Kafir, mindset yang berbeda

Beberapa hari belakangan ini media massa sedang ramai dengan rekomendasi Munas Alim Ulama NU, yang mengusulkan penghapusan kata kafir kepada non muslim, dalam kehidupan kita berbangsa. Kepada beberapa awak media yang mewawancarai saya soal ini saya katakan, saya sangat mengapresiasi sikap dan keputusan sedemikian.

Menurut pengamatan saya hal ini sangat sejalan dengan prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh NU selama ini. Tanpa keputusan ini pun, sesungguhnya mengkafirkan non muslim di Indonesia bukanlah tradisi NU. Namun keputusan ini menjadi penting, saat ini,  sebagai penegasan untuk menolak fenomena yang berkembang dewasa ini, yakni semangat mengkafirkan umat lain oleh sebagian umat Islam.

Kita sangat prihatin dengan fenomena mengkafir-kafirkan ini, karena selain merupakan kekerasan teologis, dia juga mengusik persaudaraan dan kerjasama sesama anak bangsa, yang pada gilirannya potensial memecah kita sebagai bangsa.

Olehnya saya mengapresiasi keputusan Munas tersebut, sebagai sebuah keputusan yang akan semakin memperkokoh kesatuan dan persatuan kita sebagai bangsa  Indonesia. Dalam terang kebangsaan kita, nomenklatur yang kita gunakan sesuai konstitusi adalah warga negara, bukan umat beragama dan kafir.

Tentu kita tidak hendak menggugat penggunaan kata kafir dalam kita suci, kalau itu memang ada. Namun dalam terang masyarakat majemuk, dan dalam perspektif kemanusiaan sejati, patutlah kita mengembangkan pemahaman yang lebih menghargai satu sama lain.

Dalam kekristenan sendiri bukannya tidak ada istilah ini. Namun, saya tetap pada keyakinan bahwa mengkafirkan orang lain itu merupakan kekerasan teologis. Itu sebabnya, saya kira, Kristus sendiri mengkritisi secara keras orang yang mengkafirkan orang lain (Matius 5:22).

Memang dalam perjalanan sejarah gereja, ada masa di mana kekristenan memandang orang lain yang beda agama sebagai kafir, dan olehnya mesti dikristenkan. Tapi saya kira masa itu telah lalu oleh pencerahan dan proses humanisasi. Teologi Kristen kini, melalui pendalaman biblis, makin meyakini bawa di luar umat yang beragama Kristen pun kemuliaan Allah dapat ditemukan. Bahkan Allah dapat bekerja melaluinya. Umat kristen memahami, terdapat nilai dan kearifan yang melekat dalam diri umat manusia lain yang beda agama, dan oleh karenanya mereka yang berbeda harus ditempatkan sebagai mitra dan bukan sebagai objek karya misi. Dalam pemahaman sedemikian, maka sesungguhnya kata kafir tidak mendapat tempat.

Dengan menghilangkan istilah kafir dan menggantinya dengan sesama manusia, warga negara atau sesama insan, maka dialog antar agama akan dilihat sebagai “percakapan dengan kerinduan untuk berjumpa dengan Allah, yang telah lebih dahulu hadir di tengah konteks kehidupan mereka yang berbeda dengab kita”. Maka proses interpenetrasi bisa terjadi secara terbuka, dengan penuh kejujuran dan penghormatan satu sama lain.

Olehnya,  dialog antar agama tidak bisa dilihat dan diperlakukan sebagai entry point untuk misi/dakwah. Dengan praktek tak terpuji seperti ini, mindsetnya masih membagi umat manusia atas dua lapisan: umat beragama dan kafir.

Dalam kerangka ini saya salut dengan muktamar ulama yang melakukan terobosan.

One thought on “Kafir, mindset yang berbeda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *