*Memaksakan Wisata Halal Saat Saudara Sebangsamu Menangis Sulit Beribadah Di Negaranya Sendiri*

 Jemima Mulyandari .

Ada 2 kejadian yang sangat kontras yang akan saya bandingkan dalam artikel saya kali ini. Mencolok sekali perbedaannya menimbulkan rasa nyesek dan tak habis pikir yang sampai saat ini masih bergejolak dalam hati dan pikiran saya.
Minggu lalu kita baru saja dihadapkan pada kejadian memilukan di mana jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Efata, di Dusun Sari Agung, Desa Petalongan, Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau yang sedang melaksanakan ibadah pada hari Minggu, 25 Agustus 2019 dibubarkan dengan alasan aktivitas ibadah tersebut dianggap tidak pada tempatnya karena dilakukan di rumah penduduk (pendeta), bukan di rumah ibadah.

Saya sudah sempat menuliskannya dalam artikel berikut ini:
https://seword.com/umum/tolong-kami-pak-jokowi-tolong-kami-tuhan-yesus-NufhmPFjyy
Sampai saat ini saya masih tak habis pikir. Bagaimana bisa orang yang punya niatan suci beribadah jadi dihalang-halangi dengan berbagai macam cara seperti itu??? Dituduh Kristenisasilah, inilah, itulah.
Bagaimana bisa orang-orang yang mau melakukan hal yang baik bernama ibadah malah diperlakukan dengan tidak baik oleh orang-orang yang juga mengaku beribadah pada Tuhan???
Padahal rumusnya sangat sederhana: “Sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuat jugalah demikian kepada mereka”.
Ini bukan masalah mayoritas atau minoritas. Karena akhirnya memang terbukti dengan sendirinya. Cuma orang egois yang tidak bisa dan tidak mau memperlakukan orang lain sebagaimana dia sendiri ingin diperlakukan.
Dan faktanya, kejadian miris seperti ini tak hanya terjadi kali ini saja. Entah sudah ada berapa banyak kejadian memilukan semacam ini yang terjadi di negara kita. Tragisnya, luka menyakitkan itu “kalian” torehkan pada kami dengan mengatasnamakan Tuhan dan agama.
Sementara itu baru saja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melaksanakan penutupan Jalan Thamrin saat menyelenggarakan Muharram Festival pada hari Sabtu, 31 Agustus 2019 di Bundaran HI (Hotel Indonesia) Jakarta Pusat.
Tampak Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bersama warga DKI Jakarta melakukan salat Isya berjemaah saat menghadiri acara tersebut.
Saya tak bisa membayangkan dan tak berani membayangkan jika hal tersebut dilakukan oleh umat Non Muslim. Bolehkah dan bisakah kami yang punya hak dan kewajiban sama di negara ini melakukan hal yang sama seperti itu???
Sementara kami mengadakan ibadah di rumah kami sendiri justru dipermasalahkan??? Adakah yang bisa menjawabnya???
Di sisi lain, baru-baru ini sedang marak pemberitaan tentang wacana wisata halal di kawasan Danau Toba yang dilontarkan Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi. Saya jadi teringat saat Sandiaga Uno yang juga melontarkan ide senada saat kampanye di Bali. Dan sudah bisa diduga, wacana ini langsung menimbulkan polemik.
Ada yang mendukung, ada juga yang menolak. Yang mendukung ya elu lagi elu lagi. Itulah kalian yang saya tuliskan di sini dengan memakai tanda kutip. Yang menolak juga sudah jelas, terutama dari kalangan masyarakat yang bermukim di Kawasan Danau Toba dengan budayanya yang terkenal tentang penataan ternak dan pemotongan babi.
Disadari atau tidak. Diakui atau tidak, jika wisata halal ini diterapkan, jelas akan menimbulkan masalah baru yang ujung-ujungnya kita juga tahu sama tahu pihak mana yang lagi-lagi harus berkorban dan mengalah di tanah kelahirannya sendiri.
Jika berkorban dan mengalah ini memang perlu kami lakukan pasti akan kami lakukan dengan senang hati. Tapi janganlah “kalian” selalu mau menangnya sendiri dan mencari-cari terus alasan untuk menggencet kami yang sudah sering merasa terbuang di tanah kelahiran kami sendiri.
Suara adzan terdengar 5 kali sehari tak ada yang kami permasalahkan sejak awal. Tapi saat ada yang meminta dikecilkan volume pengeras suaranya, orang tersebut langsung dipenjara dengan vonis penistaan agama.
Lalu keadilan dan kebaikan macam apa yang bisa “kalian” jaminkan pada kami dari wacana wisata halal ini???

Karena sekalipun Pemprov Sumut sudah meluruskan informasi wisata halal Danau Toba bukan untuk menghilangkan budaya yang ada, namun untuk menyediakan fasilitas pendukung yang diperlukan bagi wisatawan muslim, gelagat dan potensi terjadinya pemisahan antar umat beragama dan suku bangsa dalam masyarakat sangat mungkin terjadi.
Cepat atau lambat yang namanya diskrimimnasi pasti akan terjadi. Sebab sekarang hal itu memang sudah terjadi di negara kita sekalipun belum ada yang namanya wisata halal. Dan nanti ujung-ujungnya pasti Syariah.
Belum lagi hobi mengkafirkan dan mengharamkan orang lain yang tak sama dengan dirinya yang sudah mulai jadi trend di negara kita, akan jadi makin tajam dengan adanya wisata halal ini. Suatu saat Bhinneka Tunggal Ika akan jadi kenangan di NKRI. Dijauhkan Tuhan kiranya hal itu dari negara kita. Amin.
Sementara itu dari pengakuan wisatawan Muslim yang pernah berlibur di Prapat, Toba, Samosir, dia tak susah mencari makanan halal di sana. Sholat pun tak susah. Mau sholat tinggal numpang sholat, pemilik rumah makan dengan senang hati mempersilahkan.
Dan nyatanya, selama ini tempat-tempat wisata yang menurut “kalian” tidak halal itu sudah berjalan baik dan menarik banyak wisatawan dengan segala keunikannya tanpa embel-embel halal sekalipun. Makanya saya memakai istilah memaksa untuk wacana yang seperti ini.
Lalu apalah artinya tempat-tempat wisata di Indonesia dipaksakan konsep halal dan haram dengan tujuan menarik wisatawan mancanegara dari negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei, tapi ujung-ujungnya persatuan dan kesatuan bangsa yang jadi taruhannya???
Tak bisakah “kalian” menghargai Danau Toba, Bali dan daerah-daerah di Indonesia lainnya yang sudah memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh tempat lain ini apa adanya tanpa harus menuntut macam-macam dengan tidak pada tempatnya???
Sementara sudah jelas hal itu sangat berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa yang saat ini nyata-nyata sudah dan sedang terancam oleh ulah kaum mabok agama yang hobi mengkafirkan dan mengharamkan siapa saja yang berbeda dengannya???
Yang ini halal yang ini haram diucapkan seenaknya sendiri sambil mengabaikan perasaan orang lain yang juga sama-sama manusia seperti “kalian”. Ujung-ujungnya yang haram harus dihancurkan atas nama agama sambil meneriakkan nama Tuhan. Tuhan yang sama yang menciptakan kamu, saya dan kita semua.
Inikah Indonesia yang “kalian” inginkan???
Akhirnya saya bisa menarik kesimpulan. Saat kebutuhan mewah dipaksakan dan diperjuangkan melebihi kebutuhan pokok nan mendasar dari seorang manusia, di situlah hati kecilmu yang bicara. Hati nurani yang baik, siapakah yang memilikinya???
Sumber referensi:
https://medan.tribunnews.com/2019/08/31/penjelasan-pemprov-sumut-soal-wisata-halal-di-danau-toba-yang-memicu-polemik
https://www.tagar.id/warga-muslim-sebut-danau-toba-tak-butuh-wisata-halal
https://news.detik.com/berita/d-4688513/jakarta-muharram-festival-anies-salat-isya-berjemaah-di-bundaran-hi

One thought on “

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *