HUTAN ADAT
*Peta Indikatif Hutan Adat Cegah Tumpang Tindih Peruntukan Lahan*

ICHWAN SUSANTO
28 Mei 2019

JAKARTA, KOMPAS – Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat menjadi sarana untuk menghadang izin-izin dan peruntukan lain akan menggunakan area tersebut. Kini setidaknya 453.831 hektar lahan di berbagai kawasan di Indonesia dalam Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 312 tahun 2019, dicadangkan bagi hutan adat untuk menghindari tumpang-tindih peruntukan hutan.

“Peta indikatif ini mem-block interest-interest lain yang ingin masuk. Ini kombinasi cara bekerja untuk mengatasi (konflik) tenurial dan mengurangi sumber konflik serta mencari jalan keluar,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, Senin (27/5/2019) di Jakarta, seusai peluncuran Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I.

Karena itu, peta tersebut membantu dalam penurunan konflik-konflik masyarakat adat di lapangan. Peta ini pun menjadi acuan bagi lintaseselon I di lingkungannya sebelum menerbitkan izin atau konsesi agar tak berbenturan dengan wilayah indikatif hutan adat.

Lebih lanjut, ia pun mengatakan peta indikatif ini bisa diakses publik. “Justru tujuannya itu, supaya berbagai pihak tahu bahwa di daerah situ sudah diperuntukkan bagi hutan adat,” ungkapnya.

Ia mengatakan regulasi dan kebijakan terkait masyarakat adat yang dilakukan KLHK saat ini merupakan kerja birokrasi dan society. Kerja birokrasi didasarkan pada regulasi yang ada. Adapun Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 mensyaratkan peraturan daerah dalam pengukuhan hutan adat.

Kebijakan yang diluncurkan itu diapresiasi sejumlah pihak meski diragukan bisa membantu percepatan penetapan dan pengakuan hutan adat. Berdasarkan pengalaman lima tahun perjalanan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 hingga kini, pemerintah baru menerbitkan 22.193 ha hutan adat.

*Terkendala*

Kendala utama pada syarat pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat melalui peraturan daerah seperti diamanatkan pasal 67 ayat 2 UU 41/1999 tentang Kehutanan. Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan no 21 tahun 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak yang diundangkan 10 Mei 2019, syarat ini kembali diberikan (Kompas.id, 27 Mei 2019).

Dengan kata lain, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru bisa menerbitkan hutan adat pada kawasan hutan bila masyarakat adat dan wilayah adatnya tersebut telah mendapatkan pengakuan dalam Perda. Bila hutan adat bukan dalam kawasan hutan, masyarakat adat “hanya” membutuhkan pengakuan melalui keputusan kepala daerah.

“Komitmen pemerintah sesuai koridor sekarang itu sudah optimal. Beberapa yang paling kongkrit adalah peta pencadangan sudah ada wilayah adat yang  belum ditetapkan tapi sudah dipastikan terhindar dari intervensi dengan ditetapkan sebagai cadangan,” kata Yando Zakaria, Pendiri Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat Jogja, Senin di Jakarta.

Namun, realitas lapangan menunjukkan langkah tersebut tidak cukup. Dari 9,3 juta hektar usulan hutan adat, sejumlah 6,5 juta hektar dalam kawasan hutan atau membutuhkan perda untuk ditetapkan sebagai hutan adat definitif.

Dari sisi kekuatan hukum, seluas 2.890.492 ha tidak mempunyai produk hukum dan 3.660.813 ha memiliki produk hukum. Dari 3,6 juta tersebut, baru 6.495 ha memiliki perda pengakuan masyarakat hukum adat, seluas 185.622 ha memiliki perda pengaturan dan SK pengakuan, seluas 226.896 ha memiliki SK pengakuan masyarakat hukum adat,  seluas 3.067.819 ha memiliki perda pengaturan, dan 274.771 ha berupa produk hukum lain.

Ia menambahkan, kemampuan dan akses masyarakat adat kepada pemerintah daerah untuk meminta penyusunan perda beraneka macam. Umumnya mereka memerlukan advokasi lembaga swadaya masyarakat. “LSM bekerja karena ada donor. Masak nasib masayarakat dipertaruhkan dengan donor,” ujarnya.

Karenanya, ia menilai kebijakan sebagai upaya menjalankan amanat konstitusi malah menghambat pengakuan tersebut. Bahkan, ia menyebut kebijakan tersebut menjadi “sekadar ada”atau basa-basi karena sulit dijalankan di lapangan.

Secara terpisah, Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mengatakan Peraturan Menteri LHK baru, yakni Peraturan Menteri LHK 21/2019 sebagai pengganti Peraturan Menteri LHK 32/2015 tentang Hutan Hak, malah membatasi pengukuhan hutan adat. “Berbeda dengan Permenlhk 32 sebelumnya disebutkan pengukuhan hutan adat dapat dilakukan melalui produk hukum daerah. Kalau harus dengan perda prosesnya rumit dan berat,” katanya.

Yando mengatakan pascaputusan Mahkamah Konstitusi 35/2012, hingga kini kemajuan pengakuan masyarakat adat beserta ruang kelola hutan adatnya sangat lamban. Itu disebabkan ketiadaan kesesuaian antara norma hukum dengan realitas lapangan.

Ia meminta agar Presiden Joko Widodo menunjukkan keseriusan memberikan keberpihakan pada masyarakat adat dengan menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-undang untuk mencabut pasal 67 ayat 2 UU Kehutanan yang mensyaratkan Perda untuk pengukuhan masyarakat adat. Hal itu sangat memungkinkan karena pengalaman masa lalu telah membuktikan.

Ia menunjukkan pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Perpu 1 tahun 2004 yang memperbolehkan aktivitas tambang di hutan lindung dengan metode bawah tanah. “Kenapa pemerintah tidak bikin perpu sama tapi untuk masyarakat adat. Perpu mencabut pasal 67 tidak perlu lewat politik cukup administrative seperti itu,” kata dia.

Terkait syarat kegentingan pada sebuah penerbitan Perppu, saat ini kondisinya seperti itu. Sejak Indonesia merdeka tak mengakui masyarakat adat meski telah menjadi amanat konstitusi pasal 18b ayat 2 UUD 1945. “Kriminalisasi hak-hak masyarakat adat akibat ketidakjelasan itu terus terjadi seperti dilaporkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara tiap tahun,” kata dia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *