Salah satu kearifan Bangso Batak yang nyaris tidak diketahui oleh masyarakat saat ini adalah “Mangase Taon” atau perayaan tahun baru Bangso Batak. Menurut Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFM Cap, Mangase Taon adalah taktala di penghujung tahun dan sebelum turun ke sawah, digelar persembahan agung horbobius. Mata kurban ini dipilih dengan cermat, yaitu seekor kerbau jantan yang muda dan pilihan…. ia disucikan dengan pelbagai ritus inisiasi dan inagurasi lewat segala upacara inisiasi dan konsekrasi, mata kurban, horbobius menjadi sakral dan pusat seluruh perlambangan kosmos. Ia menjadi lambang seturut unsur alam dan seluruh reksa hukum alam manusia, utamanya pernikahan. Melambangkan gemuruh penciptaan alam semesta oleh Sang Khalik, Mulajadi Nabolon, diadakan ritus mandungdang. Lambang tertinggi kedua adalah borotan, sebagai tiang persembahan, dipilih dari pohon pilihan.
KEUSKUPAN AGUNG MEDAN
Jl .Imam Bonjol 39 -MEDAN 20152 – INDONESIA
Tel 061B4516647/4519768 Fax.061B4145745
Mail : sekrkam”hotmail.com
MANGALAHAT HORBOBIUS
Mengenai Mangalahat Horbobius, pantas diutarakan beberapa bagian komponennya, agar dapat menangkap maknanya yang terdalam. Perlu diterangkan mengenai tujuan, perlambangan, ritus dan utilitasnya.
I. TUJUAN
Tujuan atau kepentingan yang hendak dipenuhi adalah menyediakan suatu kurban yang melambangkan seluruh alam semesta, khususnya Banua Tonga, sebagai sembah tertinggi kepada Sang Khalik, Mulajadi Nabolon, “Pencipta langit dan bumi.”
Untuk menopang tujuan ini, dibutuhkan pemahaman iman mitologis mengenai asal-mula alam semesta. Hal itu membutuhkan pemahaman mengenai Sang Khalik sebagai Mulajadi Nabolon (Pemula Agung). Nama ini mengindikasikan beberapa artikel-artikel iman. Sudah dalam nama ini terdapat pemahaman iman yang cukup bermutu kreasionis, dalam kategori penjadian, yang mirip dengan iman kristiani. Beberapa penegasan artikel iman dapat dikemukakan.
Mulajadi Nabolon dihayati sebagai “Pemula agung alam semesta.” Distingsi dari paham Mulajadi Nabolon, Pemula Agung Alam Semesta, menegaskan makna kreasionis, bukan “titisan,” bukan “pengembangan diri untuk kesamaan kodrat antara Pencipta dan tercipta.” Rumusan kreasionisnya: “Debata Mulajadi Nabolon do mula ni nasa na adong, Sitompa langit dohot tano, dohot nasa isinya.” “Tarjadihonsa do na so adong gabe adong, holan marhite sian hatana.”
Dalam paham kreasionis yang demikian, yang sangat mirip dengan paham kreasionis kristiani, termasuklah segala unsur alam semesta. Juga Debata Natolu, Trimurty Batak, Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan, tergolong ‘khalikah,’ (pengada ciptaan) Mulajadi Nabolon. Dewa-dewi lain, seperti Debata Asiasi, Ingot Paung, juga terkategorikan sebagai ciptaan. Pernyataan keterciptaan terhadap Debata Natolu diungkapkan al. dengan “Jolma do i.”
Tentu manusia, fauna dan flora, bahkan benda tak bernyawa, lebih lagi harus dipahami sebagai sungguh khalikah. Mulajadi Nabolon, dalam bidang pemahaman metafisik-eksperiensial, sungguh Sang Khalik alam semesta termasuk dewa-dewi. Kepada Mulajadi Nabolon, Sang Khalik, patut dikenakan Mysterium Tremendum et Fascinosum, Allah Pencipta yang Menggentarkan dan Mangasyikkan. Dari segala yang ‘angker,’ Dialah yang paling angker dan paling menentukan bagi kemengadaan, hidup dan nasib manusia. Sikap manusia di hadapannya adalah tremor, kegentaran-keangkeran, antara Sang Khalik dan khalikah. Manusia sungguh bersifat debu, yang harus menunjukkan semangat ketakutan-kegentaran, sembah, sujud, dan ketaatan mutlak (hyperdulia) kepada Sang Pencipta. Di sini tidak ada kompromi penyamaan diri dengan Allah. Bila hal itu terjadi, termasuk kedurhakaan terhadap Allah dalam perintah “pohon pengetahuan baik dan jahat” pada Porlak Sisoding (Taman Eden Batak), hukuman metafisik langsung dijatuhkan: kecemasan, penyakit, penderitaan dan kematian..
Dari pihak lain, Mulajadi Nabolon sungguh dihayati sebagai “Bapak yang penuh belaskasihan dan panjang sabar.” Dalam kisah penciptaan bumi, terkenallah kekeras-kepalaan putri Batara Guru, Si Boru Deang Parujar, Sideak Utiutian, Sideak ujarujaran. Dengan keras kepala, sang Ibunda Manusia (ada kemiripan dengan Maria), Si Boru Deang Parujar, memutuskan pertunangannya dengan Si Tuan Ruma Uhir, putra Mangalabulan. Ia berdalih, lari ke Laut Lapaslapas (Lautan Lepas Purba), di bawah Banua Ginjang dari Mulajadi Nabolon, lewat benang tenunannya. Di awang-awang Laut Lapaslapas, Si Boru Deang Parujar mendapat ancaman dan penentangan dari Naga Padoha. Dari pihak lain, menjadi muatan berbelaskasihan dan panjang sabar, Mulajadi Nabolon mengerahkan potensi, kekuatan dan armada Banua Ginjang, untuk menggempur Naga Padoah. Genggam tanah disediakan untuk ditempa Si Boru Deang Parujar menjadi tumpu kakinya, yang akhirnya menjadi Banua Tonga. Mulajadi Nabolon mengutus delegatnya Si Leangleang Mandi membela Si Boru Deang Parujar melawan Raja Kejahatan dan Iblis Batak, Naga Padoha. Lewat kuasa dan koordinasi Sang Khalik, disediakan ranting pohon kehidupan Hariara Sundung Dilangit, bahkan tujung kepala dan pedang. Lebih mengesankan ialah komitmen Mulajadi Nabolon, mula-mula mencipta hanya satu matahari, dan kemudian, demi mengeringkan Laut Lapaslapas dan membasmi Naga Padoha, mencipta delapan matahari, sehingga Si Boru Deang Parujar berkesempatan menikam Naga Padoha dengan pedang keramat Allah Pencipta, sampai ke gagang (lambang pohon kehidupan) sebab Naga Padoha mengancam menghancurkan bumi bahari dengan gempa. Kalau ada gempa, Batak sangat ketakutan dan kepanikan, sebagai ancaman to be or not to be. Mereka berseru, minta tolong: “Suhul, suhul, suhul, agar Naga Padoha diingatkan bahwa dia sudah ditikam dan dilemahkan (bukan mati). Agar jangan mati, Naga Padoha harus berhenti menghancurkan bumi, yang adalah milik dan pertuanan Mulajadi Nabolon. Konteks dan episode di sini serentak sangat mengharukan hati manusia mengenai pembelaan/penebusan Mulajadi Nabolon, dan juga pertaruhan hidup-mati manusia atau jadi-tidaknya penciptaan manusia dan hidup sejahtera manusia. Pengalaman kegentaran religius di sini mirip dengan pengejaran Mesir atas bangsa Israel dan terhalang oleh Laut Merah. Allah memiliki solusi demi penyelamatan manusia.
Paham ini membuka konteks dan cakrawala praeparatio evangelica (“persiapan injili”), mengenai pemahaman motif perutusan penjelmaan Yesus Kristus: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16).
Antropologi atau pemahaman mengenai manusia, dari falsafah Batak, memang berbeda dengan antropologi kristiani. Tetapi antara keduanya, lewat paham inkarnasi, terjadi serentak kelengkapan dan keseimbangan dalam paham transendensi dan imanensi Allah dalam manusia.
Menurut antropologi Batak, manusia berasal dari Kayangan. Lebih tajam, manusia Batak (dalam paham ini juga seluruh umat manusia) adalah keturunan dewata. Konkretnya, seluruh umat manusia berasal dari keturunan Dewata putri Batara Guru (Si Boru Deang Parujar) dan putra Mangala Bulan (Si Tuan Ruma Uhir). Sebab setelah Si Boru Deang Parujar selesai menempa Banua Tonga dan mempersiapkannya dan sanggup menampung kehidupan sejahtera bagi manusia, maka Mulajadi Nabolon menyuruh cincang Si Tuan Ruma Uhir. Cincangan ini dimasukkan ke dalam tabung bambu (abalabal), dan disuruh lemparkan ke bumi Si Boru Deang Parujar. Setelah tujuh hari, tabung bambu merekah, dan muncullah seorang pemuda tampan (jogi). Ia menuju pondok Si Boru Deang Parujar. Setelah perkenalan, mereka membentuk hidup perdana manusia di atas bumi. Mereka membentuk rumah-tangga.
Dari keturunan mereka lahirlah Si Raja Batak, yang menurunkan bukan saja seluruh ‘bangsa’ Batak, tetapi diyakini menurunkan seluruh umat manusia. Dari sana bermula, bukan saja manusia, tetapi seluruh bumi dan dunianya, yang dipersiapkan sedemikian rupa sehingga sanggup menopang hidup sejahtera bagi manusia, jasmani dan rohani.
Dalam paham seperti itu, manusia berasal dari kayangan dan adalah keturunan dewa-dewi. Berbeda dengan paham Kitab Suci Kristen-yahudi: “Allah membentuk manusia dari debu tanah dan menghembuskan nafas kehidupan ke dalam hidupngnya” (Kej 2:7). “Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia, laki-laki dan perempuan diciptankan-Nya mereka” (Kej 1:27).
Di sinilah drama hidup manusia sebagai kairos (masa percobaan) di atas bumi. Ia serentak bersifat “debu” tetapi ia “menyerupai Allah.” Secara metafisik, mustahil memahami persamaan antara Sang Pencipta dan (barang) tercipta. Di satu pihak harus diakui prinsip metafisik mengenai “keterputusan” garis antara Pencipta dan tercipta. Tetapi Kitab Suci, secara eksplisit meretas ‘keterputusan’ dengan menginsersikan ‘kesinambungan:’ Manusia dicipta ‘mirip dengan Allah.’ Perbedaan dan persamaan, yang pada dirinya tak terterima oleh metafisika, di sini beroleh penyambungan. Penjelmaan Yesus Kristus, terkaitkan dengan ‘kesinambungan’ ini. Yesus Kristus, lewat inkarnasi, dipahami sebagai berdwi-kodrat: Allah dan manusia.
Bagaimana Batak mematching misteri ini, muaranya terdapat dalam rahasia “transendensi” dan “imanensi.” Dimensi “transendensi” telah dilukiskan di atas dalam menyebut Sang Khalik Mulajadi Nabolon sebagai Sang Khalik dan manusia hanyalah khalikah. Allah disebut sebagai Mysterium Tremendum, yang dalam kedebuan manusia, harus disembah mutlak oleh manusia, sebagai khalikah.
Dari segi fascinosum (mengasyikkan) dibangun pemahaman kesinambungan “manusia mirip dengan Allah” (“imanensi Allah dalam manusia”). Konsili Vatikan II membahasnya dan memberi sebutan unsur ilahi dalam manusia dan agamanya, sebagai “benih-benih Sabda.” “Benih-benih Sabda” ini berupa hal-hal sakral dalam agama, yang mencakup sekurang-kurangnya hal yang “baik, benar dan kudus”. Umat Katolik hendaklah “dengan gembira serta penuh hormat menyingkapkan benih-benih Sab¬da yang terpendam di situ (dalam budaya dan agama setempat)” (AG no. 11). Gaya bahasa “menyingkapkan” mengandaikan terdapat “anasir sakral” (imanensi Allah sebagai “benih Sabda”) dalam setiap budaya dan agama. Kenyataan “sakralitas relatif” atau “imanensi Allah yang terbatas,” dalam manusia, menurut paham Batak, disebut “pahala” atau lebih dikenal dengan sebutan “sahala.” Sahala adalah unsur ilahi yang relatif sehingga setiap orang, agama dan budaya, bahkan setiap pengada mengandung sakralitas relatif. Dan ini adalah realitas numen atau theion (unsur sakralitas ilahi) dalam pengada-pengada yang berbeda-beda. Unsur sakralitas ilahi yang relatif itu, sahala, mana, benih Sabda, theion, numen, diandaikan terdapat dalam setiap pengada, dan kewajiban Katolik adalah untuk “menyingkapkan benih-benih Sabda.” Penyingkapan bermaksud untuk mensublimasikannya menjadi milik Kristus. Hal ini dilakukan dalam menata unsur-usur Liturgi. Sebab “Gereja dalam Liturgi pun tidak ingin mengharuskan suatu keseragaman yang kaku. Sebaliknya Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang meng¬hiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhayul atau ajaran sesat, oleh Ge¬reja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya de¬ngan hakekat semangat Liturgi yang sejati dan asli” (SC no. 37). Inilah ranah inkulturasi, berdasarkan “benih-benih Sabda” atau “sakralitas relatif,” yang dianjurkan dan disambut dengan gembira oleh Gereja Katolik.
Penyaluran sakralitas relatif ini ke dalam diri manusia dan dunianya, terjadi lewat beberapa penghayatan. Pertama adalah lewat “silsilah” yang mengurutkan manusia sebagai keturunan para dewata. Batara Guru menurunkan Si Boru Deang Parujar, dan putri Dewata ini menurunkan manusia. Kesinambungan generatif mengasumsikan kesinambungan kodrat, dan karena itu imanensi ilahi.
Kedua ialah lewat paham akan “pohon penciptaan” atau “pohon kehidupan.” Sebelum penciptaan alam semesta, Mulajadi Nabolon mencipta pohon mitis Hariara Sundung Dilangit (Ficus religiosa condong di langit). Dikisahkan bahwa segala makhluk di atas bumi berasal dari “serpihan” pohon ajaib ini. Juga segala ciptaan terhubungkan dengannya untuk mendapat “pembuluh hidup” dan “minum dari getahnya” agar dapat berlangsung hidup. Ini adalah cara imaginer melukiskan bahwa seluruh unsur alam semesta “bermula” dari “hidup” daRI hakekat ilahi. Juga perlangsungan hidupnya tergantung dari “tetekan susu” dari sakralitas Allah.
Ketiga ialah kemurahan berdasarkan safaat manusia. Terutama lewat imam agung Batak, Si Raja Indainda, permohonan disampaikan kepada kemurahan Mulajadi Nabolon untuk memperoleh perkenanan. Si Raja Indainda, diotorisasikan “pagorjokgorjok udan, papilngaspilngas ari, asa gabe na niula, dohar laho marsari, limutlimuton tanggurungna, mangarerak mamopari, tumpakon ni Tuhanta, Mulajadi Siparasi.” Dari sinilah terpenuhi ideal hidup Batak, dengan 3 H, hagabeon, hamoraon dan hasangapon.
Kekristenan tidak membutuhkan perlambangan dan realitas yang rudimenter seperti Batak, justru karena hakekat sakralitas Allah telah disenyawakan dengan manusia lewat inkarnasi Yesus Kristus: “Sabda sudah menjadi daging, dan tinggal di antara kita.” Hakekat dan sakralitas Allah, dengan inkarnasi telah dicampurkan dengan kemanusiaan. Penjelmaan Yesus Kristus menghasilkan Pribadi Sabda yang diinkarnasikan melalui Santa Perawan Maria. Dan “benih-benih Sabda” telah menggejala dalam diri manusia, budayanya dan agamanya. Inilah permata-permata sakralitas ilahi, yang diakui oleh Gereja telah mengimbuhi seluruh kemanusiaan, budaya dan agamanya, sebagai unsure yang “benar, baik dan kudus.” Benih-benih Sabda ini harus disingkapkan dan disublimasi oleh umat beriman menjadi harta dan ungkapan dari Sang Sabda sendiri, dalam hidup inkulturasi dan dalam liturgi.
Mangalahat horbobius adalah horja memuja dan menyembah Sang Khalik Yang Mahatinggi, dari pihak umat manusia dan semesta alam untuk memperoleh berkah kesuburan pada Tahun Baru. Tahun Baru artinya saat peralihan tahun yang lalu dan permulaan tahun yang baru.
2. MENCARI LAMBANG YANG PAS.
Liturgi agung dan paling luhur dari Batak, sebagai sembah sujud dari manusia bagi Sang Khalik membutuhkan lambang yang konkret. Lambang adalah tanda yang konkret untuk menghadirkan realitas yang tak terbatas secara terbatas. Lambang yang dibutuhkan adalah yang dapat mencakup seluruh bumi manusia, untuk dibaktikan dan dipersembahkan kepada Mulajadi Nabolon. Maknanya serentak sebagai sembah-bakti dan untuk memperbaharui eksistensi dan hidup kosmos.
1. Dua Lambang Utama
Terdapat dua lambang utama, disamping lambing-lambang lain, yakni horbobius dan borotan.
a. Horbobius
Menurut namanya, horbobius adalah kerbau yang dikhususkan menjadi milik dan penggunaan bagi tujuan bius. Bius adalah wilayah sekelompok penduduk satu kesatuan bius, yang tidak berdasar stelsel marga, melainkan territorial, sangat erat hubungannya dengan pengurbanan akbar bersama dengan mata kurban kerbau. “Bius tidak mencakup kelompok-kelompok agnata murni dalam arti silsilah, tetapi suatu daerah geofrafis yang lebih besar atau kecil serta semua penghuninya (affina dan para tetua daerah tetangga diundang juga ke pesta ini sebagai tamu” (Vergouwen 1985:85).
Mata kurban horbobius haruslah jantan yang bersifat belia, sebab mempersyaratkan kemurnian keperawanan yang tak pernah ‘bergaul’ dengan lawan jenis. Horbobius adalah lambang banua tonga, tempaan Si Boru Deang Parujar. Untuk itu, horbobius disebut juga Jantan ni Portibi, pembastaran juga dari jagat bumi. Dilambangkan oleh penyu (hurma jati) Banua Toru, berada di bawah Banua Tonga (konkretnya dalam Horja Mangalahat Horbobius gambar penyu dilekatkan ke ujung bawah borotan dan dipacakkan cukup dalam ke tanah). Di atas Banua Tonga adalah Kayangan (Banua Ginjang), yang disebut Ragaraga Nabolak.
Kendati perlambangan horbobius telah mencakup seluruh Banua Tonga, namun kelompok-kelompoknya diturut-sertakan juga secara konkret. Horbobius dipilih muda “bertanduk bulat,” sebagai lambang dari tanduk Batak, yakni Agnata Sumba dan Lontung. Sebagai pars pro toto, perlambangan kedua puak Batak mencakup seluruh puak (toga) Batak. Di sini dilambangkan juga seluruh umat manusia.
Bahwa horbobius disebut “horbo sitingko tanduk, siopat pusoran” mendapat maknanya dalam dua sisi.
Pertama melambangkan kedua tanduk yang bulat (lambang bumi yang bulat) dan Sumba-Lontung, Kedua ialah keharusan memiliki empat pusaran rambut (pusoran). Titik-titik dari segi empat adalah pperlambangan mata angin perdana, yang kemudian dikembangkan menjadi delapan, enam belas, tiga puluh dua, enampuluh empat, dst. Selalu bilangan ini menjadi angka dasar bagi pemerintahan kosmologis: Raja na opat, na ualu, dsb.
Kedua adalah dimensi kosmologis universal. Seputar borotan, digambarkan bindu matoga (mata agin). Secara tidak terbatas, tunjukan ujung-ujung mata angin adalah tidak terbatas. Maka bindu matoga adalah gambaran spasial alam semesta. Dengan demikian, horbobius adalah lambang alam semesta (kosmos).
Selanjutnya, horbobius adalah seluruh kepamongan Batak. Untuk itu, kepadanya diatribusikan “paung mangaraja,” dilambangkan dengan payung kerajaan Melayu Deliserdang.
Sebutan bahwa horbobius sedang ”meluku di sawah perbukitan” mengindikasikan perlambangan dunia pertanian dan peternakan: Asa sinur na pinahan, gabe na niula. Inilah penopang hidup makmur dari Batak. Implisit terkandung di dalamnya representasi (lambang) ideal Batak 3 H, yakni Hagabeon, Hamoraon dan Hasangapon.
Pengenaan sebutan bahwa horbobius adalah penyandang rangsa ni portibi (hokum bumi) membawa sertanya pemaknaan yang sangat luas. Peribahasa pantun hangoluan, tois hamagoan tidak luput dari karakter transendental.
Untuk mengada dan bertahan hidup, alam semesta dan manusia harus tersusun dalam Adat, dalam arti yang seluas-luasnya. Paham di sini menunjuk kepada proses penciptaan bumi. Mula-mula ada khaos yang tak berbentuk dan tak beraturan (Kej 1:2 tohu wa bohu) sebab belum ada rangsa (reksa) dan Adat. Penciptaan berarti “pengaturan atau pengenaan Adat kepada ciptaan dari khaos.” Awas, jangan kembali ke ketak-teraturan khaos, melainkan tinggallah dalam dan hormatilah Adat, kalau ingin tetap mengada dan hidup, agar jangan kembali ke khaos Naga Padoha, yang tak terhidupi, hamagoan. Di sini hendak ditegaskan: Horbobius adalah penyandang dan lambang dari Adat dan rangsa.
Tetapi Adat dan Rangsa terjabarkan dalam pelbagai cabang rumpunnya (species). Terdapat Adat Pardongansaripeon, Adat/Rangsa Pajongjong Jabau, mamungka huta, mamungka hauma, pardotonon, parporangon, hamalimon dll. Semua cabang-cabang Adat/ Rangsa terkandung dalam dan dilambangkan oleh horbobius.
Hukum dan reksa dalam paham agama bahari adalah setali tiga uang dengan skralitas, kendati relatif. Seukur dengan porsi sakralitas ilahi, demikianlah intensitas daya sakralnya untuk menangkal kejahatan, yang merupakan “antek-antek Naga Padoha.” Aspek kekuatan sacral ini, dalam perlambangan horbobius” mendapat sebutan baru bagi dirinya, yakni horbo pangalotlot atau horbo pangeak (kerbau pengejar). Pada kenyataannya, sebelum horbobius dikurbankan pada borotan, ia lebih dahulu “diarak, dikejar” mengusir dan menangkal kekuatan jahat pada tempat-tempat parbeguan. Ini untuk mengusir begu nurnur, begu monggop, begu antuk, yang dihayati sebagai bersembunyi di beberapa pojok kampong, untuk menyebarkan bermacam penyakit dan musibah, utamanya penyakit pembunuh, kolera dan cacar. Pendeknya, horbobius adalah lambang dari theion atau numen ilahi, yang berdaya mengusir kaki-tangan Naga Padoha.
Nb: Padanan paham mengenai perlambangan bumi dalam dunia Yudeo-kristiani adalah Anak Domba Allah. Binatang kurban ini pun mencakup keseluruhan perlambangan unsur-unsur bumi. Bukan hanya itu. Bahkan cakupannya merambat sampai kepada inklusivitas paham moralitas dan kedosaan. Dari itu, bila bagi Yudeo-kristiani ada sebutan “Anak Domba Allah, yang menghapus dosa dunia,” bagi dunia religi Batak paham dapat diungkapkan dengan sebutan Horbo Dewata na manesa dosa ni portibi.
Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa, bagi pemahaman Ekaristi Katolik, persiapan injili adalah Sipir ni tondi jambar horbobius, dari jambar bagian dari binatang kurban. Ternyata, Batak menyambut jambar horbobius dengan sikap ta’zim istimewa, karena bersifat sakral. Sesampai di rumah, ditempatkan pada ‘altar’ dan ‘disembah.’
Pada tradisi yudoa-kristiani, Anak Domba Allah dihayati dan menyejarah dalam paham mesianik. Anak Domba Allah telah menjelma dan menjadi Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah serentak Putera Allah, Mesias yang akhirnya dikurbankan di kayu salib dan manusia paripurna.
Justru karena Batak tidak mempunyai “muara sublimatif mesianis,” seperti yudeo-kristiani, dan dari segi persiapan cukup rapi untuk menyambutnya, maka kecocokan paham dan perlambangan di sini berarti: Batak pun telah dipersiapkan untuk menyambut Sang Mesias, dengan misteri sengsara, kematian dan kebangkitan sublimatif-Nya. Ketiadaan ‘muara soveren’ ini mengindikasikan: Batak pun dipersiapkan dan menyandang kerinduan pengharapan untuk mengakui dan menyambut Sang Mesias Yesus Kristus sebagai tujuan dan penggenapan damba rohaninya yang paling mendalam.
b. Haria Sundung Dilangit dan Borotan
Mengenai Hariara Sundung Dilangit yang menjadi borotan, baik bila diutarakan di sini mengenai ide dan gambarannya dalam mitologi, dan kemudian memberi makna kepadanya. Urgensi dan bobot imperatifnya ditunjukkan oleh kenyataan bahwa pohon mitis inilah yang wajib dijadikan borotan agar makna dan khasiatnya diterima dengan penuh oleh para beriman Mulajadi Nabolon.
1) Narasi mitologi mengenai Hariara Sundung Dilangit
Menurut versi mite rekaman Johannes Warneck, sebelum mencipta bumi, Mulajadi Nabolon mencipta sebatang pohon ajaib bernama Hariara Sundung Dilangit, “yang condong di langit.” Sang Khalik menanamnya pada Angkola Julu, dan menempatkan seekor burung ajaib, Manukmanuk Hulambujati ke cabangnya (Warneck 1909:27). Pendapat bahwa Hariara Sundung Dilangit berakar di Banua Ginjang, dan menjadi partungkoan Debata Natolu, dianut juga oleh Tampubolon 1964:46. Narasi mengenai pohon mitis ini mencatat bahwa namanya adalah Jambu Barus. “ Akar Hariara Jambu Barus menyentuh puncak Nanggar jati, batu jembatan bagi para dewata untuk turu ke bumi dan juga oleh para terhormat dari manusia untuk naik mengunjungi Banua Ginjang”(Pleyte 1897:104). Menurut versi lain, Pohon sudah terdapat bersama Mulajadi Nabolon dari awal-mula. “Pohon ini dimakan ulat, dan kotorannya jatuh ke latan luas.” Dari kotoran inilah muncul segala binatang lautan, darat dan udara (Tobing 1963:41-42). Versi lain lagi berkata bahwa berhubungan dengan pembentukan Banua Tonga, setelah segenggam pasir masuk ke dalam perahu, sebatang ranting beringin melompat pula ke atasnya. Di sana ia tumbuh rindang dan menjadi pohon ficus religiosa (Tobing 1963:71).
2) Makna Hariara Sundung Dilangit atau Jambu Barus jadi Borotan
Mencari makna rasional dari pohon mitis Hariara Sundung Dilangit alias Jambu Barus, pertama-tama harus dikatakan bahwa ia sungguh merupakan “Pohon Penciptaan.” Daripadanya berasal penciptaan dewa-dewi, banua tonga, manusia dan segala makhluk di dunia.
Drlanjutnya, ia pantas dinamai “Pohon Kehidupan”, justru karena daripadanya berasal dan terjamin kehidupan di atas bumi. Pohon ajaib ini menjamin perlangsungan hidup di atas bumi. Daripadanya berasal kehidupan dan hanya bertahan hidup bila menyatu dengannya. Asal-muasal kehidupan di atas bumi berasal daripadanya dan berlanjut karena menyatu dengannya. Pohon mitis ini, dilambangkan sebagai “pembuluh” dan “tali pusat” kehidupan di atas bumi. Ini memberi kesimpulan mengapa, Mangalat Horbobius mengharuskan horbobius ditambatkan ke representasi Hariara Sundung Dilangit, yakni borotan, dan di sana ia dikurbankan. Hidup harus dikembalikan kepada sumbernya, juga dalam hal horbobius penyandang seluruh hidup bumi.
Dalam nalar yang sejajar, pohon mitis ini dapat disebut “Pohon Penyelenggaraan.” Penyelenggaraan adalah penyaluran hidup secara berkelanjutan. Tergantung dari penyaluran hidup ini, apakah hidup itu berlanjut, menjadi layu atau mekar, atau berakhir (mati).
Maka Hariara Sundung Dilangit adalah Apohon kehidupan@ dan Apohon penyelenggaraan@ dalam arti intensitas hidup yang dikandung¬nya mencakup mutu Afontal sekundur.@ Kalau Mulajadi Na¬bolon adalah kandung¬an Ahidup fontal primer yang mutlak,@ maka kepada pohon mitis ini diatribusikan mutu kandung¬an yang se¬cara kualitatif menduduki tempat kedua, di a¬tas kandung hidup pada manu¬si¬a dan alam semesta. APohon menujukkan rahasia pertumbuhan dan keberakhiran, hidup dan ke¬matian. Pemujaan pohon menyebar ke seluruh du¬nia. Pohon-pohon dipuja me¬nyeru¬pai Dewata yang hidup, di India dan di Roma ku¬na, tempat menggantung¬kan persembahan. Pohon-pohon tertentu dihormati se¬bagai sakral: Palma musiman di Babilonia, Ngagrodha (ficus indica), Ašvattha (fi¬cus religiosa) dan Pohon-Bel (eagle marmelos) di India@ [Hariara Sundung Di¬langit Batak] (Heiler 1961:67).
Pohon-pohon sakral ini selalu dipandang sebagai pemunculan dan penyaluran hidup sarkal yang berasal dari Allah. Sampai kepada kehidupan vegetatif primer Batak, Aagar melimpah hasil pertanian dan ternak,@ peranan Apohon kehidupan dan penyelengga¬ra¬an@ dipuja dalam bentuk ri¬tus dengan ranting pohon beringin (tohangtohang) dalam sebuah ampang dan di¬tanamkan pada homban ni juma (sumber mataair mengairi sawah). ASeampang beras, yang dipacaki dengan ran¬ting beringin (tohangtohang), dihantar pada hari bertuah ke tengah sawah [hom¬ban ni juma] … Ranting beringin ditanam di tanah dan dittimbuni dengan pasir ba¬sah. >Inilah bunti atau santisanti (persembahan beras), semoga turunlah hujan ke¬makmuran (sipandan partanoan), sai gabe na niula, sinur na pinahan@ (Winkler 925:141). Jelas-jelas bahwa fungsi ranting ficus religiosa (beringin) mengungkap¬kan perlambangan pohon kehidupan dan penyelenggaraan, lewat penyuburan pertanian dan ternak, sumber penghidupan primer Batak tradisional.
Selanjutnya lambang ficus religiosa menjadi ikon kejayaan kepenuhan ke¬hendak Allah bagi ciptaan perdana, yang dapat dapat disebut Apohon paradis.@ Ke¬penuhan kehendak Allah atas ciptaan men¬jadi landasan pemikiran: di mana ke¬hen¬dak dan kerajaan Allah paling penuh maka di sanalah kebahagiaan dan kesem¬purnaan ciptaan mencapai puncaknya.
Lebih jauh, pohon ajaib Hariara Sundung Dilangit dapat disebut “Pohon Paradis.” Di Timur Tengah dan juga di Ranah Batak ideogram religius ini memuncak dalam paham mengenai Taman Paradis Bahari: ADung i dipugka Debata Jahowa ma sada porlak di Eden tartungkan habinsaran, jadi tusì ma dibahen jolma na jinadihonna i. Dung i dipantubuhon De¬bata Jaho¬wa ma sian tano i nasa hau angka na denggan idaon, jala tabo pa¬nganon… Dung i ruar ma sada batang aek sian Eden i …@ (Kej 2:8-10). Bahasa kenabian melu¬kis¬kan: ADisì ma maringan gompul di lambung ni birubiru, jala manggompang ba¬biat di lambung ni hambing. Jalam tampàk do anak ni lombu, babiat dohot pi¬na¬han na pinamokmok, jala dakdanak na metmet marmahan nasida@ (Yes 11:6). Dalam Batak dikatakan: AJadi jumolo do dipature Debatà Pan¬jadi sada porlak na uli tungkan Habonaran ni Tano on, Porlak Sisoding goarna. Disì dipature do sada huta, opat suhisuhina, pitu harbanganna. Disuan opat mu¬¬¬al di ganup desa¬na@ (Pambi 1978:12). Pengarang lanjut melukiskannya: ASianjur Mulamula, Si¬an¬¬jur Mulatompa; Parserakan ni manisia jala mula ni hita jolma. Parmulaan ni huta dohot maroulaan ni somba; Niambit ni pulo malau, tinumpak ni pulo angko¬la. Na manundalhon jau na mandompakhon toba. Parpansur golanggolang, par¬tapian jabijabi; Parsiapon manogot, paranggiron bodari@ (Tampubolon 2002:I: 63). ADisuan mual, opat ganup desana, jala disuan do hau angka na uli, hau ha¬ngoluan dohot sanggul na hushus, haliang huta i. Ga¬lagala Sirumondang bulan na angur, na ha¬ngoluan, hasangapon, habadiaon, hamuliaon, huta na badia@ Na so adòng na hurang disi. Holan Hasonangan do@ (Pambi 1978: 22-23).
Berlanjut dari paham Paradis Bahari, sebagai ungkapan kesempurnaan saluran hidup dan penyelenggaraan ilahi, adalah predikat pohon yang dapat disebut Apohon kebijaksanaan.@ Oleh latarbelakang metafisik, penyempitan makna Apo¬hon kebijaksanaan@ dapat dipertajam dengan sebutan Apohon pengetahuan baik dan jahat.@ ADung i dipatik Debata ma Jahowa ma jolma i, ninna ma: Jadi do pa¬nganonmu sian nasa hau di bagasan porlak on. Alai anggo sian hau parbinotoan ni na denggan dohot a roa, ndang jadi panganonmu: ai sadari dipangan ho sian i, sai na mate do hot… Dung i sai dipanotnotiboruboru i ma parbue ni hau i diba¬hen dengganna panganon, jala pia matana marnida, jala tau manunggul roha tu hapistaran hau i, jadi diputikhon sian parbuena i jala dipangan, dilehon ma do¬hot sinondukna sian i, gabe dipangan@ (1 Musa 2:16; 3:6).
Batak melukiskannya, dengan menanam pohon Sangka Madeha, pohon pe¬ngetahuan baik dan jahat, pada pusat taman paradis. ASaluhut na di porlak on boi do panganonmu, i do na ga¬be hangoluan dohot hamuliaonmu. Alai ianggo hau sun¬dung, na di tongatonga ni huta on, ndang jadi panganonmu parbuena, ndang jadi jonok ho tusì, ai partanobatoan do i, pamotoan na uli dohot na roa. Ia ho, na so jadi do tandaonmu na roa. .. Ai ¬sadari dipangan ho i, disì ma ro jea bo¬lonmu, ma¬go hamuliaonmu, jimput ma niahapanmu. Na ing¬kon ingotingot ma ho, ninna Debatà@ (Pambi 1978:23-24). AAlai ro ma Pane Nabolon, dijahu ma Ompu i, si Raja Parmulaan, dilean di¬pangan parbue ni hau anggir Sangka Made¬ha i. Mar¬dosa ma si Raja Par¬mu¬laan na ingkon bolusonna ma hamatean, asa mu¬lak ton¬dina mangolu tu Debatà Pan¬jadi. Pola dipabali Debatà Mulajadi Nabo¬lon jolma siduadua i tu tano Ha¬bo¬naran@ (Pambi 1978:24).
Lebih menajam dari Apohon pengetahuan baik dan jahat,@ tidak dalam Kekris¬tenan, dalam Batak dicatat suatu nama yang mungkin dapat disebut Apohon kepu¬tusan@ (Aordeal tree@). Paham ini mengkristal dalam tradisi yang sangat tua dan mendalam, dalam apa yang disebut partungkoan (harf.: pertunggulan). Di ka¬yang¬¬an Batak, yakni pada tingkat kedua, di bawah, Benua Mulajadi Nabolon, tem¬¬pat Trimurty, Batara Guru, Soripada dan Mangalabulan, di sanalah terdapat akar dari Hariara Sundung Dilangit. Pohon inilah yang menjadi partungkoan bagi Dewata Trimurty. AItulah pusat pemerintahan pengendalian manusia tercipta. Pe¬rintah-perintah, titah-titah, dan pesan-pesan berasl dari sana …@ (Vergouwen 1964: 46). AKerbau yang kehabisan nafas dibimbing ke partungkoan, tem¬pat para pe¬muka kampung menambatkannya pada suatu po¬hon untuk me¬nyem¬¬be¬lihnya@ (Wink¬ler 1925:149). Partungkoan adalah representasi Hariara Sundung Dilangit, yang secara ritual ditanam pada >pusat= kampung, yang hendak didirikan. Bagi kehidupan kampung, partungkoan, di bawah pohon ficus religiosa, adalah tem¬pat sakral, pusat pemujaan, pada >tunggul= Hariara Sundung Dilangit, sehing¬ga ber¬fungsi sebagai pusat pemujaan Ahidup dan penyelenggaraan ilahi@ bagi penghuni kampung. Di sana dipuja Mulajadi Nabolon dan Dewa Tanah, Bo¬raspati ni Tano. Itu sebabnya, sebelum mengurbankan horbo pangalotlot, lebih da¬¬hulu ia ditam¬batkan pada partungkoan, Amengembalikan ciptaan kepada mu¬asal¬nya.@ Partung¬koan, di bawah pohon Hariara Sundung Dilangit, dengan fasi¬litas beberapa tem¬pat duduk, adalah >pusat musyarah tertinggi= kampung. Di sana diambil kepu¬tus¬an-keputusan terpenting, yang terkait dengan nasib desa, seperti ¬ seperti pem¬bukaan lahan baru, penentuan batas-batas desa, tetapi juga perang se¬turut etiket ke¬hormatan Batak. Dari segi pengambilan keputusan tertinggi, maka par¬tungkoan adalah lembaga tertinggi, mirip MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), yang se¬lalu bersifat sosio-religius.
Pembahasan kita mengenai ‘teologi’ pohon mitis Hariara Sundung Dilangit mendapat urgensinya dari kemutlakan mengambil borotan dari lambang pohon mitis. Dengan segala kerumitan ritus, pohon borotan dicari, ditata, lantas dipacakkan menjadi Hariara Sundung Dilangit, yang menjadi pusat dan talipusat dunia. Menyandang sakralitas keangkeran, borotan dihiasi dengan perangkat dan tanaman kudus, seperti baringin, silinjuang, banebane, dsb., sehingga merupakan pohon hidup yang rindang dan anggun. Ke sana horbobius diarak, ditambatkan dan ditikam (dikurbankan) kepada Mulajadi Nabolon, sebagai kurban dan ‘penebusan’ seluruh dunia (kosmos). Sesudah membahas sentralitas perlambangan horbobius sebagai representasi alam semesta, termasuk manusia, dan unsure-unsur lainnya (Adat, rangsa), maka Hariara Sundung Dilangit menyandang makna sebagai “pembuluh” dan “talipusat” hidup alam semesta. Kesatuan keduanya, dan makna pengurbanan sebagai ‘pengembalian hidup dunia’ kepada ‘sumbernya’ adalah kesenyawaan yang menjadi inti Mangalahat Horbobius.
Inilah juga yang ditunjuk oleh peristilahan mangalahat. Etimologinya sejalan dengan kata mangalohot. Agar kurban-sembah tertinggi horbobius kepada Mulajadi Nabolon terlaksana dengan sempurna, maka kurban ini harus dilahathon/ dilohothon kepada pohon kehidupan, sumber hidupnya. Artinya: Ia harus dikembalikan dan disenyawakan dengan sumber hidupnya, Hariara Sundung Dilangit, yang ditunjuk oleh Mulajadi Nabolon menjadi ‘pembuluh’ dan ‘talipusat’ kehidupan dunia. Di sana, ia dan sandangan perlambangan dirinya, beserta unsur-unsurnya, utamanya manusia, ‘dianihilasi,’ lantas di disacrificiumkan (dikurbankan, dalam arti, dijadikan sakral menyerupai sakralitas Allah) untuk ‘dibangkitkan’ (‘dicipta baru’) menjadi pengada dan ciptaan baru, penuh keselamatan dan sakralitas (kebahagiaan kesejahteraan), seturut kehendak Mulajadi Nabolon.
3) “Persiapan Injil”
Kita menganggap penting menggarisbawahi esensialitas unsur borotan dalam keseluruhan Horja Mangalahat Horbobius. Kepentingannya terletak dalam meneliti dan mengkaji segi praeparatio evangelica (persiapan injili) borotan bagi kekristenan. Kita berkepentingan meneliti fungsi dan bobot perlambangan pohon ajaib dalam tradisi yudeo-kristiani. Dan upaya ini sangat menjanjikan dalam teologi kayu salib Yesus Kristus. Maka kita bertanya bagaimana tradisi Perjanjian lama dan Perjanjian Baru telah mempersiapkan kepenuhan wahyu mengenai salib Tuhan.
Tidak terdapat ide Apohon penciptaan@ dalam Kitab Suci, yang berpadanan dengan pohon penciptaan Haria Sundung Dilangit atau Singkam mabarbar Batak. Pemakaian kata Apohon@ dalam Kitab Suci pertama kali muncul dalam Kej 1:11, dengan makna Apo¬hon vegetatif@ sebagai unsur ciptaan.
Tetapi tentang “pohon kehidupan” dan “pohon penyelenggaraan” (dapat dibandingkan dengan Tobing 1963:41-42), Kitab Suci Kristen mengatasi kecemerlangan lukisan. Di tengah-tengah Yerusalem surgawi, “terdapat pohon-pohon kehidupan yang berbuah dua belas kali, tiap-tiap bulan sekali; dan daun pohon-pohon itu itu dipakai untuk menyembuhkan bangsa-bangsa. Tidak akan ada lagi laknat. Takhta Allah dan takhta Anak Domba akan ada di dalamnya … Malam tidak akan ada lagi di sana, dan mereka tidak memerlukan cahaya lampu dan cahaya matahari, sebab Tuhan Allah akan menerangi mereka…” (Why 22:2-3,5).
Spesifikasi “pohon kehidupan/penyelenggaraan” ini sangat kuat ke arah “pohon kebijaksanaan Taman Eden,” yang disebut juga “pohon pengetahuan baik dan jahat.” Pengaruh Kekristenan ke dalam dunia agama Batak dipastikan sangat besar. Di Taman Eden, Yahweh menanam pohon kebijaksanaan. Tentangnya Allah memberi perin¬tah: APohon pengeta¬huan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati@(Kej 2:17). APohon kebijaksanaan@ ini pantas dibandingkan dengan ide¬ogram pohon AAnggir Sangka Madeha@ pada Taman Paradis, Porlak Siso¬ding Batak. “Disuan Debatà ma sada hau di tongatonga ni huta i, Anggir Sangka Madeha goarna. Hau par¬binotoan na uli na roa, na so jadi panganon parbuena. Partanobatoan do i di Debatà Panjadi na tau hangoluan do i tu tondi ni jolma” (Pambi 1978:13).
Khas Yudeo-kristiani adalah pengembangan makna “pohon kehidupan” kepada “tongkat kerajaan” dan “tongkat imamat.” Mengenai tongkat kerajaan, Tuhan menegaskan bahwa “Yehuda adalah tongkat kerajaan-Nya” (Mzm 60:9; 108:9). Menjadi rajanya “dipilih-Nya Daud hamba-Nya” (Mzm 78:70). Tuhan “mengaruniakan kepada-Nya (Yesus Kristus) takhta Daud” (Lk 1:32).
Mengenai perlambangan imamat dari ideogram pohon kehidupan dikatakan bahwa: Tatkala tongkat-tongkat kehidupan dibaktikan kepada Yahweh, “maka tampaklah tongkat Harun dari keturunan Lewi telah bertunas, mengeluarkan kuntum, mengembangkan bunga dan berbuahkan buah badam” (Bil 17:8; lih. Ibr 9:4).
Bahwa “pohon kehidupan” ini menyajikan persamaan antara Batak dan Yudeo-kristiani, dalam spesifikasinya, sebagai “pohon eliminatoris”, oleh daya sakralitas ilahi, dapat dibandingkan dalam dua episode yang berikut. Musa diberi tongkat ajaib yang bisa menjadi ular, membunuh ular (setan), dan bahkan bila perlu, membunuh makhluk bila berguna bagi penaklukan kuasa Iblis (Kel 4:2-4; 7:14dst.). Episode ini dapat dibandingkan dengan religi Batak, bahwasanya Mulajadi Nabolon menyediakan suhul (gagang kayu) pedang untuk menusuk Naga Padoha (Warneck 1909:30-31).
Mungkin kita merasa bahwa, dalam pembahasan di atas mutu fungsi pohon kehidupan Batak seolah lebih unggul dari fungsi pohon kehidupan dalam tradisi Yudeo-kristiani. Hal itu ada benarnya. Tetapi lengkap pula alasannya. Dalam tradisi Yudeo-kristiani, pusat peranan bukan pada “pohon ajaib,” melainkan pada Yesus Kristus. Misalnya vakum ideogram “pohon penciptaan” mendapat alasannya dalam sentralitas paham mesianis-inkarnatoris Yesus Kristus. Misalnya tegas dikatakan: “Di dalam Dialah (Yesus Kristus) diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, … segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia” (Kol 1:16). Di sini, berhubungan dengan penciptaan dan penyelenggaraan, peranan fungsi “pohon kehidupan” bagi Batak adalah puncak, sedangkan bagi Yudeo-kristiani, puncak dan sentralitas berada pada Yesus Kristus. Dari itu, penghampiran kita mengenai fungsi “pohon kehidupan” harus dicari lewat kompatibilitasnya bagi mendukung misi dan fungsi Yesus Kristus, Sang Putra Allah-Manusia.
Pertama adalah penegasan bahwa “Kristuslah hidup kita” (Kol 3:4). Tanpa pengantara orang atau “pohon kehidupan,” hanya “Yesus Kristuslah jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6). Untuk itu, Yesus Kristus tidak membutuhkan sejenis pengantara, tidak perlu ada “pohon penciptaan, pohon kehidupan atau pohon penyelenggaraan,” sebab “hanya satu pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” (1 Tim 2:5).
Tetapi menjadi sarana utilitas pelaksanaan misi-Nya, Yesus Kristus menggunakan fungsi perlambangan kayu, terutama kayu salib. Lewat kayu saliblah kita membahas “persiapan injili.”
Untuk itu, pertama-tama adalah penegasan mengenai sublimitas salib, mirip dengan Hariara Sundung Dilangit, sebagai “pohon unggulan” dan penyandang utilitas serta kehormatan tertinggi. “Salib suci nan mulia, kayu paling utama; tiada yang menandingi, daun bunga dan buahnya” (IbH 2004:154). Kesinambungan keunggulan serentak menyatu dan berbeda dengan penghayatan akan Hariara Sundung Dilangit, justru karena bagi Batak, ficus religiosa itu adalah unggulan sakralitas dan “pembuluh hidup,” sedangkan bagi kristiani, Yesus Kristuslah ‘sumber fontal kehidupan’ dan pelaksana, tanpa pengantara. Pohon salib, yang “mulia dan utama” dari segala pohon, dijadikan sarana dan bukan penyandang wibawa (sahala).
Martabat kesaranaan dari pohon salib ditingkatkan kepada mutu bolakan amak dan hasuhuton, dalam sebutan bahwa salib adalah “altar dan kurban” (Ibid.:151).
Sebutan bahwa salib adalah “altar”, sebagai “kayu yang pantas mentakhtakan Penebus, menyajikan tempat labuh, bagi bumi yang karam” (Ibid.:155) masih tetap berada dalam koridor pemahaman kekristenan. “Kayu paku bahagia memangku pangkal hidup … sediakan batang empuk bagi tubuh rajamu” (Ibid.:154).
Tetapi serentak di sini, lewat nuansa religius sejati, muncullah sesuatu novum, mengenai peningkatan harkat dari pohon kehidupan salib. Martabat salib ditingkatkan dari martabat sarana bolakan amak kepada hasuhuton, artinya kesatuan dengan Kristus. Dua dimensi utamanya pantas disebutkan.
Pertama adalah citarasa penyatuan kerinduan dan arah dambaan Batak dengan kekristenan. Di sini ditemukan ‘sambung rasa yang cukup akurat’ antara paham Batak mengenai mangalahathon pelean horbobius tu hau hangoluan, dengan sebutan kekristenan “bahagialah lenganmu (salib), gantungan tangan terpaku … berhiaskan darah suci Anak Domba sejati” (Ibid.:154-155). Kristus pun dilahathon (dilohothon, dilengketkan, lewat pemakuan atau pengikatan) kepada pohon kehidupan (salib). Dari citarasa dunia perlambangan religius, dan yang dieksplisitkan dengan ‘berlumurkan darah suci,’ di sini status persamaan telah ditingkatkan kepada ‘pensenyawaan’ atau ‘persambungan harkat’ antara Kristus dan pohon kehidupan. Itulah alasannya kita memberanikan diri menyebut status hasuhuton kepada salib. Artinya keturut-sertaan otoritas dan tanggungjawab pada pelaksanaan penebusan Kristus lewat kurban salib. Ada kesamaan, tanpa menolak perbedaan, antara peranan salib dan Yesus Kristus (bhinneka tunggal ika).
Kedua ialah eksplisitasi dari persamaan otoritas dan tanggungjawab penebusan Yesus Kristus. Hentakan “salam kurban,” yang dikenakan pada salib (ibid.:151), berikut “hai salib harapan kami” (ibid.:154) menegaskan bahwa antara salib dan Yesus Kristus telah diakui adanya persamaan otoritas dan tanggungjawab untuk melaksanakan penebusan berdarah. Sandangan otoritas definitif dan mutlak atas pelaksanaan misi tetap berada di tangan Yesus Kristus, tetapi secara partisipatif juga disandang oleh pohon kehidupan. Dan ini cukup bagi ‘darah Batak’ untuk membenarkan sakralitas borotan sebagai penyandang theion relatif, sebagai tumen atau benih-benih Sabda. Ini cukup untuk menjadi muara iman tradisionalnya bahwasanya, dari awal mula “Adong ma na saingan, na saingan ni na robi, na margoar Ompunt Tuan Bubi na Bolon, i ma Debata na sasada i, na mangunsande di hau Singkammabarbar, mula ni sironsito dari angin” (Tobing 1963:41). Ini dapat ditutup mengenai perlambangan borotan: “Berbahagialah orang yang membasuh jubahnya (dalam air yang mengalir dari pohon kehidupan). Mereka akan memperoleh hak atas pohon-pohon kehidupan dan masuk melalui pintu-pintu gerbang ke dalam kota (kayangan) itu” (Why 22:14). (Sianjur Mulamula, “parpansur golanggolang, par¬tapian jabijabi; Parsuapon manogot, paranggiron bodari@ (Tampubolon 2002:I: 63).
II. RITUS MANGALAHAT HORBOBIUS
Seluruh kurun waktu Horja Mangase Taon (Manghasea Taon, Membuat Tahun Berkhasiat), terkadang disebut Martua Moma (Membuat Panen Bertuah), di dalamnya Mangalahat Horbobius adalah satu bagian, berlangsung biasanya selama 7 hari (bilangan kegenapan). Hari robu (pemali) ini dihayati sebagai engsel waktu antara “tahun lama” dan “tahun baru.” Wujudnya adalah prakala, bila dilihat dari sisi “tahun baru.” Robu adalah kala peralihan yang “amorf,” “priker,” “sakral” dan “larva.” Pada prakala ini, segala Adat dan Rangsa disuspensi. Orang seolah hidup “di luar waktu” dan “diluar hukum Adat.” Wujudnya seperti “larva,” “potentia” menuju “forma,” sesuatu “kepompong” (robu) menuju “kupukupu” (tahun baru).
Pada waktu robu ini Selama tujuh hari/malam itu dibagi dalam serangkaian upacara khusus. Bagian, upacara yang disebut Mandudu (Menduga Kala) atau Mandungdang (Menalu Genderang), dilakukan setiap malam, tatkala semua lampu dan cahaya dipadamkan pada malam yang pekat. Demikian upacara Mangase Taon dimulai dengan eksposisi ciptaan lama, yang disebut Patedakhon (Memamerkan). Sesudah itu, dimulailah Mencari Borotan (Tiang Persembahan) dari representasi Hariara Sundung Dilangit. Pada setiap malam harinya diadakan ritus Mandudu atau Mandungdang. Sebagian dari waktu seminggu digunakan untuk melakukan ritus Horboa Mangalotlot atau Horbo Mangeak.
Pada hari H, hari ketujuh, terdapat kegiatan ritus yang sangat luas. Dimulai dengan Manonggo Tondi Horbobius pada bara Parsidung (Kepala Hasuhuton). Kemudian horbobius diarak ke pancuran untuk disucikan dan ditabalkan. Dari sana horobius diarak menuju borotan. Setelah para peserta Horja mengarak dengan tortor dan doa tujuh kali mengelilingi borotan, maka berikutlah upacara Mangelek Parhara, memohon penombak kerbau melakukan pengurbanan dengan menombak horbobius. Setelah kerbau dikurbankan dan mati tergeletak di kaki borotan, imam upacara memimpin penyerahan segala persembahan penyerta kepada kurban kerbau.
Secara tradisional, seluruh bani pengurban kembali ke tempat masing-masing meninggalkan horbobius tergeletak di sana sepanjang malam. Ini untuk memberi waktu kepada Dewata menyambut kurban dunia.
1. PATEDAKHON
Ritus Patedakhon (Eksposisi) pada hari pembukaan resmi memasuki masa robu (pemali). Pada ritus patedakhon, para fungsionaris pergi ke pangasean (yang belum ditata), sebidang tanah yang tampan untuk dijadikan tempat pengurbanan horbobius. Lapangan pangasean dipilih menurut kecocokan teritorial dan kemampuan menampung barang 1000an orang bani pengurban.
Ritus patedakhon mencatat proses, sbb.: Pagi-pagi rombongan fungsionaris Mangase Taon (parbaringin), berangkat ke pangasean. Sebuah tombak dipacakkan ke tanah dengan mata ke atas (Korn 1953:99dst.). Mata tombak dihiasi dengan ranting beringin. Osang babi dan tanduk kerbau (lama) ditumpukkan di atas tikar bersama dengan tampurung. Pada tikar yang lain ditaruh ulos, bersama dengan nasi di atas daun pisang. Di atasnya ditaruh seekor ikan. Dua pinggan di sampingnya, penuh berisi itak dan sagusagu. Kita tidak mendapat doa penyertanya.
Maksud patedakhon adalah pemberitahuan kepada Mulajadi Nabolon (parsantabian godang) serentak memohon perkenanan untuk melangsungkan Horja Mangase Taon. Karena ritus ini adalah anamnese dan penghadiran penciptaan bumi, lewat Si Boru Deang Parujar, maka dihadirkanlah tombak penusuk Naga Padoha. Bahwa tombak ini dihiasi dengan ranting beringin, maksudnya adalah penghadiran pohon penciptaan Hariara Sundung Dilangit.
Penghadiran tanduk ni horbo adalah anamnese horbobius tahun sebelumnya. Sedangkan rahang babi adalah peringatan akan babi pangambat, satu mata ritus dalam Mangase Taon, untuk mengusir anasir bala Naga Padoha. Kelompok nasi dengan ikan menunjuk kepada perlambangan perkawinan (hulahula). Sedangkan tempurung dan rahang babi menujuk kepada paranak.
Singkat kata, ritus patedakhon bertujuan, pertama sebagai parsantabian kepada Mulajadi Nabolon, untuk mengadakan Horja Mangase Taon. Kemudian patedakhon berwujud pengumuman kepada khalayak bius untuk resmi melakukan upacara Mangase Taon. Maksud ketiga adalah peresmian titik kala robu dan persiapan yang sungguh-sungguh mengadakan Mangase Taon.
2. Menata Borotan
Diberangkatkan serombongan parbaringin dan parhobas untuk mencari dan menyediakan borotan. Diketahui bahwa jenisnya adalah ficus religiosa (beringin) yang melambangkan Hariara Sundung Dilangit. Dengan pelbagai tenung dan ritus diadakan pilihan. Pohon dibersihkan dari ranting dan hal-hal yang tidak perlu, sampai tercapai maksud menjadi borotan.
Sesampai pada pusat pangasean, sebuah lobang pemacakan yang cukup dalam digali. Ke sisi akar dari borotan dilengketkan gambar penyu (hurma jati), lambang banua toru. Borotan dipacakkan dan tanahnya dipadatkan, sampai berdiri kukuh.
Pada puncak borotan ditakik sebuah lobang. Ke dalamnya dimasukkan pasta paruh enggang. Di atas borotan ditaruh pasak berpalang empat yang menganjur ke keempat jurusan. Ini adalah lambang oktagon (mataangin) sehingga borotan melambangkan alam semesta. Kemudian puncak dan pasak-pasak ini dihiasi dengan segala daun-daunan perlambangan religius: baringin, jabijabi, motung, silinjuang, sisangkil, sipilit, rudang, meang, bagure,dll. Akhirnya borotan menjadi rindang dan rimbun. Disangkutkan sehelai kain, ulos jau pada bagian tengah daun-daunan borotan.
Sekeliling borotan, dengan tepung kekuningan, digambarkan bindu matoga (mataangin). Terkadang pada salah satu sisinya digambarkan hurma jati (penyu).
Makna borotan, menambah kisah sebelumnya, adalah penghadiran Hariara Sundung Dilangit. Ini dilihat dalam kerangka menghadirkan kisah penempaan bumi oleh Si Boru Deang Parujar. Bahwa disajikan pasta paruh enggang, ini menunjuk kepada Manukmanuk Hulanjujati, yakni burung mitis yang dicipta oleh Mulajadi Nabolon, dan ditenggerkan ke pohon Hariara Sundung Dilangit. Burung mitis ini menurunkan Debata Natolu, dan lewat Si Boru Deang Parujar diturunkan umat manusia.
Sepotong kain ulos jau adalah lambang dari tudung Si Boru Deang Parujar, untuk menahan panas, tatkala Mulajadi Nabolon mencipta 8 matahari, mengeringkan laut dan memberi kesempatan kepada Si Boru Deang Parujar menikam Naga Padoha dan memenjarakannya dalam kerangkeng. Sudah dilihat dalam ritus patedakhon, kehadiran pedangnya menaklukkan Naga Padoha.
Secara ringkas: Tujuan representasi Hariara Sundung Dilangit (borotan) adalah untuk menjadi anamnese (peringatan dan penghadiran) penciptaan alam semesta. Bermula dari mencipta pohon kehidupan, menempatkan Manukmanuk Hulambujati pada dahannya, untuk menurunkan Debata Natolu, Si Boru Deang Parujar, menjadi Ibunda umat manusia, dihadirkan di sini. Juga kisah penaklukan Naga Padoha agar penempaan Baua Tonga sukses, dihadirkan di sini. Juga ketiga tingkatan alam semesta, yakni Banua Toru (penyu), Banua Tonga (mataangin/pohon kehidupan) dan Banua Ginjang (awang-awang) dihadirkan di sini. Boleh dikatakan bahwa pohon penciptaan dengan segala lambang dekorasinya adalah “wayang Batak” yang membutuhkan dalang narasi mitologis. Itu akan terjadi waktu Mandudu/Mandungdang.
3. Manabari
Manabari (menawari) adalah upacara pengusiran bala dan roh-roh jahat. Tiga bagiannya adalah:
Maneat Babi Pangambat. Seekor anak babi dipotong dengan sekali sayat. Dalam tenung tanda daripadanya diukur dan ditentukan apakah butuh mengadakan Manabari, yang disebut juga Horbo Mangeak, atau Horbo Mangalotlot.
Dalam hal intensnya ancaman roh-roh jahat, maka dilakukanlah ritus Manabari. Penduduk kampung dikumpulkan sekeliling seekor kerbau yang ditabalkan kepada Dewata, untuk melakukan upacara Manabari. Ditentukan tempat-tempat habitat roh-roh jahat, seperti kuburan, sudut sawah, parbeguan, menjadi tujuan pelaksanaan manabari. Penduduk berkumpul dan membentuk dua kelompok. Masing-masing menyandang senjata, seperti lembing pimping, katapel, batu, senapang angin, gada, pasir, bara api. Setelah doa penabalan horbobius, sang datu memberi aba-aba: “Eak, tabar.” Kerbau pun dieak menuju tempat-tempat angker, sambil melepaskan tembakan dan melemparti kerbau dengan lembing pimping, batu, katapel, pasir. Kerbau pun ‘diarak’ ke tempat engker. Di sana bara api diserakkan untuk mengusir roh-roh jahat.
Terengah-engah, akhirnya kerbau ditambatkan pada partungkoan. Orang ramai membentuk dua barisan dan saling menyerang. Mereka melempari satu sama lain dengan lembing pimping, menyepak, sungguh berkelahi sampai menumpahkan darah. Kalau terjadi kematian, tidak boleh dituntut. Ia disebut mate di gala-gala, mati demi keselamatan manusia, dan dianggap berpahala.
Akhirnya horbo pangalotlot atau horbo pangeak (bukan horbobius) disembelih dan dalam rangsa jambar dibagi-bagi antar-pengurban.
Makna dari ritus manabari adalah anamnese perang antara Si Boru Deang Parujar dengan Naga Padoha. Darah harus mengalir, sebab, untuk beroleh ciptaan baru yang murni, Naga Padoha harus ditikam dan mencurahkan darah. Demikianlah perang-perangan antara dua kelompok menunjukkan urgensi, penumpahan darah untuk mencipta bumi. Kalau ada yang meninggal, itu disebut mate di galagala, artinya, sebenarnya tidak sengaja, sebab Naga Padoha juga tidak mati. Tetapi khasiatnya lebih berguna bagi keselamatan manusia, yang timbul dari panen raya tahun baru.
Berikutlah ritus Manguras. Ritus ini adalah penyucian seluruh kampung dengan air kudus (pangir, uras). Sang imam parmangmang, mengambil sawan puti (cawan porselen) dan mengisinya dengan air murni perawan. Ke dalamnya diiris jeruk purut (pangir), lantas disemati dengan ranting beringin (ficus religiosa), rudang banebane, mayang. Ia mendoa-baktikannya kepada Mulajadi Nabolon dan Dewata Batara Guru.
Dengan air kudus ini ia mereciki, menyucikan seluruh kampung. Juga tempat-tempat angker, yang sudah ditabari, direciki untuk menyucikan tempat yang sudah dicemari oleh roh-roh jahat. Perecikan ini begitu rinci, sampai setiap rumah, alat-alat dapur dan sarana kerja (pisau, luku, dll.) telaten direciki, sampai kepada kolong, kandang ternak dan sawah terdekat.
Makna dari mnguras adalah persucian umum dan satu per satu manusia dan unsur habitatnya, agar disucikan segala anasir jahat Naga Padoha. Tahun baru merupakan hasil persucian yang murni dan karena itu penciptaan yang berhasil raya. Marlimo ini masih dipertahankan umat Islam, di Tapanuli, memasuki masa puasa.
4. Mandududu atau Mandungdang
Pada setiap malam waktu robu, diadakan upacara Mandudu atau Mandungdang. Di rumah parsidung, tempat mengandangkan horbobius, diadakan upacara mandudu/ mandungdang. Sekurang-kurangnya tiga orang pelaksana ritus. Datu parmangmang membawakan doa, pargordang dengan tambur raksasa untuk ditalunya, dan parhara, seorang pelayan yang memegang lampu teplok dan pemantik, untuk memeriksa kerbau kurban dengan lampunya, di malam pekat.
Sekitar jam delapan malam, semua lampu dan cahaya dipadamkan pada setiap rumah dan pelataran. Orang harus hening mendengarkan dungdang (taluan tambur raksasa). Sejak nada pembukaan, seluruh kampung dan desa hening, sunyi senyap, lampu dipadamkan, dan malam pekat menyelimuti desa. Orang harus memurnikan suara hati dan menantikan peristiwa besar.
Kemudian, untuk dungdang, datu parmangmang membawakan doa tujuh untaian, diselingi oleh pause bunyi tambur. Contoh seuntai dari ketujuh lirik mangmang itu dapat diberikan:
“Raja Pemula, yang tak bermula; Yang tak berubah, tak jemah tua.
Engkau Pemula alam semua; Yang takkan berubah dan jadi tua.
D’bata Natólu kami serukan; genap jajaran p’ra arwah moyang;
Kesepakatan sudilah tunjang; kepada Khalik kami haturkan.
Adalah bumi menjadi tua; daya energi rada berkurang.
Damba diubah ke alam mula; segala tulah akan didulang.
Kami haturkan kurban dan bakti; Kami kuduskan Kerbau nan safi.
Sudilah sambut sembahnya bani; menjunjung adat sejak bahari.
Semoga kurban mencuci dosa; mengusir hama segala rona.
Tundukkan daya Nága Padóha; sehingga hayat jadi sentosa.
Sambutlah kurban, lambang ciptaan; pemanggul curang alam jadian.
Hama dan tulah sudi hilangkan; ubah buana ke kesucian.
O kerbau kurban, engkau pilihan; menanggung dunia serta isinya.
Memanggul dosa dan penyilihan; tersangga surga, genap dunia.
Teguhkan hati, kukuhkan jiwa; menapak altar kurban terpinga.
Menjulang tinggi harkat peminda; karsa ilahi pulihkan dunia.
Engkau pilihan tiada tara; engkau pun sanggup menjurus arah.
Berikan kami suatu tanda; agar sedia budi dan dada.
Lambung tuturkan, tuan pargónsi, kepada Allah, sang Múlajàdi!”
Melantun lagu tambur meringkik, dan decrescendo memelas hati” (Sinaga, Dendang Bakti).
Secara ritmis bunyi tambur dihentikan. Menyusullah upacara dudu (menduga). Parhara memantik lampunyai dan bergerak menuju kandang horbobius. Ia membuat kerbau kurban agak berisik dan terkadang berkisar memutar diri. Datu parmangmang bertanya kepada parhara ke mana arah kerbau kurban. Jawaban, dalam bahasa umpasa, tidak selamanya jelas. Tetapi dianggap jawaban yang favorabel ialah: Dompak purba, dompak anggoni; maduma jala manuhori.” (“Arah timur, arah tenggara, melimpah dan sejahtera”). Tumur, tempat terbitnya matahari, dianggap arah yang berindikasi tuah dan panen raya.
Episode ini berulang sampai 7 kali. Pada akhirnya jawaban parhara pun favorabel dan serentak, dengan bunyi gordang, dinyatakan proses itu selesai. Langsung terdengar, setelah keheningan yang mendalam, orang bersorak-sorai dan lampu-lampu dinyalakan sebenderang mungkin. Bahkan ada orang yang turun ke halaman untuk martumba bersukaria.
Makna Mandungdang dan Mandudu.
Mempertimbangkan isi doa parmangmang dan pelaksanaan Mandungdang dan Mandudu, kiranya hal-hal berikut adalah muatannya.
Perayaan ritu ini hendak menganamnesekan (memperingati dan menghadirkan) peristiwa penciptaan bumi perdana, pada prakala, sebelum adanya waktu penciptaan (robu). Mandungdang, dalam etimologi sonoris bahasa, adalah untuk menganamnesekan bunyi melambangkan gemuruh Laut Lapaslapas dan alam semestra waktu penciptaan bumi. Upacara ini adalah untuk mencipta ulang bumi, yang sudah menua, layu dan keriput: “Damba diubah ke alam mula; segala tulah akan didulang.” “Turunlah, ya Ompung, dari Banua Ginjang, tempat mahatinggi … agar asilum jadi mukiman, agar insan tertidur buka suara; agar damba jadi rencana, agar dungdang menjadi dudu…” (Ama ni Rongkoman S. Tape I A, 00.30’40”dst.). Di sini digambarkan proses peralihan dari keheningan prakala menjadi keriuhan ciptaan, hanya apabila Mulajadi Nabolon turun dari banua ginjang, kembali mencipta bumi.
Permainan kegelapan berseling terang, dalam ilmu perbandingan agama selalu mengindikasikan peralihan dari kekelaman prapenciptaan kepada terang penciptaan. Bila Yahweh berkata “jadilah terang” itu berarti jadilah ciptaan dan berakhirlah praciptaan yang kelam. Dalam terang, orang bersukacita dan martumba.
Perwujudan penciptaan baru, kendati masih berkecambah tohu wa bohu, mendorong tanya pada khalayak, bagaimana kira-kira wujud dan hakekat dari bumi/tahun yang baru. Keingin-tahuan mendorong bani pengurban untuk menilik posisi horbobius, yang adalah lambang “bumi.” Maka parhara menduga-duga (mandudu, mandodo) nasib bumi/tahun baru, Jelas bahwa arah timur – ex oriente lux – adalah yang paling favorabel. Dari melihat posisi horbobius mengarah ke timur, inilah tandanya panen akan melimpah, sebab “dompak purba, dompak anggoni; maduma jala manuhori. Pada waktu itulah orang puas dan bersukaria, sampai berdansa ceria, langsung sesudah mengalami kepekatan malam.
4. Pengurbanan Horbobius
Hari ke delapan adalah hari pengurbanan horbobius. Hari ini padat dengan pelbagai ritus. Terdapat sekurang-kurangnya lima urutan ritus yang harus dilalui: Pangadopon, penyucian horbobius, pengarakan horbobius, pembaktian horbobius, penyembelihan, dan penyampaian.
a. Pangadopon
Sekitar jam 09.00 pagi, tatkala bani pengurban sudah memadati pangasean, dan tatkala pargonsi sudah menempati pantar yang disediakan, menghadap borotan, maka fungsionaris pengurbanan (parbaringin) berkumpul di rumah parsidung, yakni tuan pesta tempat horbobius dipingit selama seminggu. Mereka dibagi menjadi kelompok-kelompok pembawa persembahan. Daripadanya, al.:
– Pardaupa (pembawa dupa), yang terdiri atas raja pardaupa, siboan daupa, siboan pardaupaan. Berpakaian imamat yang cerah dan berwibawa mereka menghadirkan fungsi perlambangan dupa sebagai: pensenyawaan, pujian pada Dewata, infusi sakralitas Dewata, pengudusan.
– Parpangir (pembawa cawan air kudus), yang terdiri sekurang-kurangnya atas dua orang, yakni malim parpangir, dan panumpak parpangiron. Berpakaian imamat kesucian, yang cerah dan anggun, malim parpangir memimpin kelompoknya. Panumpak parpangiron menyandang cawan porselen besar, yang berisi jeruk purut teriris, yang diimbuhi oleh ranting beringin, banebane, mayang pinang muda, terkadang telur. Diketahui ketiga makna perlambangan air, yakni penyucian eliminatoris terhadap unsur jahat dan dosa; transformasi kepada forma dan hidup baru (‘baptisan’); serta penetapan status baru sesuai tujuan.
– Parpustaha. Dibantu oleh malim pandua, Malim Parpustaha, berbusana dan berbulang imamat sangat anggun, memegang Apustaka@ Batak dengan sangat hor¬mat. APustaka@ adalah sejenis papirus yang terbuat dari kulit kayu, dan ditulisi dengan tulisan Batak, yang berisi mite, legenda, atau formula kudus. (Lih. Tobing 1956:22a). Dari itu perlambangannya menunjuk kepada “kata kreatif” dari Sang Khalik. Dari itu, pustaha mengandung formulir-formulir sakral dan berdaya “kreatif.” Pustaha menghadirkan kemahakuasaan Mulajadi Nabolon, yang “sanggup mencipta hanya lewat kata-kata-Nya.” Pustaha juga, sejalan dengan kuasa penciptaan, mengandung kisah-kisah penciptaan. Pada tingkat lain, pustaha mengandung kekuatan magis, atau formulir-formulir sakral yang sangat efisien. Pada tingkat berikut, pustaha mengandung segala macam rangsa, yang terhubungkan dengan sakralitas hukum alam. Terakhir, pustaha juga mengandung formulir-formulir nefas, yang terhubungkan dengan black magic.
– Parhumpalan. Disangga oleh seorang ‘pendamping,’ ibu parhumpalan tampil sebagai çripaa (soripada), Acemerlang wibawa,@ men¬junjung bàhul parbùe sàn¬ti, sebuah sumpit yang berisi Aberas persembahan ku¬dus.@ Pada puncak bàhul parbùe sàn¬ti dililitkan bonang humpalan (kumpalan be¬nang) yang putih-bersih (lih. Korn 1953:109).
Mengacu kepada mitologi permulaan penempaan bumi dari benang tenunan Si Boru Deang Parujar, makna dari perlambangan bonang humpalan menjunjuk pertama-tama kepada perlambangan bulan. Bulan menjadi gambaran proses ‘nasib’ dan hidup manusia (Tampubolon 1964: 22). AA¬da¬lah lambang perubahan, perkembangan, dan maut” (Schmidt 1955/IX:447 dst.), bagaikan lambang te¬rang dan kegelapan (bulan terbit (lahir), mengembang, penuh (purnama, dewasa), menyusut (keriput) dan menghilang (mati), sebagai lambang pathos dan penderitaan. Bulan mengungkapkan bagi manusia kondisi diriya yang sebe¬narnya. “Dalam satu arti, manusia becermin mengenai di¬ri¬nya, dan menemukan dirinya kembali, dalam hidup bulan” (van der Leeuw 1948:378dst.). Tetapi bulan juga serentak merupakan ritme pengharapan, menjadi pemulihan berkala. Pola ini serentak menyedihkan dan meng¬hi¬burkan. Karena, kendati manifesasi hidup begitu rapuh sehingga, dapat tiba-tiba meng¬hilang seluruhnya, namun dipulihkan kembali dalam >perulangan lestari= (He¬i¬ler 1961:56dst.). Ringkasnya, perlambangan bulan menghadirkan nasib ma¬nu¬¬sia pada Banua Tonga@ (Eliade 1971:154dst.; Sinaga 1981:88-89).
Kedua adalah penegasan: AKain, jala, kerudung, bagi bangsa-bangsa bahari, a¬¬¬da¬lah lambang tata alam dan kebijaksanaan alami@ (Kristensen 1971:323). Bagi Ba¬tak, pemahaman mengenai tata alam dan kebijaksanaannya pantas dikembali¬kan kepada paham Apenataan alam dari khaos menjadi kosmos.@ Ini disebut se¬ba¬gai Adat (misteri hukum yang tersembunyi) atau Rangsa (misteri hukum yang nya¬ta). ATata alam ini adalah tata kehidupan dan kebijaksanaan yang absolut, yang menerusi seluruh kenyataan yang tak ter¬se¬lidiki dan tersembu¬nyi dari alam …@ (Kristensen 1971:323). Dalam paham yang de¬mi¬kian, parhumpalan adalah lambang hidup dan kebijaksanaan semesta alam. Kosmos, se¬bagai ciptaan yang sangat peka akan penyelewengan dan dosa durhaka, dilam¬bangkan o¬¬leh bonang humpalan, agar diperbaharui dan tegar, adalah untuk dikem¬balikan kepada dan diku¬duskan oleh Sang Pencipta, lewat persembahan, sehingga menjadi baru, ku¬dus, bugar dan tangguh.
– Parampang Simaròma. Seorang ibu, yang berbusana kaya, dekoratif dan anggun, menjunjung ampang. Bakul ini diisi dengan eme (padi, Oryza sa¬ti¬va), sanggar (pim¬ping, Anthistira arguens), terutama harimpang (rumpun bong¬kolnya) dengan pengharapan padi tertanam beranak cabang, ¬baringin (beri¬ngin, Fi¬cus benja¬mi¬na), ba¬nebane (rudang, jenis jamu), simaromaoma atau simare¬me¬eme (rumput kuda, Pani¬cum pros¬tra¬tum), yang di¬tutup dengan ulos ragidup (ulos mulia tri-warna hi¬tam, merah dan pu¬tih). Terkadang dimasukkan juga sirih (perni¬kahan), telur (ke¬su¬buran Hu¬lam¬bujati), ma¬yang pinang. Secara umum, kesan yang tim¬bul da¬lam meman¬dang¬nya adalah perlambangan kesuburan vegetatif bumi, gabe na ni¬ula.
Menganalisis perlambangan yang dikandung oleh ampang bersama unsur-un¬surnya, pantas dikatakan.
Pertama cakupan. Indikator mata angin, telah dilihat, mengarah kepada ke¬lu¬as¬¬an yang tak-terbatas. Ini mengindikasikan bahwa yang hendak dilambangkan a¬¬¬dalah semesta alam, (kosmos). Sedangkan bentuk ampang melambangkan selu¬ruh kandungan Banua Tonga, bumi manusia. Terluas, ampang simaroma melambangkan alam semesta.
Kedua adalah hubungan dengan kemanusiaan. Ditinjau dari kehidupannya, di sini dihadirkan lam¬bang Arezeki@nya, padi. Perlambangan mempertukarkan eme, sanggar dan simarememe. Utamanya eme, merupakan perlambangan pars primaria pro toto, bagian utama untuk seluruhnya. Eme, par¬bue, indahan adalah diet (rezeki) dan bekal penyangga seluruh hidup manusia. ¬Se¬mua peristilahannya terkaitkan dan diikatkan kepada langgam teologi, antro¬po¬logi, adat dan kehidupan Batak. Tidak ada peristiwa penting Adat yang tidak meng¬andaikan pemanfaatan dan pemungsian dari ketiganya.
Tatkala, dalam misteri sakramen Ekaristi, Yesus Amengambil roti@, maka pa¬danan perlambangan di sini adalah indahan, yang mencakup seluruh Arezeki@ manusia, dan karena itu menjadi lambang hidup dan kodrat manusia. Perpadanan ini pantas dicermati, sebab kendati kita tidak bermaksud menggantikan Aroti@ de¬ngan Aindahan@ dalam kerangkan sakramen Ekaristi, namun cakupan paham dan mu¬atannya tidak boleh dikurangi dari kelengkapan Arezeki manusia.@
Kepada perlambangan eme dari Arezeki manusia@ pantas pula secara asosiatif ditambahkan sanggar dan simaremeeme. Bahwa sanggar harus disertai oleh Abu¬nga@ dan Arumpun bongkol@ – agar beranak-cabang seperti sanggar – ter¬kan¬dung makna perlambangan tautologi kepada makna Arezeki manusia.@ Sebab Asàng¬gar ada¬lah lambang padi, dan seruan tonggì tabò adalah ungkapan kedambaan agar Abu¬¬lir¬nya manis dan enak@ (Korn 1953:100). Demikian juga simaremeeme (rum¬put kuda), baik oleh alegori rupa maupun nama simare¬me¬eme (yang menyerupai eme), maka kembali makna tautologi tampil ke permuka¬an.
Mengenai cakupan kedewataan dalam ampang, kejelian pemilihan ulos ragi¬dup sebagai penutupnya adalah pintu masuknya. Keadian ulos yang satu ini di an¬tara pelbagai jenis ulos justru ditunjukkan oleh ulos sitiga-borna, triwarna, yak¬ni silintom (hitam), nabara (kemerahan) dan siapas pili (putih) dalam satu ulos ra¬¬gidup. Ketiga borna ini adalah warna-warni khas Debata Natolu, Trimurty Ba¬tak; Hitam adalah lambang Dewata Batara Guru, kemerahan Soripada dan putih Ma¬ngala Bulan. Dalam dunia persembahan kuda, kuda berwarna hitam dipersem¬bah¬kan kepada Dewata Batara Guru, kuda kemerahan kepada Soripada dan kuda pu¬tih-bersih kepada Mangala Bulan. Perlambangan triborna ini menyeruduk pula ke¬¬pa¬da sakralitas bonang manalu atau bonang manolu (benang meniga) atau bo¬nang sitiga jalan (benang sitiga alur) (hitam, kemerahan dan putih). Daya magi¬nya, termasuk untuk mengusir penya¬kit, justru berasal dari kehadiran lambang (re¬alitas imanensi) ketiga Dewata Tri¬mur¬ty Batak.
Sijùjung Hùdon Borubòru. Mengalusikan representasi penempa bumi, yakni Si Boru Deang Parujar, tampil seorang ibu yang berdandan ang¬gun serta mu¬¬da berwibawa, menjunjung sebuah periuk tanah yang besar (hudon boruboru). ABejana ini berisi buhubùhu ni sànggar (bu¬ku-buku pim¬ping), là¬pung (padi ham¬pa), bònang na bòntar (benang putih) dan bu¬nga¬bú¬nga (hibìs¬cus), sedangkan tu¬tupnya adalah daun talas (sùhat)@ (Korn 1953:109).
Wujudnya adalah lambang bumi tahun yang lalu. Bentuknya, sebagai hudon boruboru, sudah me¬¬lambangkan bumi manusia. Maka dalam hudon boruboru ini terkandunglah mak¬na dan nasib seluruh bumi manusia yang lama. ABumi@ ini adalah untuk di¬han¬cur¬kan bersama dengan kematian binatang kurban, horbo bius, agar dicipta baru.
Bahwa nanti hudon boruboru beserta isinya dihancurkan pada kepala horbobius yang sudah dikurbankan, maksudnya adalah untuk menandakan anihilasi (peniadaan) bumi yang lama. Maknanya sejajar dengan penyembelihan horbobius sebagai lambing banua tonga.
Mengenai kehadiran bonang na bontar, di atas telah dikatakan sebagai melambangkan Atenunan hukum kosmos be¬serta nasibnya.@
¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬ Parsanti Dengke Sitiotio. Fenomenologi penggunaan dengke, ihan Batak (i¬kan Ba¬tak), menyodorkan kenyataan: Dewata Trimurty mendapat pujaan dengke yang di¬sebut daung (ikan persembahan awetan) dalam hubungannya dengan per¬mohon¬an kesuburan ketu¬runan. Juga menjadi persembahan pada apoteosis (numi¬nosis) kandidat imam agung, Malim Parjuguk, dengke saur (ikan sejahtera) di¬ang¬kat ke¬pada sakralitas >persembahan= dan >kemurnian imamat= (Sinaga 2007: 116).
Dengke Batak selalu mengalusikan: (1) Sa¬kralitas su¬blim hi¬dup da¬lam pelbagai tingkatan. Dalam arti itu perlambangan Kris¬tus de¬ngan Iktus (i¬kan) menjadi sangat tepat. (2) Paham tentang hidup yang su¬blim itu selalu me¬mak¬¬nai¬nya dengan tujuan Apenysejahteraan, pelanggengan¬ dan pemba¬hagiaan.@ (3) Lebih pa¬da tingkat ¬¬adat sosio-kemasya¬rakat¬an¬, dengke adalah ciri mahar dari pi¬hak Hu¬la¬¬hula kepada Boru, dalam kerangka peningkatan kesu¬buran manusia. Nuansa adalah kesuburan ketu¬run¬an dan kesejahtera¬an ketu¬run¬an.ABòru diberi ikan oleh hu¬la¬hu¬lànya karena bu¬kan¬kah daripada¬nya di¬ha¬rap¬kan datang ber¬kat dan kemak¬muran? Ca¬lon anak me¬nantu diberi dèngke pada kun¬jung¬¬¬annya yang pertama ke orangtua gadis pilihan¬nya; dèng¬ke pula yang menyer¬tai nasi yang di¬hi¬dangkan ke¬pada ba¬pak mempelai lela¬ki, jika orang ini be¬serta sanak saudara¬nya da¬tang ber¬kun¬¬jung ke bapak mem¬pelai per¬empuan un¬tuk de¬ngan resmi me¬nye¬rah¬kan mas ka¬¬¬win; dèng¬ke ditempat¬kan di atas nasi yang harus dimakan ber¬sama o¬leh kedua mempe¬lai. Dan orangtua dari perem¬puan yang me¬ngandung akan mem¬bawa dèng¬ke jika me¬reka mengun¬jung¬i¬nya untuk melakukan u¬pacara mangù¬pa …@ (Ver¬gouw¬en 1986:103-104). Juga dalam hal kemandulan, a¬dat dengke dari Hula¬hu¬la di¬pan¬dang sebagai jalan terminasinya yang penting dan efektif.¬
– Parsanti maremàre, penyandang janur. Seorang ibu yang segar dan muda ber¬fungsi untuk me¬nyan¬dang maremàre, janur. ¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬
Makna janur enau dapat dikaji lewat mita asal enau. Menurut beberapa ki¬sah (Pa¬sariboe 1938: 11dst.; Hoetagaloeng 1926:14), tanaman enau berasal dari putri Ba¬tàra Gùru, bernama Bòru Sòrba Jàti. “Teras pipihnya [pàngko] berasal dari be¬¬lulangnya; gabus-intinya [ùnok] dari perutnya; pelepahnya [làmpak] dari pa¬kai¬annya; ijuknya dari ram¬butnya; tangkai daunnya dari tangannya; lidinya dari jemarinya; mayangnya dari matanya; dan tuaknya dari air matanya@ (Korn 1953:114).
Dari segi etimologi kata bagot, memberi asosiasi dua arti: Bagot berarti serentak enau dan payu dara. Ini mengkhususkan makna kesuburan kewanitaan dari bà¬got. Insinuasi terdapat dalam perlambangan wanita sebagai kesuburan , yang serentak berarti enau dan payudara perempuan.
Kesimpulannya ialah bahwa: Lambe adalah lambang kesuburan wanita yang menopang hidup dan perekembangan manusia di dunia. Bila nanti lambe dikenakan kepada horbobius, itu berarti pelanggengan hidup dan kesuburannya bagi bumi manusia.¬¬¬¬¬¬¬¬
Parsanti Ìtak. Terdapat sederetan ibu-ibu, berpakaian Anormal,@ sebagian ber¬pasangan suami, yang menyandang pelbagai jenis ìtak (kue tepung beras) dalam pel¬¬bagai bentuk dan dalam pelbagai wadah. Ada yang menaruhnya di atas daun pi¬¬sang, daun motung (Ficus toxicaria), dalam pinggan porselen putih, bejana ta¬nah liat (bdk. Korn 1953:45dst.; Ypes 1932:173dst.; Winkler 195:140dst.; War¬neck 1909:107dst.).
Makna perlambangan itak khususnya dan makanan nasi-nasian pada umum¬nya menunjuk kepada dua makna yang besar.
Pertama ialah perlambangan nasi/i¬tak sebagai makanan pokok, representasi segala Aroti kehidupan.@ Makanan ini se¬kian sakral dan universal bagi dunia Ba¬¬tak, sehingga imanensi theion, pada padi, beras dan nasi, disebut tondi ni eme (ton¬¬¬di padi). “Roti dan ma¬kanan adalah pengada ilahi, dan dari itu bukan lambang, melainkan adalah re¬alitas ilahi sendiri@ (Kris¬tensen 1971:407).
Kedua ialah perlambangan khusus itak dari kesuburan dan sanggama manu¬sia. ABetapa nikmat itak, ditumbuk gadis jelita. Begitulah nikmatnya, dia baring di ba¬wah. Gembungnya payudara dielus-diremasnya, maka >air= memancar meng¬a¬lir dengan lancar.@
Parsanti Nanihunikan. Menonjol dan karakteristik dari itak-itakan ini adalah yang disebut na nihu¬nikan (yang dikuningkan). Warnanya kuning, sebab di¬cam¬pur dengan hunik (ku¬nyit). Campuran juga mencakup grendelan pandan wangi (harum, odoratum sa¬crale), telur (lambang telur burung mitis Manukmanuk Hu¬lam¬bujati), banebane (odoratum), daun muda baringin (lambang Hariara Tum¬burjati, pohon kehidup¬an). Setelah dipersiapkan dengan baik, semua ditaruh da¬lam wadah mulia: sebagian, dalam wadah khusus, berbentuk agak encer; sebagian lain merupakan tepung yang gampang ditaburkan. Seluruh ramuan mengindi¬kasi¬kan perlambangan ki¬sah penciptaan alam semesta, mulai dari pohon mitis kehi¬dup¬an Hariara Tum¬bur¬jati, burung mitis Ma¬nukmanuk Hulambujati, telur¬nya, Tri¬murty Batara Guru, So¬ri¬pada, Mangala¬bu¬lan, sampai kepada penempaan bu¬mi, pendasaran manusia pa¬da Paradis Bahari, oleh Si Boru Deang Parujar. Per¬lambangan-perlambangan ini sangat erat hubungannya dengan kisah pencip¬ta¬an bahari. Dalam konteks Ma¬ngase Taon, semuanya itu telah menjadi masa lalu yang penuh dosa, dan itu un¬tuk diterminasi dalam paham bahari >mati-bangkit.= Dalam diri horbo bius yang akan dikurbankan, seluruh masa lalu, taon na buruk, akan dilengsehon (dia¬nihilasi) untuk mencipta bumi dan paradis baharu.
Parsanti Hajut, Manuk Lahibini. Ada ibu yang membawa sala¬pah dalam ha¬¬jut berisi da¬un dan bunga si¬rih segar, dan segala surogat sekapur si¬rihnya. Di sam¬ping¬nya ber¬di¬rilah se¬pa¬sang mu¬da suami-isteri menyandang manuk lahi-bini (su¬ami isteri).
Per¬lam¬bangan sekapur sirih pantas dikembalikan kepada mite penciptaan. Si¬rih berasal dari dewata kayangan Narudang Ulubegu, yang dikirim untuk di¬ku¬nyah oleh Si Boru Deang Parujar, agar Naga Padoha tertarik dan dapat ditun¬duk¬kan (Tampubolon 1964:28). ASirih dan perangkatnya dikunyah. Bibir dan gigi men¬jadi merah sehingga sangat meningkatkan daya tarik. Ma¬ka sirih adalah lam¬bang kecantikan perempuan dan fasinasi erotis@ (Sinaga 1981: 217).
Dalam Sitz im Leben Batak, pemakaian sirih terutama berhubungan dengan Asirih peminangan.@ Seka¬pur si¬rih meng¬¬¬gambarkan du¬nia partan¬dang¬on Batak, proses perkenalan mar¬kusip an¬tara perjaka dan bu¬¬jing¬bujing, sam¬pai kepa¬da per¬tunangan dan pelamaran de¬ngan sirih pinangan. Dari itu ritus persembahan sirih melambangkan theion kesuburan manusia, khususnya kesuburan pertunangan dan rumah tangga. Adatnya telah didasarkan oleh Ibunda Manusia, Si Boru Deang Par¬ujar.
Sedangkan ayam lahi-bini Adisebut Aayam suami-isteri@ (Ypes 1932:171). ADe¬¬ngan menyebutnya ayam suami-isteri, referensi adalah pernikahan perdana. A¬yam suami-isteri dipersembahkan kepada Sang Kudus untuk diperbaharui, dite¬guh¬kan, dan dikuduskan, lewat pengembaliannya kepada kemurnian status muasal aslinya@ (Sinaga 1981:165). Maka perlambangan Aayam suami-isteri@ menunjuk kepada numen lembaga pernikahan. Dalam konteks Mangase Taon, kesuburan lem¬baga per¬nikahan ini kembali dibaktikan kepada Tuhan, supaya dicipta-ulang kepada status kudus pernikahan pada masa keemasan Paradis.
Parsanti Paung. Sepasang suami isteri didandani sebagai penyandang kepa¬mongan, berwibawa sebagai raja. Pertanda khusus adalah pembawa paung hao¬masan (payung kerajaan keemasan). Mitologi menghubungkan horbo bius dengan Apayung kerajaan@: AKerbau bertanduk bulat, berpusar¬an empat, payung kerajaan dari sang Ràja, dan jantan dari Banùa Tò¬nga, yang gairah membajak di huma bu¬kit.@ Dalam kerangka mangalahat horbobius, yakni untuk mencipta bumi baru berkelengkapan kesejahteraan, kepamongan dan segala wewenang pemerintahan adalah tujuannya yang hakiki. Si Singa Mangaraja adalah tumpuan kepenuhannya: AA… Pangahitan di sa¬¬ngap, pangahutan di badia; sihorus na gurgur, siambai na longa. Par¬¬adat sijujung ni ninggor, par¬u¬hum sitingkos ni ari; sipalua na tarbeang, sitanggali na tartali … ¬¬Sirungrungi na dapot bubu, sitanggali na dapot doton; dirimbas do na ge¬duk, parninggala sibola tali; marsolup siopat bale, parmasan sisampulu dua, pargan¬tang tarajuan; parhatian na so ra muba; pangiringiring na so jadi lupa; partomutomu na so jadi am¬bat¬on. Parindahan ragia na so jadi mago; parsangsing ni onan na so jadi muba….@ (Tampubolon 2002:I:290-291). Dalam kekristenan, Yesus Kristus adalah ahliwaris kerajaan Daud, untuk membentuk Gereja sebagai Kerajaan Keselamatan.
Parhara-Parangan (barisan serdadu). Umumnya dari kalangan muda, tetapi juga dari kalangan dewasa, tanpa perempuan, dipersiapkan sekumpulan parhara-parangan, sekitar 7 orang yang berkelengkapan Asenjata.@ Dipimpin oleh pangulubalang, penyandang lembing utama, seluruhnya tiga orang bersenjatakan lembing. Lainnya menyandang parang dan lembing sanggar, Antistiria arguens, tolong, Saccharum spontaneum, katapel, sior (pa¬nah), batu-batu bebas memilih persenjataan, termasuk senapan angin dipersiapkan untuk berperang (lih. Loeb 1935:92). Menjadi kurir dari pangulubalang adalah paronjaponjap (penenang).
Makna perlambangan ialah pasukan penusuk Naga Padoha, yang pada awal-mula dilakukan oleh Si Boru Deang Parujar. Bila nanti pangulubalang menikam horbobius, maka itu berarti juga menikam Naga Padoha (Ypes 1932:182).
Fungsionaris Khusus. Kelengkapan horja Mangalahat Horbo Bius mem¬per¬syratkan fungsionaris-fungsionaris khusus. Tidak hendak menghadirkan semua¬nya, di sini hendak ditampilkan:
Datu Parjuguk (Datu Duduk) atau Malim Parjuguk (Imam Duduk), kendati di sini ia berdiri. Di¬dan¬dani lebih anggun, sebagai imam a¬gung (Sinaga 2007:125), terlihat bahwa usianya belia, sekitar 16 tahun, untuk mem¬persyaratkan kemurnian dan keperawanan. ADàtu Parjùguk adalah representasi dan konfigurasi dari Si Ràja Indaìnda, atau salah seorang imam kayangan … Ia harus perawan … mirip dengan usia mu¬da horbobìus, ia harus berumur sekian sehingga dipastikan belum pernah ber¬komit¬men atau bersanggama dengan lawan jenis … dipingit dan >dikan¬dang¬kan: “Berlapik ti¬kar tu¬¬juh la¬pis, ber¬ban¬tal¬ se¬ting¬gi ma¬¬nu¬si¬a” (Sinaga 2007:110-111).
Datu Parmangmang (Imam Pelaksana). Berbusana Aimam@ lengkap, namun le¬bih sederhana dari busana Malim Parjuguk, Datu Parmangmang menyandang tongkat Tunggal Panaluan. APada perayaan tertinggi, Mangàse Tàon, Perayaan A¬gung Tahun Baru, se¬ba¬gai pe¬mujaan Mulajàdi Nabòlon, selalu tersedia dua o¬rang imam: Dàtu Par¬màng¬mang dan Dàtu Parjùguk.29 Pada kenyataannya, semua pekerjaan ritual dan doa pada upacara a¬¬¬gung itu dilakukan oleh Dàtu Parmàngmang, yang dalam pesta Ma¬ngà¬se Tàon di Sihotang 1938, dilakukan oleh Dàtu Sojuàngon. Dan, sesuai na¬ma¬nya, Dàtu Parjùguk hanya duduk saja. Kendati secara busana dan kehormatan yang diberi¬kan, Dàtu Parjùguk rupanya lebih tinggi martabatnya. Dàtu Par¬màng¬¬mang se¬lalu permisi kepadanya dalam hal mela¬kukan ritus yang penting. Hak ve¬tonya ru¬panya sudah sepatutnya, sebab se¬lama tidak dipakai un¬tuk ritus, tong¬kat ma¬gis, tùnggal panalùan,¬30 selalu di¬tancapkan di sampingnya … Dବ¬tu Parjùguk adalah imam agung dan sele¬bran utama dari upacara Mangàse Tà¬on, yang sedang berlangsung. ¬¬¬Dan Dàtu Par¬¬màng¬mang sejatinya adalah asis¬ten¬nya@31 (Sinaga 2007:107-108).
Parsidung. Parsidung adalah kepala seluruh Horja Mangalahat Horbobius. Ialah pemilik rumah pusat upacara Mangase Taon. AKe¬tampanan tempat ini adalah bahwa dialah >pusat dunia.= Segala kejadian yang penting un¬tuk Hòrja Rèa Mangàse Tàon berpusat pada rumah ini. Kelak, di sa¬na¬lah, se¬be¬lum di korbanknan, horbobìus dipingit (dikandangkan di bàra), sesu¬dah pem¬bak¬tiannya di salah satu mata air. Dari sana pula mata korban ini diarak ke bo¬ròt¬¬an di pangasèan (Sinaga 2007:114). Parsidung biasanya dijabat oleh >kepala huta.= Pemilik rumah yang >tampan,= posisinya juga berpadanan dengan fungsinya sebagai pamong pengawasan huta, pada pelbagai bidang, seperti adat dan uhum, tata aturan dan norma. Keturunannya berasal dari sipungka huta, raja huta perta¬ma, sehingga berwibawa menetapkan tata rekonsiliasi perselisihan, yang efektif lewat hak waris. Sebagai raja huta, dia berwenang menentukan lapangan, sawah, susunan perumahan, kepemilikan tanah, dsb. (Vergouwen 1933:140).
Panuturi (Penasihat). Terdiri atas beberapa orang, panuturi diangkat dari kalangan parbaringin. Tugas panuturi ialah untuk menasehati, terutama parsidung, tetapi juga Datu Parmangmang, agar Horja Ma¬ngase Taon berlangsung dalam kegenapan rangsa dewata dan kemasyarakatan. AMà¬lim ihùtan adalah untuk bertindak sebagai panutùri, pe¬nasihat dan pendam¬ping ahli, agar semuanya berjalan dengan baik, utuh dan sah. Untuk Mangàse Tàon, kepastian ha¬rus ada bahwa su¬dah terjamin adanya satu atau beberapa orang yang profesio¬nal dan ahli yang te¬per¬caya, untuk diangkat menjadi panutùri sehingga kepenuh¬an dan keab¬sah¬an ritual da¬pat diang¬gap memadai@ (Sinaga 2007:201). Pemimpinnya adalah pande bolon, “sebagai par¬barìngin kepala, dua lainnya masing-ma¬sing mempunyai seorang sùhut ni hù¬ta dan seorang pòllung na bòlon sebagai pimpinan. Di bawah ketiga pemuka ini ber¬ada Ràja lima yang terdiri atas lima o¬rang pula, seorang untuk màrga yang ber¬tindak sebagai pembantu mereka@ (Ver¬gouwen 1986:88).32 Dari kalangan orang-orang seperti itulah diambil kelompok pa¬nuturi, pada setiap Horja Mangase Taon. AHarun dan anak-anaknya harus meme¬gang ja¬¬batan i¬ma¬mat@ (Kel 28:1).
Ritus yang berlaku dalam pangadopon (menghadap horbobius) adalah parsantabian kepada Dewata dan horbobius untuk melaksanakan mangalahat horbobius. Di bawah kepemimpinan parsidung dan datu parmangmang, rombongan dipersiapkan menghadap bara.
Dengan bahasa agak memelas datu parmangmang menyerus Dewata dan horbobius untuk memulai Horja Mangase Taon. Setelah menyampaikan doa, datu parmangmang meminta parhara-parangan menggiring horbobius menuju pancuran. Semua rombongan mengikut dengan ta’zim.
2. Penyucian horbobius
Sesampai pada pancuran desa, horbobius dibiarkan minum terakhir kali (ingat Tuhan Yesus minta minum di salib). Kemudian datu parmangmang mencedok air membasahi dan membersihkan tubuh kerbau. Dengan bahasa pangelekon, kerbau diminta tenang dan bersedia menerima kehendak Dewata dan orang banyak. Namanya disebut sisemet imbulu, menandakan berperilaku halus dan jinak. Syukur kalau kerbau jinak-jinak saja.
Kemudian datu parmangmang menembangkan doa pembaktian. Sayang kita tidak memiliki contoh. Isinya adalah parsantabian kepada Dewata untuk merestui pelaksanaan mangalahat. Juga atas nama seluruh bani dan alam semesta, dimohon kepada Dewata agar upacara berlangsung dengan baik, dijauhkan dari kendala, dan agar buah-hasilnya, yakni penciptaan tahun baru yang limpah dan sejahtera terjadi dengan bertuah.
Sembari gondang dalan membunyikan uninguningan, sang datu parmangmang memburat seluruh tubuh kerbau dengan itak, mula-mula itak na bontar, kemudian na nihunikan. Berikutlah pengenaan lambe (janur) ke punggung kerbau, sambil diikatkan pada tubuh lewat daunnya.
Setelah segalanya selesai, sang datu parmangmang berseru: Horas! Purba, anggoni; maduma jala manuhori!
3. Pengarakan horbobius
Bersandangkan lambe, kerbau diarak oleh seluruh rombongan menuju borotan. Seluruh bani pengurban sekeliling borotan bersorak-sorai menyambut mata kurban dan fungsionarisnya.
Rajaraja bius berbaris mengelilingi borotan untuk menyambut rombongan mata kurban. Dihantar oleh alunan gondang (dari pantar pargonsi) mereka manortorhon gondang malim Si Raja Indainda.
Perlahan-lahan dan teratur, rombongan mata kurban memasuki pangasean. Secara teratur masing-masing menuju tempat dan fungsi yang sudah ditentukan. Datu parjuguk langsung menuju lage sipitu lampis yang sudah dipersiapkan, dan langsung bersila bermeditasi. Ia juga memegang pustaha pribadi. Semua dan masing-masing sijujung santi menuju tempat yang sudah dipersiapkan dalam barisan yang teratur.
Hanya horbobius, parhara-parangan, datu parmangmang, parparpangiron, pardaupa, parbaringin panuturi dan parsidung maju menggiring kerbau menuju borotan.
Mereka mangaliathon horbobius tujuh kali dalam alunan tortor raja bius. Kemudian horbobius ditambatkan ke borotan. Mulailah alunan tonggo pasahathon (prefasi pengurbanan) dari datu parmangmang (oleh uskup).
Pada akhir tonggo pasahathon, pargonsi menalu gondang, dan rajaraja bius manortor pelean Debata.
Dalam alunan tortor pelan Debata, datu parmangmang mereciki kerbau tanda penyucian dan pembaktian. Kemudian ia mendupainya.
4. Pengurbanan Horbobius
Pangulubalang dan rombongannya tampil ke depan dan mengambil posisi sekeliling horbobius. Rajaraja bius mengambil posisi melebar. Sedangkan fungsionaris lain mundur ke tempat masing-masing yang sudah disediakan. Parsidung mengambail tempat di depan para parsanti.
Pangulubalang mengambil sikap doa untuk meminta restu dari Dewata. Kemudian ia, bersama pasukannya, bangkit dan menari dalam ritme gondang yang sesuai. Panglubalang mengutus paronjaponjap, dengan membawa tombaknya (pangulubalang), bertanya kepada parsidung, apakah sudah saatnya menombak kurban. Parsidung menjawab: “Ya.” Maka pangulubalang, setelah menerima tombak itu kembali, menikam kerbau. Bila gagal, kedua pendampingnya melakukan penikaman. Akhirnya, kerbau pun rebah. Orang memperhatikan ke arah mana kerbau rebah. Omen yang favorabel ialah bila ia rebah ke kanan (peruntungan). Semua bani bersorak-sorai.
Inilah pengurbanan tertinggi dari Batak. Seluruh alam semesta, dengan berpusat pada manusia, dikurbankan kepada sang Penjadi, Mulajadi Nabolon, dalam pusat perlambangan semesta, yakni horbobius. Secara simbolis, artinya realistis, seluruh alam semesta dikembalikan, dibaktikan dan dipersembahkan kepada Sang Khalik, Mulajadi Nabolon.
Dalam konteks kristiani, horbobius merupakan ‘persiapan injili’ bagi Kristus. Horbobius dapat dibandingkan dengan Anak Domba Allah, yang menghapus dosa dunia. Di situ, kekristenan mencatat sublimasi yang tertinggi. Mata kurban, bukan lagi ‘binatang,’ melainkan Manusia Yesus Kristus. Hakekat Yesus Kristus berkodrat dua, yakni Allah dan manusia. Kenyataan ini, bersama dengan kebangkitan Tuhan, adalah sublimasi kekristenan di atas segala agama. Inilah “Evangelion,” artinya warta yang menjadi berita sukacita bagi manusia. Ini tertinggi dalam pengampunan dosa, pengharapan hidup kekal dan kebangkitan dari maut, yang menjadi ‘keputusasaan’ segala agama.
Batak pun telah diberi ‘persiapan injili’ dalam menyediakan kurban manusia. Memang bukan putera Allah.
Ada manusia Mahu, yang dengan persetujuan orang banyak, dan dengan persetujuan diri Mahu sendiri, disepakati untuk dikurbankan, “untuk menghapus dosa manusia.” Persetujuan ini diambil dengan resmi dalam rapat partungkoan, dan resmi ditetapkan sebagai kurban, dengan seruan ”Hu!” Maka orangnya disebut “mahu,” “yang telah dihukan” dan yang memang “mau” (bersedia).
“Mengenai format pelaksanaan pengurbanan manusia, terdapat tiga bentuk¬nya. Pertama adalah dengan menyiksa, sering sampai mati. Mula-mula dia dilu¬dahi, di¬¬lempari dengan lambang-lambang keberdosaan manusia, dengan ludah a¬tau ko¬tor¬an manusia, lantas disiksa dengan cambuk atau pentungan atau dilem¬pari de¬¬ngan batu. Biasanya penyiksaan ini, sering ditambatkan pada pohon, ber¬akhir de¬ngan ke¬matian. Ini mirip dengan penyaliban Yesus Kristus pada kayu ke¬hi¬dup¬an sa¬lib.
Ben¬tuk kedua ialah menggiringnya bersama dengan kerbau korban horbo¬bìus. O¬rang meludahinya dan melemparkan lambang keberdosaan manusia kepa¬danya, ter¬kadang dengan menderanya, sebagai bagian dari hòrbo manga¬lòt¬lot (ker¬bau pengejar, pada perang-perangan kudus). Tetapi setelah horbobìus di¬tam¬batkan pa¬da boròtan (pohon kehidupan), maka korban Màhu dibiarkan pergi me¬lanjutkan hidup. Bila ia kembali ke puaknya, sering dia berganti nama, diang¬gap hi¬dup kem¬bali dari kematian.
Bentuk ketiga ialah dengan menyum¬pah¬inya, melu¬dahinya, me¬nyatakan bahwa dia harus mati memikul segala dosa dan pe¬lang¬garan manusia. Lantas ia dihantar ke hutan atau dibiarkan pergi untuk melan¬jutkan hidup. Dia juga sering berubah nama, untuk menandakan bahwa dia bang¬kit menjadi ma¬nusia baru.
Selain dari bertujuan demi Akeselamatan orang banyak@, ternyata imperatif pe¬ngurbanan màhu mempunyai kaitan dengan pelbagai dimensi. Erat hubungan¬nya de¬ngan penciptaan dunia in ìllo tèmpore. Untuk menjinakkan dan menak¬luk¬¬kan Nàga Padòha – Si Ular Tua, penguasa Banùa Tòru, Iblis Batak, yang se¬lalu meng¬ga¬galkan dan menghancurkan cikal Banùa Tònga – Si Bòru Dèang Par¬¬ùjar mem¬butuhkan menusuknya dengan pedang sampai ke gagang. Maka di sini, per¬ten¬tang¬¬an dasariah adalah hegemoni Sang Kudus, Prinsip Baik, Mu¬lajàdi Na¬bòlon, dengan Prinsip Jahat, Nàga Padòha. Manusia berada dalam Prin¬¬sip Ba¬ik. Dan agar kuasa Prinsip Jahat dapat dijinakkan, maka pihak Baik, le¬wat manu¬sia, harus meng¬alami pengorbanan nyawa” (Sinaga 2007:250).
5. Penyampaian
Alunan gondang yang riuh waktu penombakan horbobius perlahan-lahan menyurut.
Rajaraja bius secara teratur dan perlahan menyurut ke tempat semula. Demikian juga pangulubalang dan pasukannya, menyisi dari binatang kurban. Binatang kurban ditinggal sendirian pada borotan. Gondang akhirnya hening. Suasana keheninganlah yang akhirnya mencekam cukup lama. Inilah puncak pengurbanan dan puncak liturgi Batak (keheningan). Dihayati, waktu itulah Mulajadi Nabolon dan Dewata menyambut kurban alam semesta. Orang memperhatikan apakah ada burung yang melayang-layang di sekitar pengurbanan, sebagai lambang kehadiran Dewata menyambut kurban.
Malim Parmangmang
– Borhat ma Malim Parjuguk niudurhon ni Malim Pananti Pardaupa¬on pasahathon parhushuson habadiaon. (Borhat laos didaupai).
Malim Parmangmang
– Ale Debata Sipargomgom, jangkon ma pelean pardaupaon, asa mar¬a¬sap-mardaupa, marsangap-marmulia, pelean ni bangsom tu a¬dop¬anmu.
– Borhat ma malim pananti pinggan pasu, pananti pustaha laklak, pananti osang ni Babi Silimbat dohot Horbobius, asa dipasahat ha¬gogok ni peleanna.
Malim Parmangmang
– Ale Debata Mulajadi Nabolon, jangkon ma pelean pinggan pasu par¬sau¬lian, pustaha laklak parbinotoan habisukon, dohot osang ni Babi Si¬limbat dohot Horbobius.
– Sai dapotan tua-parsaulian ma nasida, marjambar di habisukon do¬hot parbinotoan, songon naung jinalo nasida di taon naung salpu.
Malim Parmangmang
– Borhat ma sijujung Hudon Boruboru, Parpaung Harajaon, Manuk Lahi-bini dohot Par¬sa¬lapa, niihuthon ni pananti Bonang Humpalan.
Malim Parmangmang
– Ale Debata na sun basa jala Sipanompa. Jangkon ma jagat ni Pulo Morsa, impola ni nasa na ti¬nompa. ¬¬Dohot impola pargomgomon¬-ha¬¬ra¬jaon, rap dohot Manuk Lahi-bini, bohi ni pardongansaripeon, angkup ni Bonang Humpalan, bauan pangarahut ni situmadong Asa martua ma jolma manisia hot di pangarahutna jala mardame di ha¬bisukonna. ¬
– Sai martua ma bangsom on di na manjujung baringinna, nirahutan ni Adat, jala dirompa nasa Uhumna.
Malim Parmangmang (di tingki halehetanna)
– Amang panggual-pargonsi! Marbona do nauli, harhasahatan do na deng¬gan.
– Mareak hasahatanna ma Ulaon Rea Mangalah Horbobius saonari. Ala ni i, ba¬hen Damang ma Gondang Sitiotio mangihut Gondang Hasa¬hat¬¬anna. Asa tiur dalan boluson, tio aek dapoton; marhasahatan di na tiur jala marhatuaon ma dingolunta.
(Manortor ma parhalado pelean ni Horbobius. Natorop pe dohot do manortor. Di ujungna, dihorashon ma tolu hali).
Dung i mulak tu inganan¬na.
Disusul: Nyanyian Gereja AMANG PARDENGGAN BASA.
Panimpuli
Pada Horja Bius tradisional, sesudah Gondang Horas-Horas-Horas, seluruh bani pulang ke kampong masing-masing. Diberikan kesempatan kepada Dewata untuk menyambut ‘uap-hakekat’ dari kurban. Binatang kurban, tak dijamah, dijagai oleh parhara-parangan, bersama Parsidung.
Besoknya, seluruh bani, bersama dengan rajaraja bius, kembali ke pangasean untuk menerima jambar pelean. Waktu itulah, binatang kurban disahei (dipotong-potong) dan setiap bius menerima jambar horbobius. Menjelang tengah hari, horja ini akan selesai.
Dalam anamnese modern, karena kesempitan waktu, langsung sesudah Gondang Horas-Horas-Horas, rajaraja bius, di bawah kepemimpinan raja bius hasuhuton dan parsidung, pembagian ini langsung dilakukan, di tempat tersendiri.
Khalayak meneruskan acara-acara berikut yang menyusul, termasuk makan siang. Secara ‘diam-diam’ jambar horbobius diserahkan kepada pihak/orang bersangkutan. Ini untuk menghemat waktu dan acara tujuan pembangunan Kabupaten Samosir mencapai primadonna pariwisata.
Medan, 20 September 2010
Dr. Anicetus B. Sinaga