Wacana Birokrasi Digital
Kennorton Hutasoit – Jurnalis Metro TV | Opini
ENJOY! Mungkin itu respons bagi anak muda yang ingin atau sudah bekerja sebagai pegawai negeri sipil atau aparatur sipil negara (ASN) ketika muncul wacana ASN tidak harus bekerja di kantor, melainkan bisa dari rumah.
Itu kalau bicara enaknya. Tapi untuk bisa bekerja seperti itu, seorang ASN tentu harus memiliki kemampuan di bidang pekerjaan-pekerjaan yang bisa dikerjakan di luar kantor. Misalnya, keahlian teknologi atau pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan kreativitas. Pekerjaan-pekerjaan ASN yang mana yang bisa dikerjakan di luar kantor perlu diidentifikasi dan dibuatkan payung hukung sebagai legalitasnya.
Kreativitas tentu bukanlah bagi mereka yang bekerja di luar kantor saja. Namun, ASN yang bekerja memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat juga membutuhkan kreativitas. Setidaknya memiliki kemampuan berkomunikasi yang kreatif. Cara ASN menyapa warga yang datang untuk mendapatkan pelayanan sudah saatnya juga dengan cara-cara kreatif seperti di perusahaan perbankan di Jakarta, misalnya, menyapa dengan senyum.
Bagaimana kalau layanan langsung dari ASN itu digantikan dengan robot? Mungkin untuk beberapa hal seperti layanan pengambilan tiket berobat di rumah sakit, misalnya di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pelni, Jakarta Barat, sudah dilakukan dengan teknologi digital. Pasien yang hendak berobat sudah bisa daftar sendiri dan mendapatkan daftar antre berobat. Layanan-layanan yang bisa dilakukan sendiri oleh warga, mungkin sudah saatnya digantikan dengan robot atau mesin, mungkin mirip dengan layanan setor atau tarik tunai di ATM.
Pekerjaan-pekerjaan ASN yang bisa dikerjakan di luar kantor dan layanan langsung yang bisa digantikan dengan robot sampai saat ini tidak masalah sepanjang untuk meningkatkan pelayanan pada masyarakat.
Polemik baru muncul ketika Presiden Joko Widodo menginstruksikan pemangkasan eselon III dan IV. Ada banyak komentar mengenai program Presiden Jokowi ini. Komentar-komentar itu antara lain pemangkasan eselon III dan IV tidak menjamin birokrasi semakin bagus, akan mematikan jenjang karier ASN, dan akan terjadi saling sikut di antara para ASN, serta banyak lagi komentar yang menghiasi media baik di media meanstream maupun di media sosial.
Kementerian/Lembaga sudah mulai melaksanakan program pemangkasan eselon III dan IV. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memangkas eselon III sebanyak 19 dari 36 jabatan dan eselon IV sebanyak 74 dari 124 jabatan di Badan Kebijakan Fiskal.
Berdasarkan data yang dirilis Deputi Bidang Kelembagaan dan Tata Laksana Kementerian PAN-RB Rini Widyantini di Jakarta, Rabu (4/12), data eselon III sebanyak 98.947, eselon IV sebanyak 327.771, dan eselon V sebanyak 14.430. Sudah termasuk di dalamnya Kementerian Keuangan. Totak eselon III, IV, V, yang akan dihapus sebanyak 441.148.
Jokowi dalam pidato pelantikan sebagai presiden untuk periode terakhir pada 20 Oktober 2019, di hadapan MPR RI menegaskan tujuan pemangkasan birokrasi memprioritaskan investasi untuk penciptaan lapangan kerja. Menurutnya, prosedur pengurusan investasi harus dipotong dan birokrasi yang panjang harus dipangkas.
Pemangkasan birokrasi ini sejalan dengan model implementasi kebijakan publik George Edward III yang menempatkan struktur Birokrasi sebagai satu dari empat variabel.
Menurut Edward, selain komunikasi, struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.
Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang mengakibatkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.
Namun, ketika tujuan pemangkasan eselon oleh Presiden Jokowi dimaksudkan untuk mengutamakan investasi, akan menjadi masalah karena berbeda dengan konsep the new public service yang dikemukakan Denhart (2003) bahwa tuntutan terbaru saat ini bagi ASN antara lain melayani warga negara bukan pelanggan (serve citizen not custumer); mengutamakan kepentingan publik (seek the public interest); dan lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship).
Persoalan lain yang muncul akibat kebijakan Presiden Jokowi yang bersikap keras terhadap ASN adalah kemungkinan ASN akan berafiliasi dengan kepentingan pejabat politik agar tidak tergusur dari jabatannya atau untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi. Jika ini terjadi, akan membuat ASN semakin jauh dari netralitas dalam melayani warga negara.
Meminjam pemikiran Thomas Hobbes, ada kesan kekuasaan ingin menenteramkan semua warga negara yang dianggap hanya sebagai mekanisme-mekanisme untuk membangun suatu tatanan sosial yang ramah investor.
Masalah lain yang perlu dilihat dengan birokrasi digital adalah masalah hubungan antara pejabat politik dan pejabat birokrasi. Dalam manajemen birokrasi modern, hubungan pejabat politik dengan pejabat birokrasi dilakukan secara profesional. Pejabat politik membuat aturan-aturan petunjuk dan pelaksana untuk mencapai tujuan suatu negara. Birokrasi akan bekerja secara profesional berdasarkan peraturan perundang-undangan dan tidak melibatkan diri dalam kepentingan politik. ASN dalam hal ini menjaga netralitasnya dari politik.
Bagaimana kalau pejabat politik memaksakan kehendaknya, tentu di sinilah akan menjadi dilema bagi birokrasi yang akhirnya membuat kemunduran dari birokrasi profesional.
Pada 2019, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat jumlah penduduk Indonesia yang terhubung dengan internet sebanyak 171,17 juta jiwa atau 64,8%. Dari jumlah itu, menunjukkan bisa jadi nantinya layanan birokrasi digital menjadi asing bagi masyarakat karena belum semuanya terhubung dengan internet.
Sesuatu yang menjadi pertanyaan dari perspektif analisis wacana politik, ada kepentingan apa di balik perombakan birokrasi? Apakah semangat memudahkan investor mengindikasikan kepentingan atau praktik politik, ideologi, atau ekonomi glonal?
Untuk menjawabnya, jalan pintas dan sederhana, saya meminjam pemikiran filsuf Giovanni Vattimo yang berpandangan tidak ada satu kebenaran atau norma yang menjadi pegangan.
Bagi dia, yang harus dilakukan adalah re-evaluasi of all value yang pada akhir kesimpulannya bahwa kebenaran yang sesungguhnya adalah cinta kasih.
Semoga Presiden Jokowi melakukan terobosan ini dengan cinta kasih untuk tujuan agar Indonesia segera maju sejajar dengan negara-negara maju lainnya, tentu dengan segala persoalan yang dihadapi yang harus mempertimbangkan kembali untuk membuat suatu terobosan. Termasuk membangun wacana dengan komunikasi yang bermartabat tanpa harus dengan nada-nada mengancam. ***
Tinggalkan Balasan
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *
The point of view of your article has taught me a lot, and I already know how to improve the paper on gate.oi, thank you. https://www.gate.io/pt-br/signup/XwNAU
I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article. https://accounts.binance.com/ro/register?ref=53551167