APA KESALAHAN JOKOWI TERHADAP RAKYAT SUMBAR? BUKAN SAJA JOKOWI KALAH DI SITU, TETAPI SEKARANG PUN MEREKA MEMINTA JOKOWI UNTUK MUNDUR

JOKOWI PERNAH BIKIN DOSA APA TERHADAP RAKYAT SUMBAR?

Juzar Junin: Jakarta May 20, 2019

Seorang teman dari salah satu WAG meminta saya untuk menjawab pertanyaan di atas.

Melalui tulisan ini, saya coba menjawab sebatas kemampuan saya dan se-objective mungkin. Tapi perlu saya ingatkan bahwa jawaban saya belum tentu mewakili pemikiran dari 86% rakyat Sumbar, karena saya sendiri termasuk minoritas yang berada dalam kelompok yang hanya 14% saja. Jawaban saya merupakan kesimpulan dari beberapa dialog terbuka dengan kerabat2 Minang pada umumnya dan kelompok pendukung paslon 02 khususnya serta dengan melihat dan membaca postingan mereka di berbagai media sosial. Jadi tulisan ini mungkin lebih tepat disebut sebagai opini, yang sekali lagi, belum tentu mewakili pemikiran mayoritas masyarakat Sumbar.

Jawaban pendeknya: Dosa Presiden Jokowi terhadap masyarakat Sumbar adalah karena beliau memberi perhatian terhadap daerah Sumbar dan menggerakkan pembangunan di sana seperti yang beliau lakukan terhadap daerah-daerah lain yang selama ini terabaikan. Hehehe… just kidding.

Jawaban panjangnya: Dalam konteks kenapa Jokowi kalah telak di Sumbar dan bahkan diminta untuk mundur, bisa jadi karena mereka sangat membenci Jokowi. Kemungkinan lainnya mereka sangat mencintai Prabowo, atau kombinasi dari keduanya. Kalau pertanyaannya kenapa mereka begitu mencintai Prabowo, saya tidak punya jawabannya. Imajinasi sayapun gagal menggambarkannya, karena apapun alasan yang pernah saya dengar dari mereka, sama sekali tidak bisa masuk ke akal sehat saya. Jadi saya tidak akan membahas sisi yang ini. Sebaliknya dari beberapa tulisan yang beredar di medsos dan dari pembicaraan saya dengan banyak teman-teman dari Sumbar termasuk teman-teman alumni saya, maka menurut saya ada 3 faktor utama yang membuat mereka menolak bahkan membenci Presiden Jokowi.

1. KRITERIA YANG DIGUNAKAN DALAM MEMILIH PEMIMPIN
Masyarakat Minang menggunakan TAKAH, TAGEH, TOKOH sebagai kriteria dan pembenaran (rationale) dalam memilih pemimpin. Menurut mereka seorang pemimpin harus memenuhi kriteria ini. Coba kita lihat, apa itu Takah, Tageh dan Tokoh.

TAKAH
Takah adalah sebuah atribut fisik yang berkaitan dengan penampilan atau tongkrongan. Orang yang takah adalah orang yang berpenampilan cakap, memiliki tongkrongan yang mantap, postur yang kekar, segeh (istilah Minang untuk keren), enak dipandang, modis, up-to-date, elok dibao ka tangah (bagus untuk “dipajang”), pantas untuk di-idolakan, dst. dst. Dengan kata lain seorang pemimpin harus memiliki atribut-atribut fisik di atas. Ibarat buku, kulitnya harus cantik. Judging a book by its cover? Apparently.

Dari kriteria ini mereka melihat bahwa Jokowi tidak memenuhi syarat kepemimpinan yang mereka inginkan. Jokowi tidak pantas memimpin, tidak takah karena perawakannya yang kurus kering (seperti saya), wajah dan ekspresinya yang polos dan lugu (meminjam istilah mereka: planga plongo), gaya berpakaiannya yang sederhana (kemeja putih dengan lengan panjang yang digulung setengah tiang). Cara bicaranya pun sangat bersahaja, tidak menggelegar seperti para politisi dan orator pada umumnya. Bahasa Inggerisnya pun menuai kritikan karena dianggap tidak memadai, padahal Presiden Jokowi selalu menggunakan bahasa Ingeris setiap kali tampil di forum Internasional. Mereka lupa, Suharto misalnya pada masanya tidak pernah menggunakan bahasa Inggeris sama sekali, karena dia memang tidak bisa berbahasa Inggeris. Tapi Suharto takah? Jawab aja sendiri.

TAGEH
Tageh adalah kosa kata Minang yang berarti tegas. Punya prinsip. Konsisten. Ucapan sejalan dengan perbuatan. Sekali bilang putih, tetap putih. Tidak mencla mencle, tidak bagaikan pimpiang (sejenis semak yang tumbuh di pebukitan) di lereng; kemana arah angin, pimpiang akan condong ke sana.

Mereka tidak melihat ketegasan sebagai bagian dari karakter Jokowi, mungkin karena cara bicara Pak Jokowi yang tidak ber-api2, tidak me-ledak2 dan ber-teriak2 sambil mengacungkan kepalan tinju ke langit dan menggebrak meja atau podium sebagai lambang “ketegasan” seseorang. Mereka juga gagal melihat ketegasan dan keberanian Presiden Jokowi dalam mempertahankan prinsip demi kedaulatan dan harga diri Bangsa dan Negara ini. Begitu juga dalam menjalankan roda pemerintahan. Lihat bagaimana tegas dan beraninya Presiden Jokowi dalam membela dan mengedepankan kepentingan Bangsa seperti misalnya menenggelamkan kapal-kapal asing pencuri ikan di lautan Indonesia, membubarkan Petral, mengambil alih Freeport, blok Rokan dll., membubarkan ormas radikal, memberantas korupsi termasuk mengusut uang-uang hasil korupsi yang diparkir di luar negeri, dan banyak lagi yang lain yang beliau lakukan dengan melawan arus dan menghadang resiko.

TOKOH
Figur publik, terkemuka, kenamaan, tersohor, populer, berwibawa, karismatik. Lagi-lagi di sini mereka tidak melihat ketokohan dalam kepribadian Pak Jokowi. Kenapa? Karena beliau tidak berasal dari keluarga ningrat atau yang berdarah biru. Padahal siapa saja bisa mencuat menjadi tokoh dari reputasi dan prestasi yang dicapainya terlepas dari latar belakang keluarga. Ketokohan tidak ada kaitannya dengan garis keturunan maupun ras.

Dengan prestasinya yang berjenjang mulai dari tukang kayu, exportir perabot, Walikota dua periode, Gubernur dan akhirnya Presiden, ketokohan Jokowi sudah tidak bisa diragukan. Dunia mengakuinya dan saya belum pernah melihat sebegitu banyak pengakuan (recognition) pemimpin negara-negara asing terhadap seorang Presiden Indonesia. Namun bagi mayoritas masyarakat Sumbar, semua itu merupakan fakta yang semu.

Kalau mau dibahas lebih jauh, dari ketiga kriteria ini, saya tidak melihat personal dan leadership values yang justru sangat dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin negara sebesar Indonesia seperti misalnya rekam jejak, integritas, keberanian, kinerja, nasionalisme, dll. Sepertinya orang Sumbar tidak peduli dengan rekam jejak calon pemimpin yang mereka usung. Selama pemimpin itu takah, tageh dan tokoh, mereka tidak peduli walaupun dia korup, otoriter bahkan tidak memiliki keberanian dan kinerja yang baik.

2. FAKTOR KEBENCIAN
Kita tidak akan pernah tahu alasan sebenarnya mengapa seseorang membenci orang lain. Namun dari banyak tulisan yang mengekspresikan kebencian mereka kepada Presiden Jokowi, saya berani menyimpulkan kebencian itu tertanam di hati mereka karena sudah terlalu banyak menelan hoax, kebohongan, fitnah dan hasutan yang sengaja diciptakan untuk mengelabui pikiran mereka. Dan, mereka membiarkan diri mereka dibodohi dengan menutup rapat-rapat alam pikiran mereka.

Saya katakan mereka berhasil dibodohi karena mereka begitu yakin bahwa Presiden Jokowi itu PKI, kafir, antek asing/aseng, memiliki garis keturunan yang tidak jelas, menjual asset negara, menfasilitasi jutaan tenaga kerja Cina, ingkar janji kampanye, anti-Islam, mengkriminalisasi ulama, dan lain sebagainya. Mereka menolak penjelasan dan fakta apapun yang disuguhkan ke mereka karena mereka hanya mau mendengar apa yang ingin mereka dengar.

Kenapa mereka gampang termakan issue? Mayoritas orang kita, orang Sumbar khususnya tidak suka membaca, tapi sangat doyan dan menikmati video dan meme yang beredar di medsos. Kita tahu begitu banyak video yang viral, dan tidak sedikit yang hasil editan. Video dan meme terbukti sebagai alat komunikasi yang sangat efektif dan ampuh menebar hoax dan kebohongan. Kita juga tahu, suatu kebohongan apabila diucapkan berulang-ulang akan menjadi kebenaran (bagi yang bodoh dan orang-orang yang closed-minded).

3. FAKTOR AGAMA
Warga Sumbar merasa diri mereka identik dengan Islam, orang yang agamis, taat beribadah, shaleh/shalehah. Karena mereka meyakini bahwa rezim ini anti-Islam dan banyak mengkriminalisasi “ulama” serta pemuka2 Islam, maka hal ini juga menimbulkan kebencian terhadap Jokowi. Mereka ingin dipandang sebagai kekuatan Islam yang memperjuangkan kepentingan Islam. Ironisnya, seperti yang pernah disampaikan Prof. Mahfud MD bahwa mereka itu katanya memperjuangkan Islam, tapi calon pemimpin yang diusung, shalat saja tidak ngerti.

Sebagai penutup, masyarakat Minang memiliki sebuah falsafah yang dijadikan sebagai pedoman hidup: “Alam takambang jadi guru. Adat basandi alam, alam basandi ka Nan Kuaso.” Terjemahan bebasnya: Kita harus bisa mengambil pelajaran dari alam yang terbentang luas ini. Adat istiadat dan perilaku kita mestinya basandi (bertumpu) pada alam, karena alam itu tumpuannya adalah Yang Maha Kuasa. Artinya, kehidupan ini dinamis, tidak jalan di tempat. Segala sesuatu berubah. Satu-satunya yang konstan dalam hidup ini adalah perubahan itu sendiri. Saya terpaksa mengambil contoh dari apa yang saya alami sendiri. Pada pilpres 2014 saya pendukung militan paslon Prabowo-Hatta, karena berdasarkan informasi yang saya miliki saat itu, menurut saya pasangan inilah yang pantas memimpin Indonesia untuk 5 tahun ke depan. Alasan lain memilih paslon ini adalah karena saya kecewa dengan Jokowi yang meninggalkan kursi gubernur DKI untuk menuju istana, padahal waktu kampanye beliau berjanji akan menyelesaikan tugasnya sebagai gubernur selama 5 tahun. Singkatnya, dengan berjalannya waktu, alam memberi saya “pencerahan”, mata dan hati saya terbuka, saya diberi-Nya hidayah untuk bisa melihat sepak terjang Presiden Jokowi selama 4.5 tahun kepemimpinannya. Sebaliknya saya tidak melihat perkembangan apapun dari figur yang dulu saya idolakan. Lebih parah lagi, saya melihat dan mendengar banyak hal-hal yang dia lakukan yang tidak bisa saya banggakan. Paradigma saya berubah, perspective saya bergeser yang akhirnya membuat saya “memaafkan” Jokowi yang ingkar janji serta menjatuhkan pilihan saya pada paslon Jokowi-Amin.

KESIMPULAN
Menurut saya, dosa Jokowi yang membuat dia kalah telak di Sumbar dan bahkan dia diminta untuk mundur adalah karena di mata mayoritas masyarakat Sumbar beliau tidak memiliki fisik yang keren, tongkrongan yang gagah, artikulasi yang bagus dalam berbahasa Inggeris. Beliau tidak memenuhi kriteria Takah, Tageh, Tokoh.

Masyarakat Sumbar menggunakan kriteria yang sudah usang. Pepatah “Adat nan indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan” (Adat yang tidak pernah berubah sepanjang masa) mereka yakini secara membabi buta (blind faith). Nyatanya alam selalu berubah, tapi mereka jalan di tempat.

Mayoritas masyarakat Sumbar membenci Presiden Jokowi karena tidak mengetahui siapa beliau sesungguhnya. Mereka mengenal beliau hanya melalui hoax dan berbagai informasi miring yang bertebaran di media sosial. Padahal orang Minang terkenal jeli dalam melihat sesuatu. “Tau ereng jo gendeng, tau rantiang nan kamancucuak, alun bakilek alah bakalam, ikan didalam aia alah tau jantan batinonyo”. Jika diterjemahkan secara bebas, kira-kira maksudnya adalah: Orang Minang sangat paham akan kiasan, tahu akan bahaya yang menghadang, bisa melihat yang samar-samar bahkan ikan yang di dalam airpun sudah bisa diketahui jenis kelaminnya. Dengan kejelian serupa itu, mestinya mereka bisa memilah-milah informasi dan membedakan antara hoax dan yang benar. Saya tidak mengatakan mereka itu bodoh, tapi closed-minded. Fakta dan kenyataan apapun tidak bisa merubah mindset seseorang apabila sudah terlanjur meyakini sesuatu, begitu juga kebencian. Kebencian adalah penyakit hati yang hanya bisa disembuhkan dengan hidayah-Nya. Tapi jika seseorang tidak membuka hatinya dan tidak menggunakan akal pikirannya, Tuhan tidak akan pernah memberinya hidayah. Apabila seseorang tidak menggunakan akalnya, Tuhan tidak akan memberinya petunjuk.

Salam
Juzar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *