SAAT MEDIA ARUS UTAMA BERSALAH
Bebeberapa bulan lalu, ketika teman teman dan tetangga bertanya bagaimana caranya membedakan berita benar dan berita hoaks, dengan mantap saya menjawab, baca media yang kredibel yaitu media artis utama. Lalu saya sebut Kompas – Detik – Tempo online, sebagai contohnya.
Jawaban itu kini tak sepenuhnya benar.
Jika pertanyaan yang sama diulangi, saat ini – saya gamang menjawabnya. Sebab media utama yang saya sebut di atas itu juga sudah terkontaminasi berita hoaks.
Pekan lalu, Dewan Pers, sebagai lembaga independen pemantau media massa nasional, mengumumkan 27 media yang dinyatakan bersalah. Diantaranya media yang divonis ‘bersalah’ ada tercantum ‘Kompas’ dan ‘Tempo’.
Ke 27 media itu sama sama memberitakan “Presiden Jokowi Harus Minta Maaf pada Rakyat Papua”. Padahal dalam amar putusan pengadilan tidak ada pernyataan itu.
Presiden memang dinyatakan bersalah dalam kasus pembatasan internet saat terjadi kerusuhan dan didenda Rp.457 ribu. Tapi pengadilan tidak menghukum Jokowi minta maaf.
Penulisan “Jokowi Harus Minta Maaf” adalah materi tuntutan yang diajukan ke pengadilan. Bukan amar putusan.
Kekompakkan 27 media menimbulkan kecurigaan ada pemasok berita rilis yang tak jelas sumbernya – tapi dianggap kredibel. Lalu dikutip rame rame dan dijadikan judul berita. Targetnya menyudutkan Jokowi. Ada desain besar di belakang ini.
Bagi Ade Armando, dan sejumlah aktifis yang melaporkan media media itu, ini bukan kesalahan teknis pemberitan semata. Tapi kesalahan mendasar, bagaimana media berwibawa dan profesional – begitu mudah digiring oleh pihak lain.
Sebelumnya laman detik dot com juga menayangkan berita keliru seputar kehadiran Jokowi di mall Bekasi dan detik tidak meminta maaf. Berita itu mendorong sentimen negatif kepada Jokowi di media sosial.
Sebagai balasan, pendukung Jokowi melakukan “hukuman” di google playstore, dengan menurunkan bintang di aplikasi detik dot kom, hingga bintang satu. Jadi media klas paria.
Di zaman Orde Baru, media yang meresahkan ditindak oleh Dirjen Pers dan Grafika Departemen Penerangan. Kini netizen mengambil kuasa pemerintah itu.
MASIH percayakah kita pada media arus utama terutama media cetak? Demikian rekan saya, Norman Meoko, menulis di postingan wallnya. Dia adalah ‘editor in chief’ alias pemimpin redaksi “Sinar Harapan” dan dosen di IISIP – kampus pencetak wartawan.
“Siapa yang tak menduga tiba-tiba saja media arus utama kehilangan rohnya, ” Norman Meoko nyatakan keprihatinannya.
Ade Armando, pakar komunikasi, yang melapor ke Dewan Pers, menyebut sebenarnya ada 33 media yang melakukan kesalahan pemberitaan perihal “Jokowi Harus Minta maaf pada Rakyat Papua ” itu. Namun 5 di antaranya tidak dipanggil Dewan Pers karena bukan media yang terverifikasi alias media abal abal.
Artinya kalau dilaporkan ke polisi dikenai UU ITE bukan UU pokok Pers.
“Sekarang mah nggak usah malu jadi wartawan Bodrex. Nah, kelakuan media besar juga gitu, ” umpat Herman Wijaya, sahabat karib saya, rekan sepeliputan.
Kami sama sama dibesarkan oleh media “kuning” dan berita sensasi. Tapi kami berdua masih “eling lan waspada”. Jauh dari gambaran jurnalis pengemis dan pemeras dengan segala macam manipulasi praktiknya – yang kini dilakukan oleh media media besar yang terverifikasi oleh Dewan Pers tersebut.
Sebagai jurnalis dari media kasta menengah bawah yang terus belajar – saya membuka buka lagi buku “Sembilan Elemen Jurnalisme” dan buku “Blur” buku pegangan bagi wartawan generasi masa kini. Keduanya ditulis Bill Kovach (‘New York Times’) dan Tom Resenstiel (‘Newsweek’).
Andreas Harsono (2010), jurnalis senior dari ‘The Jakarta Post’, ‘The Nation’ (Bangkok), ‘The Star’ (Kuala Lumpur), yang membedah buku ini, mengatakan bahwa esensi dari jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
*Disiplin verifikasi mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat.*
Kovach dan Rosenstiel, sebagaimana dikutip Andreas, menawarkan metode konkrit dalam melakukan verifikasi.
Pertama, penyuntingan secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat, dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan, banyak gugatan.
Kedua, memeriksa akurasi. Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak?
Ketiga, jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi saja, melainkan harus mendekat kepada narasumber di lapangan.
Keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French’s Color Pencil. Ia menandai fakta-fakta dalam tulisannya dengan pensil berwarna; atau kini, di era serba digital, kita bisa mewarnai fakta dalam tulisan di ms word.
Pentingnya disiplin verifikasi sebagaimana dinubuatkan oleh jurnalistik kaliber dunia itu kini cenderung diabaikan.
HARUS diakui tidak mudah mengelola media di era media sosial kini. Ketika media sosial sama kuatnya dengan media resmi – yang dikelola oleh para profesional. Ketika semua orang dan tokoh bikin media sendiri lewat akun medsos masing masing.
Di sisi lain masyarakat mudah sekali diombang ambingkan oleh berita yang tidak jelas.
Selain itu, setelah jatuh ke tangan para konglomerat, media besar dijadikan senjata politik. Utamanya dalam pemilu.
Grup Bakrie melalui TVOne menutupi kasus lumpur Lapindo dengan isu nasional lain. Kita tak pernah lupa bagaimana TVOne menghadirkan narasumber palsu dalam salahstu tayangannya.
Juga ramai diberitakan dan ada pengelola media yang memlintir berita utama dan independen semata mata demi uang lalu dimanfaatkan oleh kubu oposisi .
Belum lagi kelompok Saracen yang jelas jelas memroduksi dan menyebarkam hoaks.
Demi mendapatkan ‘clikbite’, situs situs berita online semakin provokatif. Bukannya membawa kejelasan duduk perkara yang sesungguhnya, konten-konten yang disajikan justru cenderung menyerang seseorang atau suatu kelompok dengan alasan yang emosional. Mengajak perpecahan.
Tapi ketika media arus utama yang didirikan dan dikelola para wartawan senior dan berwibawa memanfaatkan situasi ini ikut arus dan menikmati untuk keuntungan sendiri – jelas tidak bermoral.
Dan itu yang dilakukan oleh media sekelas Tempo dan Detik com.
Apa jadinya bangsa kita kalau media arus utama – yang seharusnya jadi penerang masyarakat dan rujukan kami, para jurnalis media pinggiran pun – ternyata ikut menyebarkan hoaks? ***
(Supriyanto Martosuwito)