Menanti Keadilan
Belajar menerima status sebagai ‘tersangka’ di Kepolisian yang berlanjut menjadi ‘terdakwa’ di Pengadilan, bukanlah perkara yang mudah.
Apalagi bila kita tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan.
Kasus ini bermula ketika saya diajak oleh sahabat saya Joe Marbun Madya membawa Mr Hank van Apeldoorn, WN Australia yang menjadi volunteer di YPDT untuk mengunjungi sahabat kami yang sekaligus menjadi pengurus YPDT di Pulau Samosir.
Besoknya, 15 Agustus 2017, kami jalan jalan melihat pohon yang kami tanam bersama Mantan Bupati Samosir Bapak Mangindar Simbolon, pada tahun 2015.
Ternyata di lokasi penanaman pohon itu, sudah berdiri stone crusher yang sangat besar, persis di bibir pantai tempat kami dulu menanam pohon.
Dalam diskusi dengan JS, pemilik tambang, berkali kali Sdr JS mengatakan bahwa mereka sudah punya ijin tambang, padahal, tidak sekalipun kami bertanya perihal ijin tambang ataupun ijin mesin stone crusher yang berdiri persis di bibir pantai tak jauh dari rumah Kepala Desa Silimalombu itu.
Dan karena situasi diskusi yang mulai memanas, kamipun pamit.
Akan tetapi baru bergerak beberapa meter, kamipun segera dikerumuni Sdr JS dan anggota anggotanya seraya menganiaya kami bertubi tubi.
Sahabat saya Jhohanes Marbun, setelah dipukul, berhasil kabur mencari bantuan.
Sayapun kemudian dipukuli secara bergantian hingga berdarah darah, dibuka celananya lalu disandera dan dimaki-maki habis habisan oleh Sdr JS seraya berkata tidak akan melepaskan saya jika sahabat saya Jhohanes Marbun tidak datang dan menghapus semua rekaman foto, video dan pembicaraan kami.
Kami baru bisa lepas dari penyanderaan setelah dijemput oleh Kapolsek Nainggolan dan anggotanya, 6 jam kemudian.
Hari itu juga kami masukkan pengaduan ke Polres Samosir disertai visum dari RSU Pangururan.
Entah kenapa, dengan bukti visum dari RS, baju yang robek dan berdarah, kami berdua sebagai saksi korban, Mr Thomas Heinle yang langsung melihat beberapa kali saya dipukuli hingga berdarah darah, Polisi tidak juga menahan Para Pelaku dan sutradara penganiayaan itu.
Baru satu setengah tahun kemudian, setelah pergantian Kajari Samosir yang baru, Sdr JSpun ditahan dan dibawa ke Pengadilan.
Ada keganjilan karena di Pengadilan, Jaksa tidak lagi memasukkan pasal 170 dimana penganiayaan terhadap kami dilakukan oleh lebih dari 1 orang.
Di pengadilan Jaksa Samosir ternyata hanya menghadirkan Sdr JS seorang, pelaku lain yang sudah kami konfrontir saat pemeriksaan di Samosir Des 2018 tidak ikut dihadirkan.
Mudah diduga, sutradara penganiyaan penyanderaan itupun hanya dituntut 3 bulan penjara.
14 February 2019 Hakim memutus 2 bulan penjara untuk saudara JS.
Ada rasa miris dan rasa tidak adil dengan putusan ini.
Tapi dalam hati saya berpikir, Pak Hakim tentu punya pertimbangan tersendiri.
Yang kemudian terasa ganjil adalah ketika saya, tak lama setelah JS ditahan, 13 Maret 2019 sayapun secepat kilat dijadikan tersangka.
19 Maret saya menerima panggilan kedua serta berita dimedia online Samosir Green, ,jika tidak hadir akan segera dijemput paksa.
Berkalikali saya menelepon Polisi yang waktu ke Balige berbincang santai, tidak diangkat.
Sehingga sayapun tidak tau kenapa bisa dijadikan tersangka.
23 April 2019, PH kami membawa Ratnauli Gultom ke Polres Samosir sebagai saksi yang meringankan.
Saat itu berkas masih ada di Polres Samosir. Dan Kajari Samosir kepada PH kami berkata agar menyiapkan bukti bukti termasuk rekaman pembicaraan kami sebagai bukti bahwa saya tidak pernah memfitnah seperti yang didakwakan.
Besoknya 24 April 2019, kami menerima pemberitahuan lewat WA bahwa berkas perkara dinyatakan lengkap (P21 tertanggal 10 April 2019)
Ada apa dengan Polres Samosir dan Kejaksaan Samosir ?
Mengapa P 21 perlu dibuat mundur menjadi tanggal 10 April 2019
Saya menduga ada persekongkolan antara Polres dan Jaksa Samosir yang tidak mau mendengarkan rekaman audio pembicaraan kami dan tidak memasukan BAP Saudari Ratnauli Gultom sebagai saksi yang meringankan.
Alhasil tanpa bisa berargumen lagi, sayapun segera dipaksa duduk di kursi persidangan.
Sejak Mei hingga November 2019 sayapun bolak balik harus ke Samosir menjalani sidang demi sidang, bersama tim pengacara yang khusus datang jauh jauh dari Medan.
Ada kalanya setelah jauh jauh ke Samosir, sayapun dapat WA dari Jaksa bahwa sidangnya dilakukan di Balige.
Oh Tuhan…betapa meletihkannya menjadi warga negara yang belajar taat hukum ini.
Alhasil setelah 16 kali bersidang yang melelahkan, yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, pikiran dan biaya, tak satupun dari 4 hal yang dituduhkan oleh Jaksa sebagai fitnah yang bisa dibuktikan oleh pelapor dan saksi saksinya.
Jadwal putusan Hakim yang tadinya dijadwal Tgl 5 Desember 2019pun, diundur menjadi tgl 19 Des. Dan sore menjelang putusan, saya dapat kabar lagi, pembacaan putusan lagi lagi diundur menjadi tanggal 7 January 2020.
Sayapun hanya bisa pasrah.
Berharap keadilan masih ada di Negeri ini.
Berharap Bapak Hakim yang mulia akan benar benar menjadi Wakil Tuhan yang akan memutus perkara ini dengan adil, membebaskan orang yang tidak terbukti bersalah seperti yang dituduhkan.
Apa jadinya jika hukum kita hanya berpihak pada para pemesan? Berpihak para penguasa?
Saya berIman dan percaya, di era kedua kepemimpinan Presiden Jokowi ini, Negeri kita akan semakin baik, tak terkecuali dengan penegakan hukumnya.
Buat sahabat sahabat aktivis, NGO, LSM, Wartawan’dan semua sahabat sahabat, mohon agar kita ikut membantu mengawal kasus ini.
Saya sangat berterima kasih jika besok bisa bersama teman teman hadir mendengarkan putusan ini dibacakan di PN Samosir, Kamis 9 Jan 2020 sekitar jam 13.00
Semoga dugaan kriminalisasi yang saya alami tidak bolak balik lagi terjadi kepada rekan rekan aktivis, wartawan, dan anak cucu kita kelak.
Selamat mewujudkan Indonesia yang Adil dan Makmur.
Selamat menghadirkan sorga yang nyata di bumi Toba.
Ro ma HarajaonMU
Balige 8 Jan 2020
Sebastian Hutabarat
PN Balige, WC Rusak, dan Rasa Keadilan yang Hambar
(Catatan dari ruang pengadilan Sebastian Hutabarat)
Hari ini melelahkan.
Pukul sepuluh kami berangkat dari Balige. Hari ini kami menghadiri sidang. PN Balige di Pangururan Samosir akan membacakan keputusan Ito Sebastian Hutabarat.
Rombongan kami terdiri dari dua mobil. Mobil pertama berpenumpang Sebastian dan tiga pengacaranya, dari Medan.
Mobil kedua ada lima orang. Imelda Nada Marchia Napitupulu –istri tercinta Sebastian. Siahaan dan Tampubolon, dua pegiat lingkungan dari YPDT (Yayasan Pencinta Danau Toba). Tim Hoppen –teman Sebastian dari Jerman. Dan saya.
Mobil pertama navigator kami. Sementara mobil kami, Imelda gagah duduk dibelakang setir. Sepertinya ia kenal betul Elf miliknya. Jalanan lancar. Kami ngobrol santai. Ringan. Tak satu pun dari kami berandai-andai soal hasil putusan sidang.
Di satu pertigaan saya membeli gorengan. Tim Hoppen ikut turun. Di depan sana, duduk serombongan siswa putri, yang tiba-tiba berteriak karena melihat bule dengan rambut pirang gimbal, muncul dari mobil, di dekat mereka.
“Mereka ingin foto dengan kamu, Tim,” kata saya.
Lalu Tim mendekati mereka. Seketika para remaja itu histeris. Saya dan Imelda tertawa-tawa, menyaksikan acara salaman dan foto-foto itu, dari dalam mobil.
Kami lewat Tele. Pemandangan Tele luar biasa menyegarkan mata. Kami tiba di gedung PN Balige di Pangururan lebih pukul 1 siang.
Tiba di gedung PN, Tim kebelet kencing. Dia pergi ke kamar kecil di sana, bingung. Bukannya kencing, dia malah memfoto toilet busuk, dan memperlihatkannya kepada saya dan Imelda, ”Apa ini artinya?”
Kami tertawa, getir. Bagaimana menjelaskan kebusukan seperti itu kepada seorang asing yang sedang berkunjung ke kampung kita? Susahlah menjelaskannya. Lalu Tim keluar gedung, mencari kamar kecil, entah di mana.
Dan karena lama menunggu antrean masuk ke ruang sidang, kami pun ngopi di sebelah kanan gedung PN.
Di sana ada Pak Indra Nababan. Kami ngobrol, senda-gurau.
Selagi ngopi, seorang bapak bergabung. Dia datang dari arah gedung PN. Rupanya dia baru keluar dari ruang sidang. Kami menyimak ceritanya yang sedih. Seperti Ito Sebastian, dia pun berupaya mencari keadilan
Bahwa restorannya di Tuktuk Samosir dibakar, rata dengan tanah. Padahal bangunan itu baru berdiri tiga bulan. Sebelum peristiwa itu, dia dianiaya oleh seorang suruhan, bahkan di dalam rumahnya sendiri. Dan, di ruang sidang, polisi yang menjadi saksi untuk meringankan, malah memberatkan. O Tuhan semesta, tolonglah kami para pendosa ini.
Setelah itu giliran kami masuk ruang sidang. Kami yang terakhir sidang hari itu. Sekitar pukul 4 sore. Pak Jautir Simbolon (JS), yang menuntut Sebastian, ada juga di sana.
Di ruang itu, kami mendengarkan hakim membacakan putusan. Sekitar tiga puluh menit. Putusannya: dua bulan penjara.
Hah?
Tentang putusan 2 bulan itu, tim hakim merasa telah berbuat seadil-adilnya bagi terdakwa, dan masyarakat. Dengan pertimbangan, terdakwa akan menginsyafi perbuatannya; terdakwa cinta lingkungan terutama danau Toba; terdakwa selalu sopan di ruang pengadilan; terdakwa adalah ayah alias pencari nafkah keluarga.
Lalu hakim mengetuk palunya. Setelah itu bertanya kepada Sebastian: apakah menerima hasil putusan atau banding?
Sebastian, seperti juga tim pengacara, menjawab: naik banding.
Rosmina Silaban, pengacara Sebastian, bereaksi keras atas putusan hakim. Tentu saja dia kesal. Putusan hakim tidak berdasarkan bukti-bukti selama persidangan.
Apa artinya menghadirkan saksi-saksi Johanes Marbun, Ratnauli Gultom, Togu Simorangkir, Martin Gultom, yang jelas meringankan terdakwa?
Apa artinya sidang-sidang delapan bulan yang menghabiskan waktu dan tenaga dan pikiran, kalau bukti-bukti yang disertakan hakim dalam putusannya, masih seperti di berita acara polisi?
Apa artinya pengakuan JS yang mengatakan bahwa ia memang tidak punya izin stone crusher, tetapi izin waktu? Bahwa daerah pantai tempat terjadinya peristiwa, adalah Zona C, dilarang ada penambangan.
Kalau pun betul Sebastian mengatakan JS tidak punya izin stone crusher, apakah mengatakan kebenaran itu dianggap perkataan yang menghina?
Tim hakim keluar dari ruang sidang, kami ingat kami belum makan siang.
Dari Gedung PN Balige kami ke satu resto. Kami makan siang yang terlambat. Di sana kami membicarakan lagi putusan yang menyedihkan itu.
Waktu terasa cepat. Sudah pukul 6 sore. Kami harus kembali ke Balige. Tim pengacara mesti balik ke Medan.
Kendaraan kami pun berangkat. Dengan formasi yang sama.
Hanya kali ini, di mobil kami, Siahaan yang menyetir, didampingi Tampubolon di bangku depan. Di kursi tengah, duduk kami bertiga. Tim, saya, Imelda.
Waktu itu hari sudah gelap dan gerimis.
Karena ingin menyegarkan ingatan, saya minta Imelda cerita lagi, apa sebenarnya yang terjadi pada 15 Agustus 2017 itu.
Dia mulai bercerita.
Pagi itu mereka sedang sarapan. Di rumah. Lalu datang Jo Marbun dan seorang relawan YPDT berkebangsaan Australia. Mereka mengajak Sebastian ke Silimalombu. Ke rumah Ratnauli Gultom, aktivis lingkungan, teman mereka.
Ceritanya, dua tahun lalu YPDT menanam pohon di sana. Dan sekarang mereka ingin melihat pohon-pohon itu tumbuh.
Tiba di lokasi, mereka bukannya melihat pohon. Malah mesin pemecah batu. Stone crusher.
Punya siapa ini, mereka saling bertanya. Jo dan Sebastian mengambil beberapa gambar mesin itu, dengan hape mereka.
Waktu itu JS, pemilik mesin (dan kedai), sedang menelepon seseorang. Jo dan Sebastian baru saja hendak pergi dari sana, ketika seorang anak buah JS, memintanya untuk mampir ke kantor mereka.
Di sana mereka disuguhi kopi. Mereka mengobrol akrab.
Lalu Sebastian ingat obrolannya dengan ibunda dari Ratnauli Gultom. Bahwa beberapa warga keberatan dengan adanya stone crusher. Alasannya, batu yang diambil jenis batu-batu besar.
Berdasarkan itu, Sebastian bertanya kepada JS, siapa warga yang keberatan itu, Amang.
“Itulah yang dikatakan suami saya di rekaman suara. Bukan tentang stone crusher tidak ada izin,” cerita Imelda.
JS meminta mereka untuk menghapus foto-foto stone crusher di hape mereka. Sementara Jo, di kameranya masih ada rekaman hasil percakapan mereka, dan foto-foto mesin stone chrusher.
Lalu muncul Tommy Nainggolan, out of no where. Dialah kemudian yang memukuli dan menganiaya Sebastian, sampai babak belur, bahkan mengeroyok. Sementara Jo yang berhasil kabur, melaporkan peristiwa itu ke beberapa orang. Atas laporan itulah kemudian Sebastian dapat bebas dari tempat itu.
Dan Sebastian melapor pemukulan/pengeroyokan itu ke polisi. Atas laporan itu, JS dihukum dua bulan.
Satu setengah tahun lewat setelah peristiwa itu, entah angin dari mana, JS mengadukan Sebastian ke polisi, dengan tuduhan penganiayaan.
“Waktu itu kami sedang di Laos. Terpaksa dia harus lebih dulu pulang untuk memenuhi panggilan pengadilan,” kata Imelda.
Sejak menjadi terdakwa pada Maret 2019, sampai hari ini, Sebastian menjalani sidang. Tanpa letih. Dalam rangka menghormati sidang yang terhormat dan mencari keadilan dengan cara mulia.
Sampai hari ini hakim memutus 2 bulan penjara. Dia adalah hakim yang sama yang menghukum JS, 2 bulan penjara
“Saya letih dengan semua proses ini,” ujar Imelda. Tentu saja. Siapa tidak letih menjalani sidang selama delapan bulan, bolak-balik Balige-Samosir?
Dia ingat Ahok. Waktu hakim memutus penjara 2 tahun, Ahok menundukkan badan sedalamnya. Dia tidak minta banding. Dia menolak grasi dari presiden. Dia menutup segala celah yang di kemudian hari dapat dipergunakan untuk melemahkan, oleh lawan politiknya. Dia menjalani hari-hari di penjara dengan sepenuh kekuatan.
Imelda tidak sedang berkata ingin suaminya menyerah seperti Ahok. Menerima putusan. Namun ia merasa apa yang sudah terjadi pada suaminya, terlalu berat. Dia ingin memeluk suaminya kalau saja mungkin, ketika tadi hakim mengetukkan palu. Apa pun tekad suaminya, dia akan mendukung. Dengan sepenuh kasih dan doa.
Hampir pukul 10 malam kami tiba di Balige. Teman-teman pengacara masih lanjut ke Medan. Kami berpisah.
Di kamar, saya merenungi perjalanan hari ini. Tadi Ito Sebastian bilang bahwa tak ada satu pun yang kebetulan dalam semua perkara ini. Dia percaya apa yang dia lakukan, benar.
Sambil merenungkan perkataan itu, saya ingat lagi WC busuk di PN Balige, yang bikin Tim Hoppen tak jadi kencing.
Saya menghibur diri. WC busuk saja tak sanggup mereka perbaiki. Apalagi keadilan. Hambar.
(is/10/01/20)
KENAPA NEGARA INI MENGHUKUM SUAMIKU?
Lagu “Indonesia Pusaka” adalah lagu favoritku.
Lagu ini kalau tidak salah diciptakan oleh seorang Pemuda Indonesia, Ismail Mardjuki.
Mungkin beliau, sama seperti saya, melihat hijaunya tanah air dihampari birunya danau yang dahsyat. Mungkin juga dia melihat Indonesia sebagai himpunan suku dan agama yang masif membentuk suatu karakter keindonesiaan yg khas.
Entah apalah motivasi terciptanya lagu indah ini, yang jelas tiap kali mendendangkannya, hati ini dirasuki perasaan haru dan syukur mengharubiru.
Jujur, rasa itu tidak luntur setelah vonis hakim terucap untuk suamiku, Sebastian Hutabarat.
Saya tetap cinta Indonesia.
Saya tidak mau mengolok-ngolok Indonesia.
Tapi saya hanya sekedar mau bertanya.
Mengapa negara yg kucinta ini menghukum suamiku?
Apakah salahnya?
Apakah dia pernah mengeruk kekayaan alam negri ini untuk kantongnya? Untuk kami keluarganya? Tidak.
Dia memotret pesona Indonesia dari sudut-sudut yg orang sering tidak tahu. Dia bagikan supaya kelak anak-cucunya tahu. Dia promosikan supaya pendatang tahu magisnya Toba. Bahkan dia potret seorang nenek penjual tape sehingga potret itu begitu populer. Dan bahkan sedikit uang dia bagikan untuk si nenek karena fotonya menjadi merk usahanya.
Dia kreasikan makanan barat, pizza, dengan bumbu andaliman yang khas Indonesia sehingga ribuan orang sudah dan masih ingin terus datang ke kampung kami, Balige, Toba Samosir, untuk mencicipinya.
Sadar atau tidak, dia sudah mendatangkan devisa untuk kampungnya, untuk salah satu provinsi terbesar di negara ini, Sumatra Utara.
Apakah dia mengenyampingkan putra-putri lokal Toba dalam hidupnya?
Tidak.
Pegawai-pegawainya bukanlah creme de la creme, tapi worst among worst.
Ada remaja putus sekolah, remaja eks korban narkoba, ibu penjual tuak, yang ia latih jadi pengusaha, minimal menjadi orang yg siap berusaha. Menjadi manusia.
Dia yg bolak-balik memaafkan saat mereka yg dilatihnya mencuri dari ladangnya sendiri.
Dia yg merengkuh pundak mereka saat mereka datang mengakui kesalahannya.
Apakah dia memfitnah?
Menghina?
Nyaris 20 thn kami menikah, belum pernah sekalipun dia menghina orang kecil.
Belum pernah!
Apalagi memfitnah.
Lalu salahkah dia bila tidak suka dan mengkritisi Aquafarm dan TPL?
tidak punya hakkah dia untuk menyuarakan ikan dan pohon Toba selayaknya untuk penduduk Toba dan keturunannya ketimbang untuk penduduk Eropa?
Bukankah remaja dan anak2 Toba membutuhkan pohon untuk asupan oksigen mereka? Kenapa kertas? Kenapa pinus?
Salahkah dia saat menyanggupi ajakan Bpk Jautir Simbolon untuk berbincang-bincang ditambangnya? Kurang kerjaankah dia??
Salahkah dia saat memotret lokasi stone crusher di bibir pantai yang dulunya tempat dia menanam pohon?
Bukankah dia punya hak untuk memfoto?
Kalaupun dia sudah salah memfoto, bukankah bisa diminta baik-baik? Kenapa harus takut???
Kenapa harus menjotos suamiku?
8 bulan persidangan adalah masa kami benar-benar terpenjara.
Sekarang suamiku sudah naik pangkat.
Dari terdakwa, jadi terpidana.
Dan sesungguhnya suamiku sudah lepas dari jerat-jerat hukum yang menghantui dia selama 8 bulan.
Bagiku, di penjara atau tidak, itu tak penting.
Aku sudah mengambil kesimpulan selama 8 bulan ini suamiku dan pengacaranya tidak didengar, tidak dihargai.
Tapi kami sama sekali tidak menyesal menempuhnya. Kami tekun dan setia mengikuti prosedur persidangan. Tidak ada celah. Dan inipun sudah diakui oleh majelis hakim.
Sekarang kemanapun suamiku pergi, seumur hidupnya, dia adalah seorang terpidana.
Namun aku tahu, dia tetap cinta Indonesia.
Meskipun negara ini belum bisa membalas cintanya.
♥♥♥
I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.