Memperingati 102 Tahun Wafatnya I.L. Nommensen
(23 Mei 1918 – 23 Mei 2020)
DETIK-DETIK KEPERGIAN NOMMENSEN
Rabu, 22 Mei 1918, jelang pukul tujuh malam, suasana senyap mewarnai Pargodungan Sigumpar. Rumah kediaman Nommensen di samping gereja juga sepi. Sepeninggal kunjungan misionaris Steinsick dan Nyonya Brinskscmidt sore tadi, kondisi kesehatan Nommensen tampak semakin buruk. Ia terbaring lemah di tempat tidur. Ia mengeluhkan dadanya yang sesak sehingga susah menarik napas, tubuhnya pun sakit seperti dirobek-robek.
Anak dan menantu yang menungguinya kelihatan cemas. Nommensen minta dipijat, namun diurungkannya lagi karena tubuhnya terasa sakit. Sesekali Nommensen menyeret langkahnya menuju kamar kerja. Ia duduk termenung di kursi dekat meja tulisnya tengah memikirkan kedua putrinya yang berada di Eropah. “Mereka akan hidup tanpa ayah dan ibu,” ujarnya lemah, nyaris bergumam.
Nommensen sudah sepuh, 84 tahun, kesehatannya naik-turun; terkadang sehat, tetapi setelah itu sakit lagi. Begitu seterusnya, sehingga terkesan keadaannya tidak menentu.
Menantunya menghibur, “Kami, semampu yang kami bisa akan mengurus mereka,” katanya.
Nommensen hanya terdiam. Ia bangkit membuka lemari, menunjukkan sesuatu yang akan digunakan untuk keperluan kedua putrinya manakala ia sudah tiada.
Anak dan menantunya merasa iba namun tak bisa berbuat apa-apa. Melihat penderitaan Nommensen, mereka hanya bisa berdoa agar Tuhan menjemput orangtua yang mereka sayangi apabila masanya untuk menutup mata memang sudah tiba.
Malam semakin larut. Kepada anak dan menantunya Nommensen berpesan agar menyampaikan salamnya kepada orang-orang yang ia kasihi. Anaknya berkata, “Kami masih mengharapkan ayah tinggal bersama kami.”
“Saya juga berharap begitu. Tetapi, Tuhan kali ini berkehendak lain,” sahut Nommensen. Ia duduk lalu berdoa, “Jesus, Jesus! Berikan hamba-Mu ini ketenangan …”
Menjelang pagi kondisi kesehatan Nommensen semakin buruk. Napasnya satu-satu. Denyut nadinya pun semakin lemah. Ia kembali duduk dan berdoa, “Tuhan, jiwaku kuserahkan kepada-Mu,” katanya lalu merebahkan diri.
Bola matanya bergerak ke atas seakan menatap kemuliaan Allah. Matanya tiba-tiba terpejam, tubuhnya bergetar pelan, lalu diam; diam untuk selama-lamanya.
Nommensen wafat pada Kamis pagi, 23 Mei 1918 tatkala lonceng gereja berdentang bersama semburat matahari yang semburat di ufuk timur.
Kematian Nommensen menyebar dengan cepat. Tanah Batak berduka. Sigumpar penuh sesak dengan jemaat, pendeta, misionaris, dan pejabat teras Belanda. Jasad Nommensen dibawa ke gereja sebelum dimakamkan di lokasi Pargodungan Sigumpar pada Jumat sore, 24 Mei 1918.
Nommensen menghabiskan lebih dari separuh usianya, yaitu 57 tahun, mengabdikan diri menyebarkan agama Kristen di Tanah Batak. Karyanya besar dan layak dikenang. Dengan demikian genaplah ikrar Nommensen saat menginjakkan kakinya di bukit Siatas Barita, Silindung pada November 1863, tatkala ia berdoa, “Tuhan, hidup atau mati, biarlah aku hidup di tengah-tengah bangsa ini utuk menyebarkan firman-Mu. Amin!”
NOMMENSEN, SANG RASUL BATAK
Banyak tokoh penjelajah yang begitu diagungkan dalam sejarah. Sebut saja Cristopher Colombus penemu Benua Amerika, Vasco da Gama penemu India, atau Cheng Ho pemimpin ekspedisi yang meninggalkan jejak di berbagai tempat di Nusantara dan Benua Asia. Namun, siapa pun tokoh itu, bagi suku Batak tidak sebanding apa-apa dengan Ingwer Ludwig Nommensen.
Siapakah Nommensen?
Nommensen adalah seorang misionaris RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) asal Jerman yang mengabdikan hidupnya untuk Pakabaran Injil di Tanah Batak, dari tahun 1861 sampai dengan 1918.
Melalui tuntunannya suku Batak mampu melepaskan diri dari zaman kegelapan sehingga menjadi suku yang maju dan beradab sebagaimana dikenal sekarang. Suku Batak menghormati Nommensen layaknya seorang rasul, dijuluki “Rasul Batak,” serta diberi sapaan “Ompu I”, sapaan tertinggi dalam hierarki kekerabatan dalam budaya Batak.
Di sisi lain, suku Batak adalah “temuan” yang baik bagi Nommensen untuk menyampaikan Berita Keselamatan, sebab suku Batak adalah suku bangsa terbesar ketiga dari lapisan penduduk Indonesia setelah Jawa dan Sunda. Karya agung Nommensen menjelma dalam komunitas HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), gereja muda terbesar di dunia, serta lembaga keagamaan terbesar ketiga di Indonesia setelah Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah. Sejatinya Nommensen bukan hanya milik HKBP, juga berbagai demonasi gereja yang berakar dari HKBP, juga milik bangsa, meski tak pernah disinggung dalam sejarah nasional.
DARI NORSTRAND KE TANAH BATAK
Nommensen lahir pada 6 Februari 1834 di sebuah pulau kecil Norstrand, yang kala itu masuk dalam bagian Denmark Selatan di Kepulauan Frisia Utara, berbatasan dengan bagian utara Jerman di lepas pantai Laut Utara.
Nommensen lahir di tengah keluarga miskin dan hidup menderita. Pada usia 8 tahun ia ikut mencari nafkah sebagai penggembala dan pada usia 10 tahun menjadi buruh tani bagi para tetangga.
Pada usia 12 tahun Nommensen mengalami patah kaki akibat ditabrak kereta kuda. Menurut dokter kakinya harus diamputasi. Ia berdoa minta kesembuhan dari Tuhan serta bernazar, apabila Tuhan mengabulkan doanya maka ia akan mengabdikan seluruh hidupnya bagi Pekabaran Injil di kalangan pelbegu. Doanya didengar Tuhan. Penyakitnya sembuh tanpa harus diamputasi.
Nommensen mengikuti pendidikan teologia di Seminari Zending Lutheran RMG di Barmen pada tahun 1857 dan ditahbiskan sebagai pendeta pada 13 Oktober 1861. Misi Pekabaran Injil ke Tanah Batak dimulai. Pada 1 November 1861 ia berangkat dari Barmen ke Amsterdam Belanda untuk menemui Kongsi Witteven Ermelo yang telah memberangkatkan Pdt Gerrit van Asselt dan Pdt Betz ke Sumatera. Ia juga menemui Dr N. van der Took yang telah mempelajari bahasa Batak yang juga mempelajari hasil penelitian para ahli dan penulis seperti Junghun dan Raffles.
Nommensen menuju Niewendiep untuk bergabung dengan penumpang lainnya di kapal Pertinox. Dari sana, pada 24 Desember 1861, kapal Pertinox berlayar menuju Sumatera melalui sisi benua Amerika (Brasil) dan perairan laut ujung selatan Benua Afrika (Cape of Good Hope). Dalam perjalanan melelahkan penuh bahaya ––142 hari lamanya–– Nommensen tiba di Padang pada 16 Mei 1862.
Nommensen tinggal beberapa lama di Padang sebelum bertolak dan tiba di Sibolga pada 23 Juni 1862. Ia kemudian meneruskan perjalanannya dan tiba di Barus pada 25 Juni 1862. Pemerintah kolonial Belanda dalam hal ini oleh residen yang berkedudukan di Sibolga tidak mengijinkan Nommensen memasuki Tanah Batak (Toba) dengan alasan keamanan. Selama di Barus ia mempelajari bahasa Batak dan bahasa Melayu, terutama mengenai adat istiadat Batak. Ia sangat mahfum, tanpa pendekatan budaya, pekerjaannya akan sia-sia belaka.
Pada 30 Agustus 1862 Nommensen berkordinasi dengan empat misionaris pendahulu di Sipirok. Mereka adalah Gerrit van Asselt dan Betz (utusan Zending Ermelo Belanda) serta Heine dan Klammer (utusan Zending RMG yang sama dengan Nommensen). Pada tahun 1863 Nommensen ditempatkan di Pos Parausorat.
Nommensen sangat kukuh pada nazarnya untuk mengabarkan Injil di kalangan pelbegu. Apalagi, selama di Barus, Sipirok, dan Parausorat ia melihat perkembangan Pekabaran Injil sangat lamban karena sebagian besar penduduknya sudah memeluk Islam. Kegigihannya untuk mengabarkan Injil di Tanah Batak membuat pemerintah Hindia Belanda di Batavia bersikap lunak. Mereka mengijinkan Nommensen memasuki Tanah Batak yang masih tertutup dan merdeka dari penaklukan Belanda. (Dengan sendirinya Nommensenlah satu-satunya misionaris pertama yang berani memasuki dan berdiam di tengah suku Batak dengan resiko yang sangat besar; sampai mempertaruhkan nyawa).
Pada 7 November 1863 Nommensen meninggalkan Parausorat menuju Silindung. Ia didampingi Panrau, seorang Dayak Kristen yang menemaninya sejak dari Padang. Ia menempuh jalur Simangambat, Silantom, Batunadua, Sigotom dalam perjalanan selama 4 hari yang melelahkan, kemudian tiba di puncak bukit Siatas Barita pada 11 November 1863.
Nommensen menebar pandang ke lembah Silindung. Ia bersimpuh dan berdoa: “Tuhan, hidup atau mati, biarlah aku hidup di tengah-tengah bangsa ini untuk menyebarkan firman-Mu. Amin!”
Doa singkat inilah yang kelak dikenal dalam sejarah Zending sebagai motivasi bagi misionaris dan pelayan Tuhan dalam misi Pekabaran Injil di kalangan suku Batak mulai dari Silindung, Humbang, Toba, Samosir bahkan ke puak Batak lainnya di Simalungun, Karo, dan Pakpak.
MISIONARIS SUPRANASIONAL
Penemuan Benua Amerika oleh Columbus pada tahun 1492 dan pembukaan segala benua melalui gerakan imperialisme dan kolonialisme telah membuka daerah yang sangat luas bagi Pekabaran Injil atau zending. Pekabaran Injil mendapat minat yang sangat besar pada akhir abad ke-18 di Inggris dan terutama di Belanda dan Jerman pada abad ke-19.
Keadaan ini lahir dari kesadaran baru di bidang pembangunan rohani usai Barat melampaui masa gelap Revolusi Perancis dan kejatuhan Napoleon pada tahun 1815. Abad ke-19 kemudian dikenal sebagai “Abad Pekabaran Injil” bersamaan dengan kemenangan Injil di benua-benua kafir.
Serupa Gereja, Pekabaran Injil pada perkembangannya lebih bersifat supranasional, artinya, badan zending yang mengirim utusannya tidak harus berasal dari bangsa penjajah bersangkutan. Maka, ketika Indonesia di bawah jajahan Belanda, bukan hanya badan zending Belanda saja yang memberitakan Injil di Indonesia, tetapi juga badan zending yang berasal dari Amerika, Swiss, dan Jerman.
Misionaris perintis pertama ke Tanah Batak berasal dari Inggris bernama Burton dan Ward. Utusan Babtist Chruch England, ini berkunjung ke Silindung pada Juli 1824 namun kehadiran mereka ditolak raja-raja dan penduduk Silindung.
Dua utusan Gereja Boston Amerika berusaha masuk ke Tanah Batak melalui Adiankoting. Naas, mereka dibunuh Raja Panggalamei di Desa Sisangkak Adiankoting pada 28 Juli 1834. (Konon, tubuh kedua pendeta itu dimakan setelah dibunuh, sehingga di kemudian hari ada cap negatif orang Batak yang kanibalis).
Misionaris yang datang menyusul adalah Gerrit van Asselt. Utusan Ds Witteven dari Kota Ermelo Belanda, ini tiba di Sumatera dan berpos di Sipirok pada Mei 1856 . Badan zending yang mengutus van Asselt sangat kecil bahkan karena tidak memiliki dana memadai membuat van Asselt membiayai sendiri tugas-tugasnya sebagai penginjil. Ia bekerja sebagai opzighter (pelaksana) pembangunan jalan di Sibolga kemudian opziener (administrator) gudang kopi milik Belanda di Sipirok. Meski tidak membuahkan hasil yang optimal, peran van Asselt dianggap penting sebab di tangannyalah orang Batak pertama dibabtis sebagai orang Kristen, yaitu Jakobus Pohan dan Simon Petrus.
Kongsi Witteven Ermelo kemudian mengirimkan beberapa misionaris untuk mendampingi van Asselt, mereka adalah FG Betz, Dammerboer, Koster, dan van Dallen. Mereka juga bisa disebut “Penginjil Tukang” karena mengabarkan Injil sembari bekerja sebagai tukang; untuk membiayai pekerjaannya sebagai penginjil.
Pekabaran Injil di Tanah Batak membawa sukacita tersendiri dengan bergabungnya RMG yang berpusat di Barmen, Jerman dengan Ds Witteven yang berpusat di Ermelo, Belanda.
Sejak berdiri pada 23 September 1828, RMG telah mengabarkan Injil ke berbagai belahan dunia, dataran luas dan suku-suku bangsa yang besar seperti di Afrika dan Tiongkok. Pada tahun 1836 RMG sudah bekerja di Indonesia yaitu di Kalimantan.
Dua peristiwa penting mewarnai masuknya Pekabaran Injil ke Tanah Batak. Pertama Perang Banjar yang dipimpin Pangeran Hidayat di Kalimantan Tenggara (1859) Perang Banjar adalah perlawanan rakyat Kalimantan Tenggara terhadap Belanda. Peristiwa yang menelan banyak korban jiwa, termasuk pendeta dan keluarga pendeta, memaksa misionaris Klammer tertahan di Batavia.
Kedua, ketertarikan Pimpinan RMG Friedrich Fabri terhadap Tanah Batak usai melihat dokumen penelitian Dr N van der Took mengenai suku Batak, dalam kunjungan Fabri ke Amsterdam pada tahun 1860.
Atas dua peristiwa tersebut Fabri mengutus van Hoefen yang tadinya bertugas di Banjarmasin mengunjungi Tanah Batak. Berdasarkan laporan van Hoefen, Fabri kemudian mengutus Heine bersama Klammer yang tertahan di Batavia untuk menjalankan misi ke Tanah Batak. Mereka tiba di Sibolga pada 17 Agustus 1861 dan memilih Sipirok sebagai pos pelayanan.
Klammer dan Heine melakukan koordinasi dengan van Asselt dan Betz. Keempat misionaris supranasional ini melakukan pembagian tugas pada 7 Oktober 1861. Heine dan van Asselt berangkat ke wilayah Pahae kemudian menempati pos masing-masing di Sigompulon dan Pangaloan. Betz mendapat tugas di tempat yang sudah dibuka sebelumnya, yaitu di Bungabondar, dan Klammer di Sipirok.
Koordinasi pembagian tugas ini kemudian dikenal sebagai hari jadi HKBP.
BERKEMBANG DAN BERBUAH
Nommensen bukannya tak sadar atas bahaya dan resiko terparah karena ia hidup di tengah suku yang penuh permusuhan, penuh curiga, keras kepala, dan sukar menerima perubahan. Bukan saja dicerca dan ditolak, ia bahkan nyaris terbunuh. Perlahan-lahan, dengan memita perlindungan dari Tuhan dan tingkat kesabaran yang tinggi tak kenal putus asa, Nommensen berhasil menyebarkan agama Kristen di Tanah Batak.
Nommensen memiliki strategi yang cakap melalui pendekatan sosial budaya, mendirikan sekolah, mengupayakan kesehatan melalui balai-balai pengobatan, serta meningkatkan kesejahteraan jemaat melalui pertanian dan peternakan, serta meminjamkan modal. Sekolah-sekolah yang didirikan bukan hanya untuk mendidik penginjil pribumi tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan guru di sekolah mulai dari sekolah dasar, menengah, dan kejuruan.
Periode 1863 – 1881 dicatat sebagai peletakan dasar-dasar pertama Pekabaran Injil oleh Nommensen di Silindung dan Humbang. Tahapan ini dimulai dengan berdirinya jemaat kecil di Huta Dame yang dibangun pada 12 Juni 1864. Jemaat-jemaat yang baru pun semakin bertumbuh, sehingga untuk menampung aktivitas terkait maka Nommensen memindahkan pos ke Pearaja (Kantor Pusat HKBP sekarang) pada tahun 1872. Sejumlah misionaris didatangkan dari Jerman. Sekolah zending bagi pribumi dibuka di Pansurnapitu dan Simorangkir.
Periode ini juga ditandai dengan penerjemahan kitab-kitab dasar untuk jemaat oleh Nommensen, yaitu Katekismus Kecil (1874) dan Perjanjian Baru (1878). Tata gereja yang pengaruhnya paling dalam serta lama karena berlaku sampai tahun 1930, diberlakukan mula-mula pada tahun 1881. Pada tahun ini juga Nommensen ditetapkan RMG sebagai Ephorus Huria Batak (kemudian HKBP).
Periode 1881-1901 ditandai dengan semakin banyaknya jemaat yang didirikan di Toba dan daerah-daerah kawasan Danau Toba. Misionaris juga semakin bertambah-tambah, begitu juga halnya dengan pendeta pribumi dengan ditahbiskannya pendeta-pendeta pertama pada tahun 1885.
Pada tahun 1890 Nommensen menetap di Sigumpar setelah sebelumnya berpos di Laguboti. Alasan memilih Sigumpar karena letaknya strategis untuk menjangkau wilayah Uluan dan Pulau Samosir.
Pada tahun 1903 Nommensen memimpin sendiri Pekabaran Injil hingga ke Simalungun. Di tangan misionaris dan pendeta pribumi yang cakap Pekabaran Injil semakin berkembang ke Tanah Dairi dan Sumatera Timur. Dengan kepemimpinan yang kuat, pekerja yang banyak, latihan pengantar-pengantar jemaat yang cukup sejak awal, maka lama kelamaan Gereja Kristus di Tanah Batak tumbuh berkembang dan berbuah menjadi Gereja muda yang paling besar di dunia. Atas pengabdian Nommensen, ia menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Bonn pada tahun 1904.
Nommensen meninggal dunia pada 23 Mei 1918 dalam usia 84 tahun setelah mengabdikan diri di Tanah Batak selama 57 tahun. Pekabaran Injil yang dirintis Nommensen tidak pernah berhenti, bahkan jemaat yang dituntunnya dari kekelaman kini menyebar ke seantero Indonesia dan penjuru dunia.
Bukan hanya jemaat HKBP yang setia mengenang dirinya. Orang-orang Batak Kristen dan beberapa denominasi gereja yang berakar dari HKBP juga tetap mengagumi, menghormati, dan menjadikannya teladan.
Lilin terang telah menerangi kegelapan di kalangan suku Batak, semoga tak pernah padam akan tetapi senantiasa bersinar dan abadi sepanjang masa.
(Tulisan ini diolah dari berbagai sumber).
#WonderfulDanauToba
#PesonaDanauToba
Your point of view caught my eye and was very interesting. Thanks. I have a question for you.