*Runtuhnya Karakter Orang Batak*
Oleh : Birgaldo Sinaga
Saya harus menarik nafas dalam2 mendengar kegusaran teman saya. Saya pandangi wajah lelahnya. Lelah menghadapi kerasnya pertarungan pileg di dapilnya.
“Saya sudah habis 700 juta lae. Tapi itu semua pemberian saya beberapa waktu lampau. Sekarang tak dianggap sama sekali. Sekarang semua meminta ingkon adong hepeng togu-toguna”, ujar teman saya kesal.
Matanya menatap jauh. Tarikan asap rokoknya dalam. Hembusannya panjang. Ada gurat kecewa dan terluka di perasaannya. Bagaimana tidak. Teman saya ini sejak setahun lalu sudah wara wiri sosialisasi ke perkumpulan warga, komunitas marga, gereja juga.
Jika masuk ke suatu perkumpulan selalu ditinggalkan bantuan. Apa yang diminta perkumpulan itu kerapkali dipenuhi. Sound system, seragam baju, bantuan dana dlsb selalu diberikan. Harapannya tentu ada imbal balik dalam pesta demokrasi 17 April mendatang. Total jenderal sudah habis 700 juta.
Tapi apa yang terjadi?
Mendekati hari2 pencoblosan semua sosialisasi yang pernah dikunjungi pada membelot. Tetiba caleg lain menawari harga tiap suara. Satu suara dihargai 150 ribu. Warga komunitas yang dulu menyambutnya dengan dingin meminta hepeng uang pada teman saya. Sesuai harga pasaran. Jika tidak bakal hanyut suara si caleg.
“Saya harus bagaimana lae? Ngeri kali halak kita ini. Namboru dan bere saya juga minta uang togu2. Gila gak lae”, ucapnya lirih.
Perang amplop terasa anyir baunya. Satu daerah padat penduduk yang berbasis suku Batak terjadi saling bantai. Warga pemilik suara juga pasang harga. No money no vote. Tak ada uang tak ada suara. Harga mati.
Ujungnya teman saya ini menyerah. Ia tidak punya pilihan lain. Jika tidak ikut arus pasar, ia bakal hanyut tenggelam. Mau tidak mau suka tidak suka pemerasan warga itu dipenuhinya. Tak ada jalan lain. Racun melawan racun. Uang melawan uang. Begitu dalilnya.
Saya mendengar darinya si anu pasang tarif senilai x. Caleg anu lain pasang harga berlipat dua. Pokoknya pileg kali ini benar2 tak ada lagi nilai persaudaraan dan persahabatan. Uang menjadi kunci.
Orang Batak tidak hanya di Batam, di kampung halaman juga Tanah Batak Sumut sana juga lebih sadis. Kanibalisasi antar caleg dengan selimut duit begitu massive menerobos sekat2 dinding rumah warga. Gereja dan peradatan juga setali tiga uang. Kena virus uang.
Di Batam sudah jamak ada gereja identik kavling si caleg anu. Gereja itu kavling si caleg ono. Gembala gereja tidak lebih jadi jongos si politikus. Sudah tunduk menjadi corong si politikus yang punya kepentingan pribadi agar bisa duduk terus di kursi dewan. Jemaat bagai kerbau dicucuk hidung. Kemana maunya si politikus kesanalah mereka. Maklum sumbangan dana gede mengalir dari si politikus yang memanfaatkan bantuan sosial dari pemerintah daerah.
Kerusakan mental dan karakter orang Batak sudah dalam kondisi akut. Suara2 putus asa terdengar dari caleg berkantong cekak. Mereka di penghujung hari pencoblosan mati akal dengan fenomena hepeng do na mangatur negara ta on (uanglah yang mengatur negara ini).
Orang Batak telah terjerembab karakternya ke titik nadir. Hampir sebagian besar sudah kehilangan hak sulungnya. Menjual hak kesulungannya dengan selembar rupiah. Menjadi si Esau dalam kisah kuno dalam cerita Alkitab.
Saya mencoba melihat gejala runtuhnya karakter orang Batak yang terkenal setia kawan dan teguh memegang prinsip. Apa penyebabnya? Mengapa bisa jadi begini?
Sulit mencari sosok teladan dan panutan lagi di kalangan orang Batak. Filosofi hamoraon, hasangapon, hagabeon benar benar merasuk dalam sukma orang Batak. Semua berlomba menjadi kaya raya. Semua berlomba menjadi pejabat. Semua berlomba ternama keturunannya.
Ujungnya dalam kekerabatan orang Batak orang kaya rayalah yang dihargai dan dihormati. Jika tak punya uang jangan banyak bicara. Lebih baik diam dan tidak banyak bicara.
Hari ini terasa dada saya sesak. Sudah separah itukah pola pikir dan pola sikap saudara satu etnis ku? Saya terdiam mengurut dada mendengar curhat teman saya yang sudah habis milyaran ini. Ia merasa diperas. Disedot. Dihisap oleh saudaranya sendiri meskipun sudah memberikan bantuan begitu banyak tahun lalu.
“Ito…yang ito bantu sound system dulu itu ikhlas tidak. Kalo sekarang semua membayar satu suara 200 ribu. Terserah itolah. Mau apa tidak”, kata seorang warga tanpa merasa berdosa.
Kawanku meringis kecil. Di dalam jiwanya bergejolak dendam membara. Tunggulah nanti kalo saya dilantik. Kalian semua akan mendapatkan balasannya.
Ohh opung mula jadi na bolon… Bohama nasib bangso Batakkon…
Sedih. Saya meratapi semua ini. Salam perjuangan penuh cinta
Birgaldo Sinaga
Can you be more specific about the content of your article? After reading it, I still have some doubts. Hope you can help me.