Hwa Antoni Antra Pardosi 31 thn hari ini 18/2/19

PARSOBURAN, 31 TAHUN YANG LALU

Matahari sudah beranjak sepenggalah dari balik punggung Pegunungan Bukit Barisan. Dengan hati berbunga-bunga, sekaligus mendebarkan dan perasaan campur aduk lainnya, aku dan kekasihku, Rani Rianita Hutapea bersiap-siap menuju gereja HKBP Parsoburan. Hari itu, Kamis, 18 Februari 1988, hubungan pacaran kami, yang sudah memasuki usia 9 tahun, akan berlanjut secara resmi menjadi pasangan suami istri.

Sudut dua ruas jalan yang mengurung onan (pasar), di depan rumah, semakin bertambah ramai. Seluruh perwakilan kekerabatan Dalihan Natolu kian lengkap. Kelompok dongan tubu Pardosi dan hula-hula Hutapea dari Laguboti sudah membentuk barisan, bersama kaum boru dan handai taulan lainnya.

Tidak ada iringan musik, selayaknya pesta pernikahan Batak yang sudah lazim kala itu. Juga tidak mobil hias, kecuali barisan beberapa anak perempuan yang menenteng bunga warna-warni di barisan depan. Ketukan tapak sepatu di jalan beraspal dan kibasan ujung celana serta kain sarung melebihi simfoni terindah mana pun.

Beruntung, sehari sebelum hari H, dua ruas jalan yang menghubungkan rumah ke jalan utama yang tadinya masih makadam tiba-tiba sudah disulap menjadi jalan aspal. Jika tidak, kekasihku akan susah berjalan dengan sepatu hak tingginya, dan tentu tidak lucu apabila ia menenteng sepatunya sampai ke halaman gereja. (Kemudian aku ketahui, pemerintah setempat mempercepat pengaspalan termasuk menerabas semak belukar sepanjang jalan masuk Pasar Parsoburan, hanya oleh karena acara pemberkatan dan pesta adat perkawinan kami).

Jarak rumah ke gereja tidak jauh, hanya berkisar 300 meter. Yang bikin heboh, puluhan anak SD yang sekolahnya berdekatan dengan gereja sudah menunggu dan apa yang akan mereka lakukan sangat di luar dugaan. Ketika rombongan mendekat anak-anak itu membentuk barisan tandingan dan bersorak riuh sembari bertepuk tangan, “Mangoli Si Pencus…. Mangoli Si Pencus…” Demikian kata-kata itu berulang dan bersahut-sahutan, layaknya penjual es krim dan penjual tahu bulat, mengiringi langkah kami sampai ke pelataran gereja. Rombongan tentu saja terheran-heran, dan tak tahu ke mana minta penjelasan.

Aku tersenyum di kulum. Anak-anak itu lucu dan sangat menggemaskan. Di antara mereka banyak yang aku kenal. Mungkin, merekalah yang pertama meneriakkan yel-yel “Mangoli Si Pencus” lantas diikuti yang lain. (Perihal “Si Pencus”, itu nama panggilanku oleh kerabat dan anak-anak di sekitar rumah sejak beberapa tahun sebelumnya. Orang bilang, aku memang dekat dengan anak-anak).

Pernikahan kami diberkati Tuhan melalui hamba-Nya, Pdt AE Ompusunggu. Natsnya dipetik dari Yesaya 43:1 b, bunyinya: “Janganlah takut, sebab Aku telah menebus engkau, Aku telah memanggil engkau dengan namamu, engkau ini kepunyaan-Ku”.

Acara pesta adat berlangsung sangat sederhana. Tidak ada musik dan tentu saja tidak ada tortor. Meski demikian, substansi adat dan kemeriahannya tak sedikit pun berkurang. Bahkan, apabila dipikir-pikir, dibandingkan dengan kecenderungan pesta adat yang sangat wah di bona pasogit, pesta kami jauh lebih efisien baik dari segi budget dan manajemen waktu.

Kami adalah pengantin remaja. Usiaku baru beranjak 25 dan kekasihku belum sepenuhnya 23. Kami masih berstatus mahasiswa. (Dan aku, sudah bekerja di Harian SIB sembari kuliah)

Perkawinan seperti ini, masuk akal jika dianggap ada udang di balik batu. Keesokan harinya, seorang ibu yang masih kerabat menawarkan istriku mangga muda. Tanpa pikir panjang, istriku melahap mangga muda itu membuat si ibu menyimpulkan sepihak bahwa istriku sudah hamil muda. Hoaks itu cepat menyebar di kalangan orang sekampung juga kerabat.

Anak pertama kami, Rendra Antra Pardosi lahir hampir 2 tahun kemudian, yaitu pada 8 Desember 1989. Anak kedua, Chadra Antra Pardosi pada 11 Desember 1991, dan si Pudan, Euaggelion Antra Pardosi pada 24 Desember 1996. Pada tahun 2016, kami mendapat “boru magodang”, Rahel Triwirani yang dipersunting bere kami, Hendrico Mangatur Sitorus. Kebahagiaan kami semakin sempurna setelah ananda Rendra menikah dengan Khan Benti Susanti pada 4 Oktober 2017. (Mudah-mudahan mereka cepat momong anak sehingga aku tak lagi dipanggil “Ompung Jenggot” tetapi “Ompung Si Ucok atau Ompung Si Butet).

31 tahun telah berlalu. Kami bersyukur betapa baiknya Tuhan dalam perjalanan hidup kami. Bukan hanya riak, bahkan gelombang dahsyat pun bisa menenggelamkan biduk rumah tangga kami ke dasar samudera. Begitu istimewa, Tuhan memberikanku istri yang sangat tabah menghadapi banyak cobaan, dan begitu banyak cobaan, termasuk anak-anak yang tidak rewel karena tidak dibesarkan dalam gelimang kemewahan.

Terimakasih, Tuhan, atas penyertaan-Mu dalam kehidupan rumah tangga kami! Kiranya, pinta kami, Engkau tetap melindungi dan memberkati keluarga hamba-Mu ini ke hari-hari yang akan datang.

///Sejenak Menyapa///Antoni Antra Pardosi, Hela ni Hutapea, Tambun Utara, 18 Februari 2019.

3 thoughts on “

  1. Reading your article has greatly helped me, and I agree with you. But I still have some questions. Can you help me? I will pay attention to your answer. thank you.

  2. Your article gave me a lot of inspiration, I hope you can explain your point of view in more detail, because I have some doubts, thank you.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *