https://seputarpapua.com/view/haris-azhar-tuntutan-berat-7-pemuda-papua-bentuk-rasisme-penegak-hukum.html
15 Juni 2020

*Haris Azhar: Tuntutan Berat 7 Pemuda Papua Bentuk Rasisme Penegak Hukum*

TIMIKA | Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar menilai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada tujuh mahasiswa dan aktivis Papua di Pengadilan Negeri Balikpapan, justru menggambarkan tindakan rasisme oleh aparat penegak hukum.

Pernyataan Direktur Eksekutif Lokataru Foundation itu bukan tak beralasan. Dimana oknum ASN pelaku ujaran rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya yang memantik aksi hingga kerusuhan di Papua justru hanya dihukum 5 bulan penjara.

“Apa yang sedang terjadi terhadap para mahasiswa Papua adalah bentuk rasisme, setelah orang Papua dihina, tidak dapat keadilan. Pelaku tidak dihukum secara layak,” kata Haris Azhar kepada Seputarpapua, Senin (15/6).

Ia mengatakan, sangat ironis ketika orang Papua sebagai korban yang melakukan aksi protes justru ditangkap dan dihukum berat, sementara pelaku dari akar masalah seolah mendapat pengampunan begitu saja.

“Ketika mereka protes, mereka justru dihukum lebih berat dari pelaku rasisme,” kata Haris, pengajar di Universitas Trisakti dan Jentera Law School.

Tujuh tahanan politik Papua dituntut antara 5 tahun hingga 17 tahun penjara atas tuduhan makar. Mereka ditangkap usai gelombang unjuk rasa masyarakat Papua mengecam ujaran rasisme di Surabaya, Jawa Timur.

Buchtar Tabuni, Wakil Ketua II Badan Legislatif ULMWP dituntut lebih berat yakni 17 tahun penjara. Sementara Agus Kossay (Ketua Umum KNPB) dan Steven Itlay (Ketua KNPB Timika) dituntut masing-masing 15 tahun penjara.

Alexander Gobay (Presiden Mahasiswa USTJ) dan Fery Bom Kombo dituntut masing-masing 10 tahun penjara. Kemudian Irwanus Uropmabin dan Hengky Hilapok dituntut lima tahun penjara.

“Ini jelas dan konkret rasisme yang dilakukan penegak hukum. Padahal seharusnya si pelaku (rasisme) yang dihukum berat,” kata Haris.

*Haris cemas pemerintah tidak sadar ketika rasisme yang mengakar dalam paradigma kerja aparatur negara, sehingga tidak ada lagi rasa kemanusiaan dalam setiap kebijakan*

*“Saya khawatir ada penyakit rasisme yang hidup dalam paradigma kerja aparatur negara. Jadi ketika berkomunikasi maupun dalam membuat kebijakan tidak ada sense of humanity,” katanya.*

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo juga menilai bahwa JPU kepada tujuh tahanan politik di Pengadilan Negeri Balikpapan secara nyata belum memenuhi unsur keadilan.

“Meskipun penanganan kasus tersebut telah masuk ke ranah peradilan dan berjalan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Namun perlakuan atau treatment hukum terhadap mahasiwa itu dirasa belum memenuhi unsur keadilan dan kebijaksanaan,” katanya dikutip CNN.com.

Ia menyoroti tuntutan terhadap mahasiswa dan aktivis itu memperlihatkan kesenjangan hukuman jika dibandingkan dengan para pelaku ujaran rasial saat insiden terjadi di asrama mahasiswa Papua, Surabaya.

“Salah satu hal yang jadi perhatian adalah kesenjangan antara vonis oknum ASN di Surabaya yang melakukan ujaran rasisme mendapat vonis 5 bulan penjara,” katanya.

Vonis tersebut dinilai sangat kontras dengan tuntutan terhadap mahasiswa dan para aktivis Papua berkisar 5 tahun hingga 17 tahun penjara dengan tuduhan makar.

Karena itu, pihaknya dari MPR dan beberapa jajaran DPR RI serta DPD RI akan mengupayakan pendekatan dialog dengan pemerintah agar para terdakwa dapat segera dibebaskan. (**)

Reporter: Sevianto
Editor: Misba Latuapo

2 thoughts on “

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *