INTELEKTUALITAS HAMPA INTEGRITAS MORAL.

Oleh: Drs. Thomson Hutasoit.

Mencermati situasi berkembang akhir-akhir ini, terutama era kebebasan kebablasan, koridor patut dan tak patut sepertinya telah terabaikan ataupun tersingkirkan dari karakter mental, moral publik dalam berpikir dan bertindak ditengah interaksinya bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Jati diri seorang intelektual adalah berdiri kuat dan kokoh diatas kebenaran, kejujuran, keadilan dan integritas sebagaimana Sumpah/Janji Almamater sekalipun mendapat resiko berat atas keteguhan pendirian mempertahankannya. Hal itu, telah dibuktikan Socrates, Cicero, Marthin Luther King Jr, Plonius, Bung Karno, Bung Hatta, Nelson Mandela, dll dengan suka rela menerima hukuman atas kebenaran yang mereka yakini.

Forum Bandung (2009) mengatakan, “Ditengah situasi masyarakat yang tengah kehilangan orientasi (khaos), biasanya muncul ‘suara kebenaran’ layaknya sinar pelita, nun jauh di ujung lorong kegelapan, yang dengan itu masyarakat kembali memiliki semangat dan harapan. Suara kebenaran tidak selalu harus berasal dari rasul, nabi, filsuf, ataupun negarawan. Suara kebenaran bisa pula datang dari kaum intelektual ! Kaum intelektual, tidak terbatas akademisi (budaya-wan dan/atau tokoh masyarakat yang non partisan, termasuk dalam kategori ini), perlu mengingatkan masalah apa yang tengah, yang akan, dan yang harus dihadapi bangsa-nya. Suara jujur seperti itu akan memperoleh tempat di hati publik. Kaum intelektual harus bersuara”.

Akan tetapi sungguh sangat disayangkan dan disesalkan, para intelektual telah banyak berperilaku menyimpang sehingga muncul pameo “prostitusi intelektual atau pelacur intelektual” yang menjual dan menggadaikan jati diri demi remeh-temeh kepentingan politik sesaat. Sehingga eksistensi seorang intelektual berpihak kepada kebenaran, kejujuran, keadilan, integritas tercoreng dan ternodai di mata publik hingga titik nadir.

Forum Bandung lebih lanjut mempertanyakan, “Kenapa orang Indonesia yang katanya terpelajar itu berperilaku tidak sebagai insinyur atau sebagai ilmuwan. Jawabnya hanya satu, yakni kita tidak diajarkan budaya sains dan budaya teknologi, yakni: cermat, bersih, rapih, berdisiplin terutama datang tepat waktu, sistematik, methodical, lebih mudah bekerja dalam satu team, mendengarkan pendapat orang lain dalam berargumentasi, demokratik, fair dan jujur mengenai keilmuannya”.

Hal itu tentu harus menjadi permenungan bagi seluruh orang menyatakan diri seorang intelektual supaya tidak berbuat sesuka hati, seenak perut yang mencoreng dan menodai kaum intelektual tak berdosa.

Warning keras bagi intelektual agar selalu menjaga integritas moral telah diberikan Einstein “Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta. Kebutaan moral dari ilmu mungkin membawa kemanusiaan ke jurang malapetaka”. Bahkan, Charles Darwin mengatakan, “Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita”.

Sigmund Freud juga mengatakan, “Manusia bukan saja pandai membikin rasional namun juga cerdas membikin rasionalisasi. Bagaimana sikap seorang ilmuwan menghadapi cara berpikir yang keliru ?
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Bukan saja jalan pikirannya mengalir melalui pola-pola yang teratur namun juga segenap materi yang menjadi bahan pemikirannya dikaji dengan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu begitu saja tanpa suatu pemikiran yang cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir seorang awam”.

Bangsa Indonesia pasca kemerdekaan 74 tahun lalu, telah banyak melahirkan intelektual di berbagai disiplin ilmu tertentu. Sedangkan ketika masa perjuangan kemerdekaan kaum cendikiawan, intelektual masih bisa dihitung dengan bilangan jati tangan manusia.

Para pendiri bangsa (founding fathers) dengan jumlah sangat minim mampu menunjukkan dan memosisikan diri Intelektual memiliki integritas moral tinggi sehingga mereka mampu melahirkan karya monumental warisan generasi sepanjang masa yakni; Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, UUD RI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sebaliknya, ketika republik merdeka dan berdaulat ini telah dihuni segenung intelektual dari berbagai disiplin ilmu tidak mampu melahirkan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP) karya anak negeri mengganti UU KUHP buatan Penjajah Kolonial Belanda berumur ratusan tahun. Bahkan, ada yang menyatakan diri intelektual (mahasiswa, pakar hukum) menolak keras kehadiran UU KUHP dengan unjuk rasa atau demonstrasi anarhis dan biadab.

Pikiran keliru dan sesat pikir para intelektual di negeri ini, sadar atau tidak patut disayangkan dan disesalkan, sekaligus memalukan.
Betapa tidak…….???
Ketika usia negeri ini telah manofause (74 tahun) dan memiliki berjuta intelektual tidak mampu melahirkan UU KUHP buatan sendiri adalah sebuah aib memalukan. Anak negara merdeka dan berdaulat masih terpidana dan terpenjara dengan hukum penjajah kolonial, dimana para intelektual negeri ini……???
Apakah intelektual negeri ini bangga dan membusungkan dada tak mampu melahirkan produk legislasi (UU KUHP) sebagai cermin nyata negara merdeka dan berdaulat…..???

Ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Masalah moral tak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan kevenaran, diperlukan keberanian moral, seperti ditunjukkan Socrates, John Huss, dll yang rela mati mempertahankannya.

Sungguh miris melihat prostitusi intelektual atau pelacur intelektual di zaman edan ini. Demi mendapatkan akses keuntungan politik telah terang-benderang dan telanjang mengkhianati jati diri intelektualitasnya dengan argumentasi subyektif tendensius merobohkan kebenaran obyektif universal. Mereka telah lupa atau sengaja mengabaikan, “Perbedaan pendidikan antara manusia dengan binatang terutama terletak dalam tujuannya: manusia belajar agar berbudaya sedangkan binatang belajar untuk mempertahankan jenisnya”.

Sadar atau tidak akar permasalahan berbangsa-bernegara belakangan ini sesungguhnya ialah munculnya INTELEKTUALITAS HAMPA INTEGRITAS MORAL menjadikan kebenaran, kejujuran, keadilan, integritas tidak lagi fondasi berpikir, bertindak dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hipokrit, munafik, paranoid, melanggar norma, etika, hukum, adat budaya, adab dan keimanan dianggap cermin kebebasan dan hak asasi manusia (HAM).

Inilah yang harus segera diluruskan dan dibenahi agar “naluri kebinatangan” tidak membumihanguskan “nalar kemanusiaan” berorientasi kebenaran selaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mampu membedakan mana yang baik dan benar, mana yang tidak.

Salam NKRI…….!!! MERDEKA…….!!!
Medan, 14 Oktober 2019.
Penulis: Penasehat Dewan Pimpinan.Cabang Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (DPC ISRI) Kota Medan. (pendapat pribadi).

6 thoughts on “

  1. Thank you for your sharing. I am worried that I lack creative ideas. It is your article that makes me full of hope. Thank you. But, I have a question, can you help me?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *