BIOGRAFI RUMAH
Rumah adalah sarang. Ia bisa serupa Xanadu. Atau sekedar gubuk bambu. Jutaan peristiwa disemai, anak-anak pun lahir. Mimpi hebat direncanakan di dapur rumah kontrakan. Merayakan kebiasaan. Bersama piring kotor, singlet di jemuran, dan angan-angan.
Rumah adalah tubuh. Fantasi tumbuh di rumpun bunga pukul empat. Keranjang sampah yang kosong dan penuh. Tragedi. Ironi. Komedi. Bawah sadar berkelindan, di tembok mimpi dan misteri. Seperti lumut di lantai kamar mandi.
Rumah itu seperti dermaga bagi pelaut. Rumah pohon. Rumah lamin. Karavan. Iglo. Rumah kayu. Rumah batu. Rumah kaca. Sempit. Luas. Sejuk. Lengas. Selalu, di dalamnya ada ruang. Kekosongan yang dibatasi dinding. Dengan pintu yang menyembunyikan ambang. 1001 perkara mengalir bagai udara. Bau dupa menenteramkan. Tempat barang peninggalan disimpan. Kitab tua dibaca perlahan.
Di luar rumah: Langit terbentang. Pohon-pohon tumbuh tak beraturan. Warna hijau. Nyanyian burung. Matahari jingga melayang. Petugas pos. Seekor kucing berlari. Pedagang sayur dan perempuan berbelanja. Bangku taman dan rumput liar. Bau hujan. Sunyi.
Ada suatu ketika orang-orang harus di rumah saja. Setelah menjadi gipsi, memburu nyeri. Terjerumus dalam pusaran hasrat. Babi ngepet kerakusan. Setelah membuat banyak perkara. Bersembunyi di kafe dan loket birokrasi. Moderen, tapi nomaden. Bertikaman di meja keserakahan. Mengembara di penjara utopia. Menyulap mitos jadi berhala.
“Stay at Home!” seru hansip kampung. Tiba-tiba. Seakan meniup sangkakala. “Work From Home!” Suara dan spanduk saling berantuk. Orang-orang mendadak jadi laba-laba. Memasang jaring. Serabut akar ditebas, agar zat hara terbebas. Tanpa gladi resik. Terkesiap. Meratap. Mengirim pesan dalam botol obat dan kecap. Orang-orang mengintai sekarat dari lubang kunci berkarat. Lembar peta dibuka. Seperti sipir penjara yang berdagu codet. Memasang antena. Memeriksa denah. Kau ingat, di manakah letak pintu?
Di luar rumah: Tupai melompat. Penjual ketoprak lewat. Deru sepedamotor. Gugusan awan berarak perlahan. Suara anak memanggil. Desir angin. Sunyi.
Orang-orang kembali ke rumah. Ya. Rumah adalah sinar matahari yang jatuh dari jendela. Bayang-bayang yang berlompatan di lantai. Menari di dinding kamar. Lukisan aneka rupa dari jendela kaca warna. Kehampaan yang bermakna. Seperti baris kosong antara kalimat dalam puisi. Seperti jeda antara nada.
Di dalam rumah, orang-orang membebaskan diri. Tanpa kunci. Menghirup wangi kopi. Memandang sayuran warna-warni. Tomat merah. Terong ungu. Labu kuning. Selada hijau muda. Pesan-pesan melekat di pintu lemari es. Di jendela, bunga aster di botol selai. Bau wangi sabun mandi. Bermain halma, setelah memasak resep baru. Dari buku yang terlupa dibaca. Membaca cerita dalam setiap benda. Mengenangkan souvenir perjalanan. Mengelus bulu lembut kucing kesayangan. Mengamati gambar pada cangkir keramik, seperti arkeolog yang terpesona..
Di luar rumah: Hutan kota. Kurir ojol mengantar pesanan makanan. Derai daun beterbangan. Musim gugur. Iringan semut di dahan jambu. Teriakan pengantar air mineral. Salak Breno, anjing tetangga. Derak ranting patah. Seorang pengamen bergitar klayapan. Lagunya asal-asalan. Bau plastik terbakar. Truk pengangkut sampah. Sunyi.
Demikianlah. Rumah menjadi ladang untuk menabur benih. Menghargai oksigen. Menghirupnya dalam-dalam, sampai dada terasa penuh. Memanen berkat berlimpah. Mencecap segelas jus jeruk dingin di siang yang terik. Menyimak orkestra titik hujan di atas atap. Mendengarkan suara sahabat baik di telepon, di pojok ruang. Dan menyimpan tawanya dalam pikiran. Membersihkan kaca jendela. Memainkan piano dengan nada adagio. Ringan dan riang. Menarikan lenso atau poco-poco.
Memastikan tak ada ikhwal yang kebetulan.
Rumah adalah petualangan yang murni. Seperti mengikuti sebuah jalan kecil dan menemukan kejutan di ujungnya. Menggali temuan baru. Seperti Cha Cha membuat dorayaki sambil menyimak Sportify. Menyaksikan Sirius dan Orion di langit malam. Gugusan nebula. Memikirkan tempat-tempat terindah untuk dikunjungi. Menikmati Barbra Streisand menyenandungkan The Way We Were. Merenungi kebaikan jamur yang menciptakan roti, cerutu, dan anggur. Membacakan dongeng sebelum tidur, sampai mata anak-anak terkatup diam-diam. Lembut, perlahan. Dan mereka pun berlayar di lautan mimpi. Meninggalkanmu dalam haru.
Rumah ialah ruang yang penuh tanpa apa-apa. Gairah terselubung dengan harapan. Ruang penyembuhan. Doa pagi. Doa sore. Sujud sendirian di tengah malam. Tanpa sangsi. Menyerah pada keheningan. Seakan menangis di Lourdes, Mekah, Yerusalem, atau Benares. Sampai mengantuk dan tertidur. Dipeluk takjub dan syukur.
Di luar rumah: Debu meteorit. Spora mikrokospik. Ebola. Corona. Kantor polisi. Dengung serangga. Sirene ambulans di kejauhan. Rombongan kunang-kunang diantara gerumbul pepohonan. Kelip lampu pesawat terbang malam. Lampu jalan yang pucat kedinginan. Hujan gerimis. Dentang tiang listrik. Sunyi.
Rumah adalah kebahagiaan menulis buku harian. Mengagumi corak kain tenun dari Sikka. Mengunyah perlahan kue bolu yang empuk. Mengamati wajah-wajah lampau di album foto perkawinan. Membuat daftar kebaikan. Memberi hadiah kecil untuk diri sendiri. Air sejuk yang mengalir di tenggorokan. Merasakan gesekan lembut sikat gigi di geraham. Membungkus jiwa ke dalam selimut hangat. Mendengarkan detak jam. Menyimak lagu pengantar tidur yang dinyanyikan ibu. Di dalam kenangan.
Rumah, suatu ketika akan lapuk. Rusak. Rubuh. Atau kau tinggalkan. Karena harus pergi berlayar ke negeri tak dikenal. Menguak rahasia bintang-bintang. Tapi cinta membuatnya tegak dalam kenangan.