ISTRI PENDETA: SIAPAKAH DIA? Salah satu yang saya syukuri dari istri saya Martha yang hari ini sedang berulang tahun, dia tidak pernah bikin masalah apalagi menjadi sumber masalah di jemaat HKBP yang saya layani. Yang ada Martha malah selalu terlambat tahu ada masalah di gereja HKBP. Mungkin ini disebabkan Martha punya profesi sendiri dan disibukkan dengan urusan rumah tangga dan anak2 sehingga dia tidak punya waktu dan minat lagi mengurusi urusan saya sebagai pendeta. Dan mungkin sebagian lagi disebabkan sejak awal kami sudah menegaskan bahwa di hkbp saya adalah pendeta sedangkan dia dan anak2 adalah anggota jemaat. Dan barangkali sebagian lagi faktornya adalah karena rumah tangga kami kayaknya cukup harmonis dan bahagia sehingga tidak berimbas buruk kepada kehidupan gereja.
Namun realita (tidak hanya di hkbp melainkan juga di gereja2 lain) ada cukup banyak istri pendeta jadi masalah atau bahkan sumber masalah di jemaatnya. Sebagian ini bisa disebabkan perilaku yang bersangkutan, kondisi rumah tangga, atau harapan yang berlebihan dari jemaat terhadap sang istri pendeta. Sudah lama saya menaruh perhatian apa dan bagaimana kehidupan rumah tangga pendeta itu, dan apa bagaimana pulak sang istri pendeta menjalankan hidupnya. Sebab itu ijinkan saya berbagi sedikit tentang pergumulan istri pendeta ini.
Guru saya Prof Robert Boehlke pernah mengatakan saban kali kita bicara tentang istri pendeta baiklah kita mengingat empat hal. Pertama istri pendeta itu adalah seorang pribadi. Dia bukan boneka, bukan mesin pembersih, bukan malaikat dan bukan bayang2. Dia anak manusia yang bertubuh berjiwa, punya nama pribadi, punya sejarah hidup, punya cita2 dan punya sejumlah kebutuhan (yang bila tak tercapai akan sedikit-banyak menimbulkan gangguan). Namun sedih ada cukup banyak istri pendeta justru kehilangan kepribadiannya dan tidak lagi menjadi dirinya sendiri. Mereka tak lagi disapa-menyapa dirinya dengan namanya melainkan status suaminya (inul = inang uluan, ipen = inang pendeta, ipres = inang praeses, obor). Padahal jabatan suaminya bukan miliknya dan tidak ada kaitannya secara langsung dengannya. Sebagian dari mereka dipaksa-memaksa diri menjadi tua sebelum waktunya. Sebagian lagi entah disuruh siapa bergaya hidup dan berpenampilan tidak sesuai dengan ekonominya. Anda ingin HKBP sehat, rumah tangga pendeta sehat, istri pendeta sehat raga dan jiwanya? Doronglah istri pendeta menjadi pribadi dan dirinya sendiri yang otentik. Mari kita dorong dan yakinkan istri pendeta bahagia dan bangga dengan tubuh, jiwa, karya dan pencapaiannya sendiri. Jangan paksa istri pendeta yang masih muda berlagak tua dan penuh wibawa. Sebaliknya ingatkan istri pendeta yang sudah tua agar jangan pulak tampil seperti perempuan usia duapuluhan. Dan baik muda atau tua istri pendeta tak perlu menyiksa diri dengan pakaian, model rambut, gaya bicara tertentu. Wajar2 dan biasa2 saja.
Kedua: istri pendeta itu adalah seorang perempuan. Dia bukan manusia kelas dua atau pinggiran. Dia bukan sekadar pembantu atau perpanjangan tangan laki2 termasuk suaminya yang pendeta itu. Dia bukan properti milik suaminya (apalagi milik gereja). Dia juga bukan sekadar penerus keturunan. Dia seorang yang terhormat sejak lahirnya bukan karena jabatan suaminya dan bukan pula karena apa yang dikenakannya di tubuhnya, dan bukan karena hartanya. Sebaliknya dia tetap seorang yang tetap terhormat sekalipun jabatan suaminya rendah, pakaiannya bersahaja dan harta miliknya tak banyak.
Istri pendeta tidak ada bedanya dengan perempuan lainnya. Dia tidak lebih suci dan tidak lebih buruk karena suaminya melayani sebagai pendeta dan hidup dari gereja. Sebagian istri pendeta sadar tak sadar mengganggap dirinya lebih tinggi dari anggota jemaat yang dilayani suaminya. Namun sebagian lagi di lubuk hatinya justru menganggap dirinya lebih rendah dan hina dibanding perempuan2 lain sehingga hidupnya penuh penderitaan dan keputusasaan.
Sebagaimana perempuan2 lainnya istri pendeta memiliki perasaan2 mendalam, ingin privasi, ingin dicintai, ingin tampil cantik, ingin mengatur dirinya dan rumah tangganya sendiri, dan ingin waktu2 khusus bersama suaminya dan tidak menghendaki kekerasan. Namun banyak pendeta melupakannya. Mereka sebagian lebih condong memperlakukan istrinya hanya sebagai pendamping dan “pembantu” belaka. Dan itu menjadi awal dari masalah besar.
Sebagai perempuan istri pendeta kadang atau selalu menghadapi stereotipe (cap) yang dikenakan masyarakat dan gereja. Baik stereotipe sebagai perempuan, perempuan batak, perempuan kristen, dan streotipe sbg istri pendeta. Semua itu beban luar biasa berat menekan baginya. Bagaimana dia sanggup membebaskan dirinya dari berbagai stereotipe itu agar tidak mengalami sakit jiwa?
Ketiga: istri pendeta adalah istri dari seorang laki2 yang kebetulan panggilan hidupnya adalah pendeta. Sebenarnya istilah Inang Pendeta (inang pendeta ressort, inang praeses, inang ephorus apalagi opung boru) tidak tepat. Jabatan pendeta tidak beristri atau bersuami. Yang beristri itu adalah pribadi yang mengampu jabatan tersebut. Sebab itu panggilan ke istri saya bukanlah “inang penres” atau “Ny DTA” melainkan “Inang Martha”. Sebab yang pendeta resort itu saya. DTA itu adalah saya.
Sebab itu istri pendeta pada hakikatnya tidak ada bedanya dengan istri polisi, istri pengacara, istri arsitek atau istri camat. Dia adalah istri dari seorang laki2 dan mereka terikat kpd perjanjian nikah berdasar kasih dan kesetiaan. Tak ada sekolah istri pendeta dan tak perlu. Cukuplah dia memahami dan memaklumi hakikat kependetaan suaminya dan ikut mendukungnya (sama seperti suaminya mendukungnya juga dalam profesi pilihannya). Selebihnya peranan istri pendeta dan istri pengacara sama saja (yang beda penghasilan suaminya saja). 🙂
Sebagian perempuan yg istri pendeta itu memiliki profesi di luar rumah sebagai perawat, pegawai negeri atau swasta, guru dll. Baik2 dan sah2 saja. Tak ada aturan yang melarangnya. Dari segi penghasilan rumah tangga malah bagus. Juga kebanggaan sang istri pendeta saat berbaju baru misalnya yang didapatnya dari keringatnya sendiri. Namun intinya istri dan suami sama2 bertanggungjawab dan berkontribusi mengelola rumah tangganya.
Pertanyaan sisipan: bolehkah istri pendeta berdagang? Berdagang onlen salah satunya? Jawabnya boleh. Yang tidak boleh adalah berdagang dengan memanfaatkan jabatan suaminya sbg pendeta atau memakai rumah dinas sebagai warung atau toko misalnya.
Namun sebagian atau sebagian besar istri pendeta memilih profesi sebagai ibu rumah tangga. Ini profesi yang sama baiknya dengan profesi lain. Mungkin mereka tidak dapat menambah penghasilan (kecuali mereka juga menjalankan usaha dagang onlen misalnya) namun mereka memiliki waktu yang lebih banyak mengurus rumah tangga dan keluarganya. Profesi apapun termasuk Ibu Rumah Tangga selama dijalani dengan sukarela, cinta, bangga dan gembira adalah baik dan berguna. Namun tentu sebaga IRT istri pendeta harus lebih kreatif dan kritis mengisi waktu luang dan kejenuhan.
Keempat: istri pendeta adalah anggota jemaat yang memiliki keistimewaan sangat dekat dengan pendeta. Pada akhirnya saya mau katakan istri pendeta (kecuali dia seorang pendeta atau pelayan tahbisan, sebab pendeta tak dilarang menikah dengan sesama pendeta atau bibelvrouw atau sintua) adalah anggota jemaat. Dia bukan parhalado. Dia bukan pejabat gereja. Sebab itu dia tidak boleh mencampuri urusan bisnis gereja. Dia harus tahu diri bahwa dia adalah anggota jemaat. Namun secara psikologis atau praktis tentu dia adalah yang paling dekat dengan pendeta. Sebab dia serumah dengannya dan bahkan mengikat perjanjian nikah abadi dengannya. Istri pendeta yang berhikmat tentu menggunakan kedekatan ini untuk mendampingi dan mendukung kebaikan suami, rumah tangga dan gereja bukan malah menggerogotinya. Semua orang membutuhkan pendamping termasuk pendeta. Namun selalu ada saja godaan bagi pendamping untuk bertindak di luar batas atau melebihi tugasnya. Untuk itu dibutuhkan ketegasan seorang pendeta untuk mengatakan dengan lembut kepada istrinya: Don’t disturb my office. Don’t interfere in my priesthood! 🙂
Tamat.
Daniel Taruli Asi Harahap, Kalimantan