Pemilu Legislatif 2014 untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk di kursi DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota memasuki babak persiapan dengan pengajuan Daftar Calon Sementera (DCS) bakal calon (balon) legislatif dari 12 partai peserta Pemilu yang lolos verifikasi KPU. Partai Politik kini mulai bekerja keras menebar pesona, mengumbar janji untuk mendapatkan suara rakyat yang lebih besar.
Tidak jauh beda dengan pemilu legislatif sebelumnya, partai politik melakukan sosialisasi dan promosi dengan cara dan gaya masing-masing, bahkan ada juga yang menempuh cara “berdagang” politik. Sosialisasi dan promosi merupakan hal penting yang harus dilakukan partai politik untuk mendekatkan diri ke hati masyarakat, supaya dikenal dan dipilih dalam pemilu legislatif mendatang. Biaya besar yang dikeluarkan seorang caleg akan mempengaruhi sikap dan perilakunya setelah duduk di lembaga legislatif sebagai wakil rakyat yang terhormat. Boleh jadi partai dan wakilnya lebih mementingkan diri sendiri dan mengesampingkan kepentingan masyarakat banyak. Wakil rakyat, pilihan rakyat (tidak lagi) mewakili rakyat?.
Butuh Biaya Besar
Tidak dapat dipungkiri, tidak satupun organisasi di dunia ini yang tidak menyediakan anggaran atau dana untuk sosialisasi dan promosi bila ingin dikenal masyarakat. Demikian juga halnya organisasi sosial politik/partai politik, pengurus partai dan anggotanya yang mendaftar menjadi bakal calon legislatif harus menyediakan dana yang cukup besar. Seperti halnya pada Pemilu 2008, menjelang Pemilu 2014 ini, di Jakarta dan Ibukota Provinsi, pengurus pusat partai menawarkan “kursi empuk” wakil rakyat kepada artis, mantan pejabat, pengusaha sukses. Mereka yang dianggap public figur dan memilik capital yang cukup besar, diharapkan dapat menuai banyak suara (vote getter) akan mengusung partai menjadi pemenang dan lebih berkuasa.
Belakangan ini, sosialisasi dan promosi mulai gencar dilakukan ketua parpol dan kader parpol, mendahului masa kampanye yang ditetapkan. Mereka mulai rajin turun ke masyarakat bawah/daerah, mengumbar janji politik, ‘menjual’ program, memberi bantuan sosial dari uang partai atau uang rakyat, melakukan kegiatan sosial seperti bakti kesehatan, pengobatan gratis, bantuan gotong royong, pelatihan/kursus kader Partai. Kita dapat melihat dan mendengar berita Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Ketua Umum DPP Partai Gerindra, sudah mulai bersosialisasi melalui televisi dan media cetak; mengunjungi petani, nelayan, kaum marginal lainnya; menemui kadernya di daerah dengan berbagai janji politik. Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri melakukan hal yang sama. Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum melakukan dan menghadiri pelantikan pengurus partai sampai ke tingkat ranting. Yang pasti, kegiatan sosialisasi dan promosi membutuhkan biaya yang sangat besar.
Bagi seorang kader partai atau siapa saja yang berkehendak menjadi caleg. Untuk menggapai status terhormat sebagai wakil rakyat, di era demokrasi kini sudah pasti harus menyediakan dana yang cukup besar. Di awal bergulirnya orde reformasi, setiap orang berhak dan bebas untuk mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Tidak pandang bulu, tidak memandang status ketohohannya di masyarakat, tidak juga melihat latar belakang pendidikannya, yang penting punya modal uang banyak. Untuk tingkat Daerah (Kabupaten/Kota) misalnya, seorang bakal caleg harus memiliki dana berkisar antara 500 juta s/d 2 milyar rupiah, tidak soal dari mana sumber uang tersebut.
Untuk apa dana sebanyak itu? Biaya pendaftaran dan setoran wajib agar diterima sebagai calon partai dan menentukan kedudukan (nomor urut) dalam daftar calon; biaya penjaringan, biaya sosialisasi, promosi dan kampanye partai. Buat pribadi caleg, setiap calon juga menyediakan anggaran untuk operasional tim sukses dan saksi; sosialisasi dan perkenalan kepada masyarakat; pencetakan kartu nama, spanduk, baliho, pakaian untuk dibagi-bagi, pemberian bantuan sosial buat warga di daerah pemilihan, promosi melalui media cetak, termasuk dana cadangan khusus untuk “membeli” suara rakyat dan “serangan fajar” (dikenal dengan istilah money politic).
Jika Suara Rakyat Sudah Dibeli, Wakil Rakyat Tidak Perduli.
Adalah suatu hal yang wajar dan kodrati bila seseorang bercita-cita dan berupaya memperoleh hidup yang layak, sejahtera dan terhormat. Menjadi wakil rakyat dan duduk di lembaga legislatif memang sesuatu yang “menjanjikan”. Harkat menjadi “yang terhormat” di dalam dan di luar lembaga, kedudukan sebagai Pejabat dianggap setingkat dengan Kepala Daerah, fasilitas kenderaan dinas tersedia, status sosial ekonomi meningkat, pendapatan melebihi gaji Pegawai Negeri yang telah mengabdi puluhan tahun, memiliki “power” atas anggaran belanja (uang rakyat) dan sumber daya aparatur, bahkan menganggap diri “lebih tahu, lebih pintar” dari mereka yang berpendidikan dan pengalaman kerja.
Membayangkan betapa hebatnya kedudukan sebagai wakil rakyat, maka ambisi orang-orang yang punya duit untuk turut berjuang mendapatkan suara rakyat agar memilihnya tidak mungkin dapat dibendung atau dihambat. Segala macam persyaratan yang ditetapkan dalam pencalonan legislatif sudah pasti ditempuhnya. Komitmen dan janji-janji, kemampuan, kredibilitas, ilmu pengetahuan, bisa dinomor-duakan, toh nanti setelah duduk di lembaga boleh dipelajari alias belajar di dalam lembaga; yang paling penting sekarang adalah bagaimana agar mendapat suara terbanyak sehingga terpilih menjadi wakil rakyat.
Machiavelli, ahli ilmu politik praktis berpendapat bahwa berpolitik adalah mencari kekuasaan. Untuk memperoleh kekuasaan, manusia menempuh berbagai cara (menghalalkan segala cara). Kondisi pendidikan, pengetahuan, pemahaman dan tingkat kedewasaan masyarakat kita di negeri ini dalam kehidupan (ber)politik masih sangat rendah. Partisipasi politik masyarakat masih sangat kecil. Hal ini terjadi disebabkan, disatu sisi
masyarakat masih miskin, masih banyak yang hidup pas-pasan terutama di daerah pedesaan, mereka lebih utamakan mencari uang untuk membiayai hidup sehari-hari; masyarakat seperti ini menjadi sasaran empuk bagi mereka yang punya uang banyak.
Dilain sisi partai politik atau lembaga politik sangat jarang bahkan nyaris tidak pernah melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Jikapun dilakukan hanya sebatas lingkup pengurus, kader organisasi; menjelang Pemerintah menggelar Pemilihan Umum seperti sekarang ini. Dampak situasi yang demikian terlihat dari rendahnya kehadiran masyarakat dalam pemilihan umum, baik Pilkada, Pilcaleg maupun Pilpres. Diperoleh informasi rata-rata tingkat ketidakhadiran pemilih sebesar 40 s/d 60 persen.
Banyaknya partai politik dan caleg yang menjadi peserta Pemilu, memaksa partai dan masing-masing caleg berlomba merebut suara rakyat dengan berbagai metode. Program dan janji akan melakukan perubahan dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara; bantuan sosial yang sifatnya umum, menggelar kegiatan gotong-royong, nampaknya tidak lagi populer dan diminati masyarakat, terutama bagi rakyat yang sudah berulang kali mengikuti Pemilu. Cara yang paling jitu dan instan yang sudah dianggap halal dalam perpolitikan yakni politik uang (money politic). Caleg membagi-bagi uang tunai atau memberikan barang kepada pemilih, menjadi ikatan buat pemilih untuk hadir dan memilih caleg yang bersangkutan. Sekarang ini pemilih sudah lihai, mereka menerima uang dari siapa saja yang menawarkan; mereka menganggap uang itu adalah uang rakyat, tidak ada orang yang menolak pemberian, nantinya ketika pemilihan berlangsung mereka akan menunggu caleg yang memberi tawaran yang paling tinggi atau tambahan uang. Menjelang hari H pemilihan, si caleg sudah menyediakan uang tambahan dan membagi-bagikan kepada pemilih melalui tim sukses dalam “serangan fajar atau rezeki subuh”
Tidak ada yang dapat disalahkan dalam upaya menggaet suara rakyat seperti ini. Disadari atau tidak, politik uang akan merusak pendidikan politik dan budaya politik masyarakat. Masyarakat pemilih butuh uang untuk kehidupan keluarga. Mumpung ada uang “pengikat janji”, hanya butuh kehadiran dan memilih caleg yang memberi uang lebih besar. Sang caleg membutuhkan suara-hak pilih yang dapat “dibayar tunai”. Akibatnya, caleg yang telah terpilih dan duduk di kursi “wakil rakyat yang terhormat” akan mendahulukan kepentingan pribadinya dan tidak peduli dengan aspirasi dan kebutuhan rakyat.
Bagaimanapun juga, rakyat tidak dapat lagi menuntut hak dan menyampaikan aspirasi, kebutuhannya kepada caleg/wakil rakyat. Rakyat tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka telah “menjual” suara/haknya kepada caleg, sementara caleg yang sudah menjadi wakil rakyat telah “membeli/membayar tunai”. Maka wajarlah bila si wakil rakyat akan lebih mendahulukan kepentingan pribadi dan keluarganya. Dia tidak mau rugi, dengan modal status dan kekuasaan yang dimilikinya dia akan berupaya untuk “mengembalikan” uang yang telah dikeluarkan sejak pencalonan hingga duduk di kursi legislatif. Dengan menghalalkan segala cara akan dilakukan untuk memperbesar jumlah harta dan stok modal dalam pemilihan umum berikutnya.
Dalam situasi yang demikian, partai politik sebagai artikulasi kepentingan rakyat banyak melalui kadernya di lembaga perwakilan rakyat seyogianya akan bertindak sebagai wakil rakyat, yang menampung dan menyuarakan aspirasi masyarakat. Kenyataaannya yang terjadi, wakil rakyat dalam aktivitas sehari-hari kelihatan mereka menjadi penguasa atas hak rakyat dan lebih memperhatikan kepentingan diri dan kelompoknya.
Janji di masa sosialisasi dan kampanye hanyalah menjadi pemanis mulut, bantuan sosial dan bakti sosial di masyarakat bawah dianggap cukup menjadi tali pengikat hati hanya sebatas masa, program yang disampaikan sebatas kata yang tak perlu diwujudnyata. Jika demikian halnya masihkah perlu dilakukan pemilihan calon legislative ? Mungkinkah orang miskin (tidak punya uang banyak) mencalonkan diri menjadi Anggota Legislatif (wakil rakyat) ?