Gara-gara Ginjal, Pasca Sarjana Terancam Gagal

Manusia bisa berencana dan berusaha, namun hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi. Senovian yang biasa dipanggil Seno, atau Ian, sudah berada pada tahap  akhir  menyelesaikan perkuliahan Pasca Sarjana Musikologi di Universitas Sumatera Utara, tiba-tiba jatuh sakit. Aawalnya tahun 2010 dia merasakan sulit tidur (insomnia), hipertensi , sering pusing/pening dan muntah-muntah terutama sehabis makan. Konsultasi yang dilakukan ke dokter spesialis di Medan serta hasil pemeriksaan laboratorium dan foto, Seno dinyatakan mengidap penyakit pengecilan ginjal dan harus cuci darah (haemodialisis)Untuk memastikan vonis “gagal ginjal” tersebut, orangtuanya membawa Seno ke Rumah Sakit Advent di Penang, hasilnya Dokter Ahli memutuskan  kedua ginjal Seno hanya berfungsi 20% dan harus segera  cuci darah, karena kiretinen dan ureumnya sudah melewati batas normal. 

Dua tahun lalu persisnya  April 2011, Seno harus cuci darah dua kali seminggu selama lima jam setiap kalinya di sebuah klinik ginjal di Medan. Dia memang tidak menginap di klinik atau di rumah sakit, tetapi tinggal bersama saudaranya kos di Medan, sementara orangtuanya tinggal jauh di Pulau Samosir.  Selama enam bulan pertama selain cuci darah, atas saran dokter lainnya Seno  mengonsumsi obat herbal, sedangkan untuk pengobatan alternatif lain dia tidak berkenan.  Dalam situasi yang demikian, Seno tidak lagi dapat beraktivitas,  baik ke kampus Pasca Sarjana maupun kegiatan bersama teman-temannya di kelompok/grup musik-paduan suara. Kelihatannya dia telah patah semangat, sepanjang hari hanya tinggal di rumah saja. Satu hal yang patut dibanggakan, kendatipun dia mengalami sakit namun sebagai orang Nasrani, Seno selalu berusaha untuk mengikuti kegiatan di Gereja, ibadah, bermain musik atau melatih paduan suara. Menurut Seno, dia telah berjanji dan berkomitmen melalui doa-doanya untuk melayani Tuhan dengan apa yang ada pada dirinya.  

Selama tahun 2011, cukup banyak orang yang memberi perhatian, memberi saran-masukan, dorongan semangat dan mendoakannya; Dosen, komunitas dari Gereja, orangtua bahkan teman-temannya se perobatan di klinik. Semester kedua tahun 2011, kondisi yang dia alami menunjukkan tanda-tanda baik, cuci darah dia lakukan menjadi sekali seminggu, hingga  tahun 2012 berubah menjadi sekali dua minggu. 


Menurut orangtuanya, Seno adalah anak kedua dari 5 (lima) bersaudara, adiknya satu orang laki-laki dan dua perempuan, Dia dan tiga orang kakak/adiknya sudah menyelesaikan study Sarjana dan sudah mendapat pekerjaan, satu orang adiknya yang bungsu masih kuliah di Perguruan Tinggi Swasta. Ditilik dari latar belakang keluarga, tidak pernah ada yang mengidap penyakit ginjal, bahkan sejak masa kanak-kanak dia jarang sakit.  Sekarang dia berusia 30 tahun, nama yang diberi orangtuanya bersesuaian dengan tanggal bulan kelahirannya, nama lengkapnya Senovian Martupa Parasian  lahir tgl. 1 November 1983 di Pulau Samosir.   Sejak kecil dia memang pendiam, bicara seperlunya, serius melakukan sesuatu kegiatan dan sangat menjaga hubungan dengan orang lain, dia tidak mau menyakiti dan membebani orang lain, termasuk orangtua dan saudaranya. 

Orangtuanya yang tinggal di pulau Samosir, sudah pasti mengalami kesusahan dan kesedihan atas kondisi yang dihadapi anaknya Senovian. Ibunya pensiunan guru, Ayahnya pegawai Kantor Pemerintah (akan pensiun bulan September 2013) sangat terpukul dengan kondisi Seno yang harus cuci darah dan berhenti  kuliah,  terutama menyangkut biaya yang cukup besar. Menurut orangtuanya, mereka harus menyediakan biaya kurang lebih 10 juta rupiah setiap bulan. Walaupun orangtuanya Pegawai Negeri, namun Seno tidak lagi mendapat santunan biaya melalui Asuransi Kesehatan (Askes) karena dia sudah melewati batas umur. Saat ini orangtuanya masih mencari dukungan-bantuan sumber dana terutama dari program Pemerintah yakni Jamkesmas atau Jamkesda. Orangtuanya memang tidak terlalu mempersoalkan besarnya biaya pengobatan,  apa yang mereka miliki mereka gunakan buat Seno. Mereka berusaha untuk mencari sumber biaya yang semakin menipis, dengan satu tujuan agar anaknya Senovian dapat sembuh dengan pengobatan medis dan mujizat Tuhan. Memang banyak yang menyarankan agar Seno mendapat transplantasi ginjal, namun mereka dihadapkan pada masalah biaya yang cukup besar dan tingkat kesesuaian dan keberhasilan pengobatan.
Memasuki tahun 2013 setelah kondisinya dianggap sudah semakin baik, Seno berusaha bangkit dan berkeinginan untuk menyelesaikan pendidikan di Pasca Sarjana USU yang telah ditinggalkannya selama lebih dari dua tahun  karena sakit. Mempertimbangkan kemampuan orangtua, besarnya biaya perobatan yang sudah dan akan dikeluarkan, Seno berupaya menghubungi pihak Universitas dengan mengajukan permohonan tertulis untuk mendapat dispensasi terutama masalah biaya perkuliahan. Menurut perhitungan kampusnya, biaya yang harus dibayar lebih dari 30 juta rupiah ditambah 6 juta uang kuliah semester ganjil tahun 2013. 

Melalui jalur dan prosedur yang berlaku permohonan disampaikan ke Fakultas hingga Rektorat. Hasilnya minggu lalu, Seno mendapat informasi bahwa permohonannya ditolak. Jika Seno ingin menyelesaikan study harus membayar seluruh biaya tersebut, dan melanjutkan penelitian dalam rangka penyusunan kertas kerja (thesis). Informasi ini menjadi beban pikirannya dan dia sampaikan pada orangtua, Dia katakan,“Mendingan memulai yang baru karena biaya dibawah tigapuluh juta”.  Bahkan Seno berencana untuk membuat surat pengunduran diri dan menyampaikannya ke media massa. Orangtuanya mencoba memberi pemahaman untuk menempuh cara lain, melalui Dosen atau koleganya, minimal biaya yang harus dibayar tidak sebanyak yang dimintakan pihak Universitas. Dia menggerutu, “Saya bermohon dispensasi karena sakit, bukan karena alasan lain; sia-sia rasanya saya memberi pengabdian melalui Paduan Suara Mahasiswa dan kegiatan Fakultas”   Memang, Senovian sejak menjadi  Mahasiswa di Fakultas Sastra jurusan Etnomusikologi hingga lulus menjadi Sarjana Seni (S.Sn), selalu aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan termasuk dalam Paduan Suara Mahasiswa (PSM) yang mengisi acara ketika Acara Wisuda Universitas. Yang terakhir, walaupun Senovian sakit dan harus cuci darah, dia tetap mengabdi di Almamaternya, bersama para Dosen memimpin rombongan mengikuti Pesta Paduan Suara Mahasiswa di Ambon. Dia tetap semangat dan komit,  kendatipun dia harus cuci darah di Ambon. Waktu itu mereka menyabet juara satu di sembilan kategori pertandingan.
Ditolaknya permohonan dispensasi tersebut ternyata menjadi beban mental bagi Seno bahkan berdampak pada jalannya pengobatan cuci darah. Minggu lalu 9 April, Seno tiba-tiba harus ke klinik untuk cuci darah dengan kondisi tubuh yang lemah, badan membengkak (katanya terlalu banyak minum akibat cuaca Medan yang panas) dan diawal proses cuci darah dia mengalami ketegangan (kejang-kejang) hingga tidak sadarkan diri, mengigau, tensi darah naik.  Kondisinya yang demikian tentu menimbulkan kepanikan pada orangtuanya di kampung, terutama adiknya yang mendampingi, namun dengan penanganan Dokter, proses cuci darah dapat terselesaikan dengan baik (proses cuci darah membutuhkan waktu 5 jam).  

Dari perbincangan dengan Seno, diperoleh kesimpulan sementara, ternyata beban mental yang dialami oleh seorang yang sakit akan sangat berpengaruh terhadap perobatan. Beban pikiran dan mental atas informasi penolakan pihak Rektorat terhadap permohonannya menjadi sangat berat. Sudah jatuh ditimpa tangga pula, mungkin itulah yang dialami kandidat Magister Musik ini. 

Program Pemerintah untuk meningkatkan kwalitas sumber daya manusia melalui Sektor Pendidikan dan Kesehatan sudah berjalan, bahkan untuk Sektor Pendidikan telah ditetapkan beban APBN setiap tahunnya sebesar 20 persen. Betapapun bagusnya program yang ditetapkan, betapapun biaya yang dikeluarkan cukup besar, namun keberhasilan program tergantung pada Manusia pengelolanya. Manusia yang berpendidikan, memiliki perhatian, manusiawi dan berjiwa sosial adalah orang-orang yang dibutuhkan membangun bangsa dan negara menuju masyarakat sejahtera. Jika tidak demikian, maka hanya orang-orang mampu-kaya yang akan mengecap pendidikan.

“Pak/Bu, haruskah aku mundur dari pendidikan ini? Tidak…aku tidak mau kalah, aku harus selesaikan tugasku, pengabdianku dibidang seni budaya harus terwujud. Tuhan, tolong aku dengan mujizatMu agar aku sembuh dan bisa melayani sesama dan melayaniMu”. Itulah ucapan Seno yang sering keluar dari mulutnya ketika bertemu dengan orangtuanya dan dalam doanya setiap hari.     


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *