BERUBAHLAH OLEH PEMBARUAN BUDIMU
Roma 12:1-3. Pdt.Dr.Victor Tinambunan, MST,
Pengantar
Di tengah suasana bangsa yang dirundung duka amat dalam ini, sesungguhnya porsi kata-kata dan ‘uluran hati’ (berupa ucapan turut berduka) lebih sedikit dibutuhkan ketimbang uluran tangan. Bukan berarti bahwa kata-kata tidak dibutuhkan. Yang perlu ialah kata yang mengalir dari pembaharuan budi. Sebab, tanpa pembaharuan budi, kata-kata yang kita ungkapkan pun hanyalah sedalam kemanusiaan kita yang ringkih dan tindakan kita hanyalah digerakkan oleh keinginan dangkal.
Alangkah indah, damai dan sejahteranya kehidupan di dunia ini jika yang paling dibutuhkan cukup tersedia. Akan tetapi, pengalaman empiris kita menunjukkan bahwa yang paling kita butuhkan justru yang paling langka dalam kehidupan ini. Acapkali manusia memberi perhatian amat serius pada hal sepele tetapi menyepelekan hal yang amat penting. Kondisi demikian menuntut perubahan yang mengakar pada pembaharuan budi.
Dibaharui Untuk Berubah dan Berbuah
Di sini, pembaharuan budi adalah sebuah anugerah Tuhan. Ia sendiri yang melakukannya, bukan manusia. Karenanya, pembaharuan, yang dituntut dari manusia hanya dimungkinkan beranjak dari anugerah pembaharuan budi. Dengan demikian, kemauan dan kemampuan berubah pun adalah juga bagian dari pertolongan Tuhan. Artinya, dari dirinya sendiri budi manusia tidak dapat dibarui dan manusia tidak dapat berubah. Semuanya ini adalah anugerah dan pertolongan Tuhan yang mesti disambut dengan rasa syukur dan tanggung jawab.
Pasal 12 diawali dengan nasihat mempersembahkan tubuh kepada Allah. Hal ini sepadan dengan keberadaan tubuh sebagai milik Allah. Karenanya, apa yang dilakukan tubuh – berpikir atau bekerja sebagai pejabat, buruh pabrik, bupati, tukang pangkas, politisi, pegawai kantor Sinode Gereja, penarik beca, menteri, pendeta dan lain-lain, merupakan persembahan kepada Allah.
Ayat 1 yang menekankan pentingnya ibadah orang Kristen, bukanlah berarti melakukan upacara-upacara kultus di tempat-tempat suci. Kata latreia (ay 1) berarti ‘yang kepadanya seorang mengabdikan seluruh hidupnya’, tidak kepada manusia, tetapi ibadah kepada Allah. Ibadah orang Kristen yang sejati berarti “mempersembahkan tubuh”, yakni seluruh eksistensi manusia dalam kehidupan sehari-hari, di tengah kondisi dunia ini. Orang Kristen hendaknya beribadah dengan pelayanan keseharian sambil menaati dan memenuhi kehendak Allah. Tetapi pelayanan yang mengacu kepada dunia ini tidak berarti “menjadi serupa dengan dunia ini” (2a), menyesuaikan diri kepada situasi dan kondisi atau malah terlebur di dalamnya. Eksistensi orang Kristen dipersembahkan kepada Allah secara “badaniah” sebagai korban di tengah-tengah kondisi dunia ini, mengacu kepada dunia baru yang sudah mulai oleh Kristus yang bangkit sembari menjadi suatu kesaksian kepada dunia yang fana ini.
Dalam ayat sebelumnya sudah ditegaskan bahwa, “segala sesuatu dari Dia….. (11:36). Hal ini perlu ditegaskan mengingat keberadaan kota Roma sebagai kota terbesar dunia pada zaman itu. Kemegahan, prestasi, kemampuan manusia menjadi amat penting pada saat itu (tidak ubahnya dengan apa yang diminati dan dikejar banyak orang pda zaman ini).
Ayat 2 b harus dimengerti dalam konteks 12:1-2. Para penafsir meyakini bahwa latar belakang pernyataan Paulus di sini adalah parenese yang berkaitan dengan pembaptisan. Pembaharuan (anakainosis), lebih tepat diartikan: “kelahiran kembali memungkinkan mengenal kehendak Allah sebagai pedoman untuk menjalani hidup dengan tulus”.
Dalam bahasa Yunani ada dua kata untuk ‘baru’ yakni neos (baru menurut batasan waktu) dan kainos (baru menurut sifat atau hakekatnya). Sebuah gedung gereja baru adalah neos, tetapi orang yang dahulu berdosa dan sekarang berada dalam jalan kesucian hidup adalah kainos.(orangnya tetap, hidupnya baru atau berubah). Yang menjadi masalah ialah, jika orang hidup di ‘gereja baru’ tetapi hidup dengan pola hidup lama.
Ayat 2b merumuskan secara positip yang dalam ay 2a dinyatakan secara negatif. Berubahnya eksistensi manusia melalui ‘kelahiran kembali’ (bahasa pembaptisan!) terarah kepada suatu pembaharuan akal budi (kebalikannya kita baca dalam 1:21). Budi (nous) dalam filsafat Yunani berkaitan dengan orang yang bijaksana, orang yang berpotensi intelektual dan dapat berarti juga eksistensi rohaniah yang biasanya tersembunyi kepada orang lain.
Tetapi dalam 2b ini nous berarti kemampuan untuk menilai situasi secara kritis. Konkritnya, “membedakan manakah kehendak Allah.” Dokumazein yang digunakan oleh Paulus di sini dekat sekali misalnya dengan 1 Tes. 5:21: “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik”, atau Filipi 1:10: “sehingga kamu dapat memilih yang baik”, dan “ujilah apa yang berkenan kepada Tuhan” (Ef. 5:10). Jadi, orang yang lahir kembali (indikatif) hendaknya (imperatif) berubah, bukan hanya dalam eksistensi diri manusia melainkan secara khusus dalam apa yang menyangkut nous. Budi manusia membutuhkan satu norma atau satu patokan yaitu kehendak Allah yang – menurut 2c – digambarkan dengan tiga kata sifat: “baik, berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Kehendak Allah harus digumuli setiap kali secara baru dan diberlakukan dalam satu situasi yang konkrit dan tertentu. Yang baik, yang berkenan kepada Allah, yang sempurna hanyalah kehendak Allah sendiri; bisa sesuai dengan kemauan dan cita-cita manusia, tapi bisa pula menentangnya. Manusia mendapat akal budi dari Allah sang Pencipta untuk mendengar dan mendalami tuntutan-tuntutan etika sambil menguji mana yang patut dituruti.
Sesuai dengan 1 Korintus 14, iman tidak meniadakan akal budi. Tetapi, dengan titik berangkat dari parenese pembaptisan, pembaharuan seluruh eksistensi manusia (yang.terjadi melalui anugerah pembaptisan), harus nyata secara khusus dalam pembaharuan budinya. Itu bukan hanya mencakup karakter atau pendirian orang Kristen yang bersedia memenuhi pola-pola etika umum tetapi dengan senantiasa mengasihi sesama sebagai ukuran (Matius 22:39). Paulus dengan lebih tajam melihat dan meyakini bahwa pelayanan kepada dunia ini tidak boleh berarti hidup dan beraksi setara dengan dunia ini (2a). Artinya, budi Kristiani tidak mungkin selalu berorientasi kepada pola-pola atau pedoman-pedoman dunia ini atau masyarakat umum. Boleh jadi, bahwa apa yang berkenan kepada Allah setara dengan kehendak dan perbuatan dunia ini. Tapi apa yang berkenan kepada Allah boleh juga amat berbeda, sehingga keputusan dan perbuatan etis dapat dan harus menentang pola-pola dunia, melihat kondisi dan saat-saat tertentu.
Dengan demikian boleh disimpulkan bahwa orang Kristen yang sudah “dipindahkan” ke dalam dunia baru sering lebih sanggup menentukan tindakan yang tepat dan berkenan kepada Allah daripada orang yang hanya menguji “apa yang baik” menurut pedoman duniawi, dunia yang lama. Dengan kesanggupan tersebut, orang Kristen, atas nama kehendak Allah, dapat saja tidak setuju bahkan menentang niat-niat dan tujuan-tujuan dunia ini sambil berbuat apa yang nampaknya tidak bijaksana, tidak tepat, tidak masuk akal dan sikap itu memantulkan tindakan Allah yang menyerahkan AnakNya sampai mati di kayu salib (bnd. 1 Kor. 1:18 dst.) Satu kebodohan untuk dunia, satu hikmat bagi mereka yang mengimani Kristus yang tersalib dan bangkit.
Bahaya Menyesuaikan Diri
Dunia diwarnai oleh perkembangan sains dan teknologi yang amat cepat melesat (dan terkadang meleset). Bahkan, perkembangan itu jauh lebih kencang melaju ketimbang kemampuan kita mengikutinhya. Banyak ahli yang berpendapat bahwa yang lebih sulit bukan melanjutkan perkembangan sains dan teknologi, tetapi justru menghentikannya. Masalahnya ialah, bahwa ketrampilan dan pengetahuan teknik manusia memadai tetapi yang kurang adalah hikmat dan kearifan.
Kita telah lumayan lama hidup dalam era remote control menggantikan sistem manual peralatan-peralatan. Celakanaya, pada azaman ini juga begitu banyak orang yang dikendalikan oleh sebuah remote control entah oleh maanusia, entah oleh produk tertentu, keinginan dan lain-lain yang menggerakkan manusia yang tidak memiliki pendirian teguh.
Bagi manusia era globalisasi yang penting bukan pengembangan jati diri untuk semakin berkepribadian tetapi pengembangan gaya hidup yang semakin bergengsi, yang hanya mengejar nilai material bukan nilai kepribadian, manusia berjuang demi ‘harga diri’ bukan ‘makni diri’. Harga diri biasanya diukur berdasarkan suskses duniawi dengan kepemilikan harta, pengaruh, gelar akademis dan lain-lain; sedangkan ‘makna diri’ diuji beradarkan kehadirannya untuk menjadi berkat, rujukan dalam kata-kata, pola berpikir, bersikap dan bertindak.
Menyesuaikan diri dapat menjadi satu bahaya besar. Dunia ini, (termasuk di dalamnya pemerintah, pembesar, pelayan gereja, tua-tua adat dll.) ingin dan bertekad agar kita menuruti pola-pola mereka. Padahal, Tuhan menghendaki kita membudayakan satu budi yang kritis.
Gereja juga perlu dengan amat sungguh-sungguh berpaling kepada Tuhan. Apa yang membedakan Yesus dengan Gereja? Yesus berpihak pada orang kecil, Gereja sering (malah mungkin biasanya) berpihak pada orang besar. Yesus hadir bagi mereka yang membutuhkan dengan pertolongan yang tepat; gereja cenderung menghadirkan siapa yang dibutuhkannya. Yesus terbuka bagi setiap dan semua orang, gereja asik dengan dirinya sendiri dengan tembok eksklusivitasnya. Yesus memberi diriNya untuk orang lain; Gereja cenderung hidup untuk dirinya, dan pada saat-saat tertentu bahkan tergoda memanfaatkan yang lain untuk diri sendiri. Beberpa hal untuk menjelaskan hal ini sebagai bahan refleksi.
• Gereja-gereja dan orang Kristen Jerman tidak banyak yang menentang rezim diktator Adolf Hitler dan tidak berani membela hak azasi orang Yahudi-Jerman. Jutaan dibunuh!
• Begitu nyata di depan mata, bahwa bukan gereja dengan suara nabiahnya yang turut melengserkan diktator Suharto. Malah, mantan Ketua Umum PGI, pada waktu kursi kepresidenan sudah goyang, masih mengantar emas kepada presiden. Terlalu banyak orang Indonesia menganggap dirinya sebagai korban pembangunan, korban globalisasi, korban koruptor sambil pasrah kepada nasib yang dianggap tidak dapat diubah.
• Konsumerisme a la Barat sudah merajalela di mana-mana. Dunia ini amat cekatan menyediakan dan menawarkan segala sesuatu untuk memenuhi selera dan keinginan dangkal. Pikiran amanusia berkeliaran di sekitar sukses duniawi, harta, kenikmatan, gengsi. Bersediakah orang Kristen untuk hidup secara alternatif?
• Wabah Korupsi, Kolusi, Kekerasan dan Nepotisme (K3N) sudah merasuk kian dalam dan luas di tengah masyarakat bahkan sudah merembes ke dalam kalangan gereja juga. Amat memilukan dan memalukan, bahwa bantuan-bantuan kepada korban bencana pun tidak sampai pada sasaran di tengah mewabahnya JPS (Jangan Pegangnya Saja), bantuan pun dikomisi, dikorupsi bahkan dihabisi.
• Adat (perkawinan, kematian, dll) yang cenderung menyengsarakan masih terus berlangsung. Yang menggembirakan ialah kenyataan bahwa Allah terus menerus memberi ruang dan peluang bagi gereja dan orang-orang Kristen untuk mengubah kebudayaan dan kebiasaan yang merugikan. Bagi beberapa gereja, acara pembaptisan lebih merupakan peristiwa adat ketimbang perayaan gerejawi. Hanya dengan perubahan budi yang memungkinkan perubahan dalam masalah-masalah tersebut.
Membedakan Apa Kehendak Allah
Berbudi baru menyanggupkan kita mengerti dan memberlakukan kehendak Allah. Kita sering menghadapi situasi yang kurang jelas atau samar. Akan tetapi, kehendak Allah tidak pernah samar. Semakin matang kekristenan seseorang, ia akan semakin sanggup mendalami kehendak Allah dan memahami apa yang baik, yang berkenan di hadapan Tuhan. Dalam kaitan ini, orang percaya mesti menanggalkan dan meninggalkan sikap mengandalkan pikiran sendiri, dan ‘mengenakan’ pikiran Kristus.
Banyak orang Kristen masa kini ingin mendapat “pengalaman rohani yang istimewa” sebagai manifestasi kehadiran dan tindakan Allah dalam kehidupan mereka. Tetapi Allah tidak hanya menyatakan diriNya melalui peristiwa ‘istimewa’ menurut pengalaman kita saja. Allah datang kepada kita dalam kehendakNya. Dalam setiap situasi yang rumit, kita perlu bertanya: apa Firman dan Kehendak Tuhan yang kita dengar, yang dapat kita terapkan, terhadap sesama, atasan, pemerintah, alam ciptaan dan lain-lain. Ini bukan hanya masalah pilihan konseptual tetapi juga (bahkan terutama) masalah pilihan pola hidup.
Satu hal yang perlu mendapat perhatian serius dan tulus ialah kecenderungan terkutupnya gereja pada dua ekstrim, yakni institusionalisme di satu segi dan ritualisme di segi lain. Model institusionalisme nampak dari hidup dan gerak gereja yang terutama membenahi struktur yang agak ketat bahkan kaku dan berliku. Jadinya, pelayanan dijadikan sebagai alat menguatkan struktur, yang seharusnya ‘struktur’ gereja menjadi alat pelayanan. Corak institusionalisme menempatkan para pelayan gereja kurang lebih seperti ‘pegawai-pegawai agama’ dengan SK yang berisikan konsederansi hukum dan peratauran lengkap dengan tabel gaji beserta tunjangannya dan kurang menampakkan pesan Injil dalam SK dan ibadah penempatan pendeta.
Sebaliknya, ritualisme memberi perhatian istimewa pada ibadah yanga semarak dengan musik modern beserta penyanyi kondang serta pengkotbah yang berpi-api dibarengi humor yang membuat para peserta merasa ‘enak’. Seorang peserta SR VEM di Manila baru-baru ini mengeluh atas dinyanyikannya lagu-lagu seperti sekolah minggu saja, hampir di semua sesi. Ibadah direduksi menjadi sebuah selera manusia. Di sini institusi tidak terlalu penting, verifikasi keuangan tidak masuk daftar utama, karena hamba Tuhan dipercayakan mengelola uang Tuhan. Sangat disayangkan, meski KKR begitu semarak namun KKN tidak kalah semarak juga.
Panggilan orang Kristen di Indonesia adalah mewujudkan keberadaanya sebagai garam dan terang dengan berbudi baru sebagai suatu sumbangan yang bermakna untuk membangun bangsa yang lebih bermartabat.
Di sinilah letak urgensi kesediaan gereja-gereja kita untuk dengan rendah hati mengadakan ‘telaah posisi’ dengan merenung, berefleksi, mengevaluasi keberadaannya. Gereja dan orang-orang Kristen tidak mulai dari dirinya sendiri, tetapi berpijak pada anugerah pembaharuan yang Tuhan telah lakukan. Gereja perlu menghindari diri menjadi sekadar obat bius atau obat penenang. Ia juga perlu amat hati-hati untuk tidak terjerumus berupaya hanya untuk disegani, diperhitungkan atau disalahgunakan menjadi sebuah kendaraan kepentingan seperti kepentingan politik dan lain-lain.
Penutup
Panggilan orang beriman ialah berubah atas anugerah pembaharuan Kristus atas diri manausia. Hal ini dapat dan mestinya dimulai dari diri sendiri. A. de Mello memaparkan suatu anekdot sebagai sentilan terhadap sikap ‘revolusioner’:
Sufi Bayazid bercerita tentang dirinya seperti berikut ini:
Waktu masih muda, aku ini revolusioner dan selalu berdoa:
“Tuhan berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia”
Ketika aku sudah setengah baya dan sadar bahwa setengah hidupku sudah lewat
tanpa mengubah satu orang pun, aku mengubah doaku menjadi:
“Tuhan berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berhubungan denganku:
keluarga dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas”.
Sekarang ketika aku sudah menjadi tua dan saat ajal sudah dekat,
aku mulai melihat betapa bodohnya aku. Doaku satu-satunya sekarang adalah:
“Tuhan berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri”.
Seandainya sejak semula aku berdoa demikian, maka aku tidak begitu menyia-nyiakan hidupku.
(Pernah disampaikan pada Sidang MPL PGI di Gunungsitoli)