawan selalu berkaidah, berikhtiar kepentingan negara diatas kepentingan individu, keluarga, kelompok maupun golongan. Seorang negarawan tidak pernah mendirikan istana kekuasaan diatas puing-puing kerusakan, kehancuran bangsa dan negara. Seorang negarawan tidak pernah mengangkat fanatisme buta sektarian-primordial, serta sentimen SARA meraih kemenangan kontestasi politik. Sebab, mereka tau dan sadar betapa dahsyatnya kerusakan, kehancuran Persatuan Indonesia, Persaudaraan sesama anak bangsa dikemudian hari. Seorang negarawan tidak pernah rela harmoni hubungan berbangsa bernegara terciderai dan terlukai perebutan ambisi kekuasaan temporer dan sesaat. Seorang negarawan selalu taat asas dan tidak akan melanggar konstitusi demi suksesi.

Seorang negarawan akan menunjukkan rekam jejak (track record) kinerja terbukti dan teruji. Dengan demikian rakyat bisa mengkaji, menganalisis layak atau tidak diberi amanah kepercayaan rakyat tepat dan akurat. Inilah perbedaan nyata seorang negarawan dibandingkan sekadar politisi, apalagi politisi sontoloyo yang menghalalkan segala cara demi meraih nafsu birahi berkuasa.

Jika diperhatikan cermat dan seksama perpolitikan bangsa era belakangan ini sungguh sangat memprihatinkan, menyedihkan sekaligus mengecewakan dan menjengkelkan.
Betapa tidak…….???
Pilpres, Pileg, Pilkada telah menunjukkan dengan mata telanjang, negeri ini surplus politisi, minus negarawan. Akibatnya, timbul karut-marut berbangsa bernegara sangat mencemaskan dan menakutkan potensi ancaman laten keutuhan bangsa ke depan.

Politisi minus negarawan telah mempermalukan bangsa dan negara di mata dunia internasional. Para politisi yang dianggap seorang negarawan selama ini, ternyata hanyalah seorang “binatang politik” dalam jiwa dan pikiran disesaki “naluri kebinatangan politik” buas haus kuasa. Kebinalan naluri kebinatangan politik terurai terang-benderang tanpa sehelai penutup kedunguan berbalut kejahatan amat sangat luar biasa.

Politik kumuh tak beradab terpublikasi ke seluruh seantero dunia. Ketidakdewasaan berdemokrasi tersaji terbuka, transparan melalui pemberitaan media massa, baik media cetak, media elektronik maupun media sosial (Medsos) membuat publik muak dan jijik melihat para politisi minus kenegarawanan.

Kedewasaan berdemokrasi tercermin dari komitmen SIAP KALAH-SIAP MENANG tercoreng dan ternoda pihak tidak siap menerima kekalahan. Bahkan, hasil Quick Count lembaga survey kredibel tidak diterima dan diakui bila KALAH. Tapi paling tak masuk akal dan memalukan hasil Quick Count lembaga survey memenangkan diri dan partainya diterima dan diakui menjustifikasi kemenangannya. Padahal, lembaga survey bekerja berdasarkan metodologi ilmiah diakui di dunia internasional salah satu instrumen demokrasi. Walaupun harus diakui ada survey “abal-abal” dari pelacur intelektual yang menjual dan menggadaikan harkat dan martabatnya demi kompensasi kepentingan politik maupun bisa dibeli seperti barang dagangan di pasar loak.  Mereka sejatinya telah melakukan “harakiri” terhadap kredibilitas ilmiah ala pertanggung jawaban di negara Jepang.

Salah satu keanehan Pilpres, Pileg Serentak 2019 ialah munculnya pemikiran “REKONSILIASI NASIONAL” pasca Pilpres, Pileg Serentak 2019 yang digagas tokoh nasional lintas sektoral untuk menjaga keutuhan bangsa. Ide, gagasan ini semakin membuktikan KETIDAKDEWASAAN” berdemokrasi para politisi minus negarawan.

Bukankah sebelum Pilpres, Pileg Serentak 2019 digelar telah ditanda tangani bersama KOMITMEN POLITIK SIAP KALAH-SIAP MENANG……???

Mengapa  hasil Pilpres, Pileg Serentak 2019 tidak diterima dan diakui……..???

Bukankah pada setiap kompetisi apapun ada kalah, ada menang……???

Di negara demokrasi matang atau dewasa tidak perlu “Rekonsiliasi Nasional” sebab Pemilu adalah seleksi memilih “Negarawan Pemimpin Otentik, Pemimpin Untuk Semua”, dan hasil Pemilu sesuai konstitusi resmi dan sah.

Bangsa ini membutuhkan “negarawan-negarawan sejati”, bukan sekadar politisi.
Karena itu, “Menghadirkan Negarawan Pemimpin Otentik, Pemimpin Untuk Semua” menjadi agenda prioritas berbangsa bernegara paling mendesak dilakukan agar bangsa ini terhindar dari aib memalukan di mata dunia internasional.

Medan, 22 April 2019.
Salam NKRI……!!! MERDEKA……..!!!
Drs. Thomson Hutasoit.
Warga Negara Pemilik Hak Pilih.

3 thoughts on “Indonesian Election Cases

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *