Sahabat yg baik hati, Selamat hari Minggu & salam dari Pearaja – Tarutung! Firman Tuhan pada Minggu XIV Setelah Trinitatis hari ini (1 Rajaraja 17: 7-16) adalah kisah populer tentang Nabi Elia dan janda di Sarfat.
Pada masa pemerintahan raja Ahab di Israel Utara, bangsa itu sangat jauh dari Tuhan. Jika raja tidak berkenan di hati Tuhan, maka rakyat akan menderita. Raja Ahab melakukan yang jahat di mata Tuhan lebih daripada raja yang mendahuluinya. Dia menjadikan Izebel, putri raja Sidon, yang notabene menyembah Baal, menjadi istrinya sehingga raja Ahab pun ikut-ikutan menyembah Baal.
Kejahatan Raja Ahab semakin menjadi-jadi. Dia bahkan mendirikan Kuil untuk Baal dan membangun patung Asyera – satu perbuatan yang menyakitkan hati Tuhan. Saat itulah, Elia hadir sebagai seorang Nabi yang berani, dan mengingatkan Ahab akan dosa-dosanya. Salah satu pesan hamba Tuhan kepada Ahab adalah, “…dalam beberapa tahun tidak akan ada hujan” (1 Rajaraja 16-17).
Dalam situasi inilah lahir dua kisah yang terkenal, yang pertama, burung Gagak memberi makanan kepada Elia. Selama musim kemarau itu, nabi Elia tinggal di tepi sungai Kerit. Dia minum air dari sungai itu dan untuk makanannya, Tuhan memerintahkan burung-burung gagak pada waktu pagi dan petang membawa roti dan daging baginya.
Kisah yang kedua adalah kisah janda Sarfat. Setelah beberapa waktu, sungai itu kering, maka Tuhan menyuruh nabi Elia untuk meninggalkan tempat itu, dan pergi ke Sarfat – yang masuk wilayah Sidon (wilayahnya raja Etbaal – mertua raja Ahab). Mengapa harus memasuki wilayah Sidon? Kita tidak tahu. Tetapi yang pasti, di wilayah kerajaan yang menyembah Baal sekali pun, Tuhan tetap berkuasa.
Di Sarfat ada seorang janda miskin, yang hidup bersama anaknya dalam kemiskinan dan mengalami konsekwensi kekeringan seperti di daerah lain. Dia tidak memiliki apa-apa. Suplai makanan yang dimiliki pun tinggal sekali makan saja, setelah itu dia tidak melihat ada sumber kehidupan. Tetapi kehadiran nabi Elia dalam kehidupan ibu dan anak itu menjadikan segalanya berbeda.
Nabi Elia memiliki kekayaan rohani yang tak tertandingi, telah hidup dalam persahabatan dengan Tuhan. Dia tahu bahwa Tuhan tidak pernah ingkar janji. Dia tahu bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan dia atau membiarkannya sendirian, dan bahwa bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Dia tahu bahwa Tuhan senantiasa memelihara kehidupannya. Tanpa bimbang dan ragu, Elia memperkenalkan pengalaman rohani ini kepada janda di Sarfat itu.
Bagaimana Elia mengajarkan hidup berserah dan taat kepada Tuhan? Melalui tepung dan minyak – suplay makanan terakhir – tinggal sekali makan bagi dia dan anaknya. Perempuan Sarfat itu menyambut tamu “tak diundang” itu dengan ramah, bahkan dia akan mengambilkan air untuk Elia dalam kendi. Ini menunjukkan, bahwa perempuan itu memang orang berbudaya dan tahu bagaimana menyambut kehadiran tamu.
Tapi mungkin dia merasa terkejut, karena Elia meminta lebih – lebih dari apa yang dapat diberikan perempuan itu. “Coba ambilkan bagiku sepotong roti!” Wah, “Dikasih hati, minta jantung?” ‘Bagaimana ini?” “Demi Tuhan, Allahmu yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikit pun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli” demikian jawaban paling sopan dan diplomatis dari perempuan itu.
Dalam situasi dan kondisi inilah Elia mengajarkan perempuan itu bagaimana hidup bergantung kepada Tuhan dan bukan pada materi, bagaimana kuasa Tuhan bekerja – bagi Dia tiada yang mustahil, juga betapa berkuasanya hidup berbagi itu. Tuhan bisa menjadikan “segenggam tepung dan minyak yang sedikit itu” berlimpah-limpah, hingga lebih dari cukup bagi Elia, dia dan anaknya untuk waktu yang ditentukan Tuhan.
Elia berkata, “Jangan takut, pulanglah,…buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil daripadanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu. Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itupun tidak akan berkurang sampai pada waktu Tuhan memberi hujan ke atas muka bumi!”
Sesungguhnya, itulah yang terjadi. Perempuan itu mengikuti perintah Elia. Tuhan melakukan perbuatan besar – mujizat dengan ketaatan perempuan Sarfat itu. Dengan anugerah Tuhan, Elia membawa perubahan paradigma dan cara pandang perempuan itu tentang hidup, makanan dan kuasa Tuhan. Dengan kemauan perempuan Sarfat itu berbagi apa yang dimilikinya, kuasa Tuhan nyata, sehingga tepung dan roti itu bisa memberi kehidupan kepada Elia, perempuan itu dan anaknya.
Perempuan Sarfat berbagi apa yang dimiliknya dan kuasanya sangat besar. Kita tidak tahu apa yang terjadi jika perempuan itu tidak mau berbagi. Mungkin Elia, dia dan anaknya akan mati kelaparan? Kita tidak tahu. Tetapi kisah ini menunjukkan bahwa keputusan perempuan itu untuk taat kepada Tuhan melalui hambaNya Elia telah memberi kehidupan bagi tiga orang yang mendapatkan makanan dari roti dan minyak itu.
Saudaraku, nats ini mengajarkan bahwa berbagi itu indah, berbagi itu baik, berbagi itu memberi kehidupan, dan Tuhan senang melihat umatNya berbagi. Dimana ada orang yang suka berbagi, dari sana akan terdengar kisah-kisah yang indah tentang hidup ini. Ingat bagaimana Yesus memberi 5000 orang makan? Melalui lima roti dan dua ikan. Siapa yang berbagi? Seorang anak kecil. Tuhan memberkati orang yang suka berbagi!
Saya yakin, saudara adalah orang yang suka berbagi. Syukuri, kembangkan dan teruskanlah kualitas itu, karena kemampuan berbagi adalah anugerah Tuhan juga. Mari budayakan dan kembangkan hidup yang suka berbagi…! Tuhan memberkatinya!
Dear friends, I wish you a happy Sunday. God’s Word today teaches us about the wonder of sharing what we have. God blesses those who joyfully in faith share what they have. Be happy and SMILE!