Sebastian Hutabarat:
Antara Ketakutan Dan Damai.
Begitu Mentri yang masih aktifpun tak terkecuali, terkena virus corona, maka berita itupun merebak, membuat banyak orang ketakutan.
Pembawa berita di TV pun, tak tekecuali, walau berusaha tetap tenang, tetap tidak bisa menyembunyikan rasa kekhawatirannya.
Jika mengerti pola penyebaran virus ini, maka, siap tidak siap, virus yang sama tanpa memandang status, jabatan, agama, suku dan bangsa, akan juga bisa menular kepada siapapun. Presiden, Profesor Dokter, Kristen, Budha, Islam, juga kita semua, tanpa kecuali, termasuk orang orang yang kita sayangi.
Takut dan panik? Itu mungkin yang sering muncul di hati banyak orang.
Istri saya Imelda Nada Marchia tadi malam, dengan tenang saat saya membaca artikel dan berita soal virus corona, berkata: ‘Emangnya virus seperti ini hal yang baru?”.
Di alam ini kan banyak virus, macam macam virus.
Banyak orang kemudian yang dengan mudah saling menyalahkan.
Termasuk menyalahkan Presiden yang tidak segera mengumumkan ‘lockdown’.
Ah, hebat sekali kita ini, yang merasa jadi lebih hebat dan lebih berkuasa dari seorang Presiden.
35 tahun lalu lalu, saya teringat akan kisah kepanikan luar biasa yang melanda warga Toba.
Indorayon meledak, semua orang berteriak, panik, lari membawa apa saja yang bisa dibawa.
Lari menompang kenderaan apa saja yang ada, sejauh mungkin dari sumber ledakan, Indorayon Porsea.
Ayah saya, kala itu, ikut turun tangan membantu karyawan yang pontang panting mengisi bbm kenderaan demi kenderaan yang panik, semua berlomba mau dilayani paling cepat, agar bisa melarikan diri secepatnya, sejauh mungkin dari Indorayon.
Beberapa orang berkomentar miring kepada Ayah saya.
Hutabarat…., Ayok, ikut mengungsi, jangan sibuk menjagai hartamu ini terus, harta ini gak dibawa mati, kepanikan serta ajakan yang sepertinya bijak dan sangat baik.
Ayah saya hanya diam, ikut sibuk membantu kenderaan yang penuh sesak.
Beberapa tahun setelah kejadian itu, setelah memilih pulang dari Bandung, saya bertanya apa Bapak tidak ikut takut dan panik?
Ya, ada juga perasaan takut.
Lalu kenapa Bapak tidak ikut lari? Pindah?
Trus kalau saya ikut lari, semua karyawan juga akan ikut lari, terus siapa yang akan melayani orang orang yang akan mengisi minyak untuk kenderaan mereka?
Saya masih melotot melihat wajah Ayah saya.
Kalau benar benar pabrik itu membahayakan hidup Bapak?
Biarlah saya yang berangkat terakhir.
Hampir saya menangis melihat sikap Ayah saya yang kadang saya tidak sukai karena tidak selalu memenuhi semua keinginan kami anak anaknya, terutama saat masih kanak kanak.
Sering belakangan kemudian, baru saya mengerti akan pengorbanan dan kebijaksanaannya.
Perasaan yang sama muncul terhadap Pak Jokowi dan Pak Terawan, Mentri Kesehatan yang kini banyak dihujat orang.
Apa susahnya mengatakan lockdown, darurat Nasional atau istilah apa saja.
Tapi apakah semua istilah dan kepanikan ini akan menyelesaikan masalah? Atau membuat keadaan membaik?
Setidaknya membuat orang berjagajaga.
Ya, berjaga jaga itu harus, dengan atau tanpa virus coronapun kita perlu berjagajaga.
Lalu sikap saya bagaimana?
Jujur saja, berada di tempat yang jauh dari rumah, juga mustahil tidak memunculkan rasa khawatir.
Apalagi hari ini, kami sudah memesan travel dari Banyuwangi mau ke Bali, tempat yang banyak dikunjungi wisatawan lokal dan asing. Mestinya ditunda dulu, lain waktu saja.
Terus kita mau ngapain? Pulang ke rumah? Diam mengurung diri?
Semua orang, setiap waktu, dengan atau tanpa virus corona akan dihadapkan pada pilihan pilihan.
Pilihan terhadap apapun itu.
Subuh tadi, ketika duduk di kloset (saya menikmati proses itu untuk merenungkan banyak hal), tiba tiba teringat sebuah cerita di buku bergambar yang pernah kami dapat dari teman sebagai hadiah untuk anak anak Toba, ketika kami berencana membuat perpustakaan kecil di Pizza Andaliman.
Ceritanya dari kisah Alkitab, ketika Bangsa Israel memilih hijrah beramai ramai dari Mesir menuju Kanaan, Tanah yang menurut Iman mereka, dijanjikan oleh Tuhan untuk mereka.
Di tengah jalan, yang menelan waktu 40 tahun perjalanan itu, banyak persoalan yang muncul.
Salah satunya, kemunculan ular ular yang mematok mereka.
Situasipun mengerikan. Semua orang yang dipatok ular itu, tidak lama kemudian mati, tanpa kecuali,mungkin situasinya lebih mengerikan dari penyebaran corona,yang ternyata sebagian dan semakin banyak yang sembuh, ya sembuh, alias kematiannya masih ditunda.
Orang orang Israel lagi lagi berteriak mengeluh dan menuntut kepada Musa, kenapa mereka harus dibawa keluar dari Mesir untuk kemudian mengalami aneka penderitaan ini?
Musa yang dulu sebenarnya sangat pendiam, lagi lagi hanya tau pergi menghadap ‘Boss’nya, Boss besar yang menyuruhnya memimpin Bangsa yang keras kepala itu keluar dari Mesir.
Bosnya Musa adalah bos segala bos. Tuan segala Tuan, Tuhan segala Tuhan, pencipta langit dan bumi.
Tuhan berkata agar Musa membuat tongkat dengan ujungnya bermotif ular tembaga.
Pesan Tuhan lewat Musa, siapapun yang melihat ular tembaga itu, maka walau masih dipatuk ular, ia tidak akan mati.
Yang tidak mau melihat ular tembaga itu akan mati begitu dipatok ular. Itu cerita yang saya tangkap.
Beberapa tahun kemudian, pada cerita lain di Alkitab, Yesus berkata begini.
Seperti Musa meninggikan ular di Padang gurun, demikian juga dengan ‘anak manusia’ harus ditinggikan.
Maksudnya? Saya masih kurang paham.
Suka tidak suka, terima tidak terima, percaya atau tidak, itu kembali ke hati kita masing masing.
Entah mengapa, saya menangkap kisah itu, bahwa Yesus yang sengaja turun dari sorga, agar orang orang bisa melihat Tuhan yang berkuasa itu, ternyata perlu ditinggikan, agar semua orang bisa melihat.
Batu yang dibuang tukang bangunan (kaum Farisi), menjadi ‘batu penjuru’ bagi Bangsa lain. (Bagi siapapun, dari Bangsa manapun,dan dari agama manapun yang mau dan rela menerimaNYA).
Orang yang mau melihatNYA, walau dipatok aneka macam ular berbisa, mereka tidak ikut mati.
Tapi itukan cerita dulu…
Ya, Tapi Yesus yang adalah ‘Roh Tuhan’ itu masih sama.
Iblis yang meneror lewat aneka virus ketakutan itu juga masih sama.
Polanya akan mirip, tidak jauh beda, melahirkannya teror di dan ketakutan.
Saya lalu ingat juga kisah dua orang yang disalib bersama Yesus.
Satu memilih protes dan menuntut, seperti kita, mayoritas manusia yang adalah hanya ciptaan ini.
Satu orang pendosa lagi, memilih percaya.
Tapi yang percaya atau tidak percaya tadi, tetap juga sama sama mati di kayu salib.
Lalu bedanya apa?
Saya belajar merasakan perasaan yang percaya Yesus.
Ia kemudian mati dengan tenang, dengan hati yang damai, setidaknya menurut tafsiran saya.
Jadi?
Sebelum ada corona, ada banyak hal yang sudah terjadi, ada SARS, HIV Aids, Kanker,dan entah virus dan ular apa lagi yang masih akan datang.
Saya merenung dan memilih ikut cara Musa. Ikut memilih melihat Yesus.
Sehingga ketika aneka virus apapun yang datang, yang kita sering tidak bisa prediksi, maka hati kita tetap damai.
Damai manakala IA berkata waktumu sudah cukup.
Dengan atau tanpa virus corona
Datanglah KerajaanMU, jadilah kehendakMU, di bumi ‘seperti di sorga’
Banyuwangi, 15 Maret 2020
Sesaat sebelum dijemput travel menuju BALI.
Jadilah kehendakMU
Thanks for sharing. I read many of your blog posts, cool, your blog is very good. https://www.binance.com/ka-GE/register?ref=WTOZ531Y
Wow, fantastic weblog structure! How long have you been running a blog for?
you make running a blog glance easy. The entire look
of your site is fantastic, as neatly as the content material!
You can see similar here sklep online