JOKOWI, PRABOWO, HARARI

(Tulisan ini saya susun dari bahan paparan seorang perwira tinggi TNI-AD yang tak mau disebut namanya.)

“The Winter is coming…”.  Kalimat ini, yang mengingatkan akan datangnya sesuatu yang gawat — yang berulang kali diucapkan dalam film “The Games of Throne”  — dikutip Presiden Jokowi dalam pembukaan Sidang IMF di Bali tahun lalu.

Kiasan “musim dingin” itu dipilih dengan memanfaatkan keterkenalan film   produksi HBO yang beredar sejak 2011 itu.  Dan  Jokowi menggunakannya untuk berbicara kepada forum internasional, yang terutama diwakili delegasi Amerika dan Eropa dan negeri empat musim lain. Di musim dingin — sebagaimana tergambar dalam “Games of Throne”— kebekuan akan ada di mana-mana, suhu akan melumpuhkan, dan satu kekuatan destruktif yang tak terbayangkan akan mara.

Kiasan itu juga tepat: pidato Jokowi diucapkan di arena di mana persaingan kekuatan-kekuatan besar sedang berkecamuk.  Ada yang mengkhawairkan di sana. Ada ancaman bagi seantero manusia di muka bumi.

Thema ancaman global ini kemudian diulangi Jokowi  di depan “civitas academica” Universitas Kristen Indonesia pada Dies Natalie ke-65 Oktober tahun lalu:

“Perebutan kekuasaan antara kekuatan besar itu bagai roda besar berputar, seperti siklus kehidupan. Satu negara elite tengah berjaya sementara negara lain mengalami kemunduran dan kehancuran. Tatkala kekuatan-kekuatan besar sibuk melawan satu sama lain, mereka tidak sadar adanya ancaman yang lebih besar, misalnya perubahan iklim, terorisme global dan menurunnya ekonomi global,”

Dengan pandangan itu, Jokowi melihat betapa pentingnya kerja sama internasional. “Konfrontasi dan perselisihan antarnegara akan mengakibatkan penderitaan. Bukan hanya bagi yang kalah, namun juga yang menang”

***

Di sini tampak benar perbedaan pandangan Jokowi dengan Prabowo.

Seperti kita dengar dari debat Capres ke-3, Prabowo menekankan strategi pertahanan nasional dengan perspektif lama.   Pandangannya didaur-ulang dari masa   ketika dunia dibentuk oleh perang antar negara-bangsa, seperti antara India vs Pakistan (pertama kali tahun 1947 dan terakhir, dalam bentuk konflik terbatas, tahun 1999),  Vietnam vs RRT(1979),  Iraq vs Kuwait (1990).

Memasuki abad ke-21,  para pemikir strategi makin menyadari bahwa perang skala besar tak akan menghasilkan sesuatu yang berarti bagi negara yang melancarkannya; dengan beaya yang besar, perang akan  mempersulit diri.  Pengalaman Irak dalam menyerbu Kuawit dan pengalaman AS semenjak menyerbu Irak adalah contohnya.

Kita belum tahu dampak intervensi militer Rusia di Ukraina yang belum selesai sampai hari ini, tapi perang semacam ini — antar negara tetangga — praktis tak terbayangkan terjadi di Indonesia di masa depan yang dekat. Negara superkuat yang dengan mudah menjangkau kita adalah RRT, tapi pertimbangan rasional akan mencegah Beijing menyerbu Indonesia.  Ongkos yang harus dibayar akan sangat besar, dan apa yang dicapai tak jelas:  kalaupun menang atas negeri 17000 pulau dan 260 juta penduduk ini, pengelolaan pasca-perang  akan mencemplungkan RRT ke dalam sumur tanpa dasar.

Maka Jokowi benar untuk menggunakan analisa intelijen TNI:  di masa 20 tahun mendatang diperhitungkan Indonesia tak akan menemui ancaman perang.

Prabowo membantah ini. Ia pernah mendengarnya, tapi menurut dia,  analisa itu keliru.

Saya mula-mula menyangka ia akan membuktikannya dengan satu kasus yang meyakinkan, tapi ternyata ia menggunakan contoh yang sama sekali salah: Perang Timor Timur. Aksi militer Indonesia di Timor Timur terjadi bukan karena ancaman kekuatan militer dari daerah yang waktu itu belum jadi negara nasional.  Perang terjadi karena tentara Indonesia menyerbu wilayah itu untuk menduduki dan menguasainya, dengan dalih menangkal “bahaya komunis” yang diduga datang dari satu kelompok politik di Timor Timur.  Kini kita tahu, alasan “ancaman komunis” itu tak kuat dasarnya. Timor Timur lepas dari kekuasaan Indonesia, tapi tak lahir sebuah republik komunis.

Maka, bagi saya tak jelas bagaimana Prabowo mengevaluasi “ancaman”, baik besarnya maupun urgensinya. Akibatnya tak jelas pula di mana respons terhadap ancaman itu dalam skala priotitas.

Dalam hal ini Jokowi benar:  dengan gambaran yang belum jelas itu, prioritas dewasa ini bukanlah masuk ke dalam perlombaan persenjataan.   Prioritas adalah memperkuat basis ekonomi politik.

Basis ini ikut menentukan. Kekalahan Uni Soviet dalam Perang Dingin antara 1940–1980-an bukan karena keunggulan senjata NATO, melainkan karena rapuhnya Uni Soviet dari dalam.  Ia menghabiskan anggarannya buat persenjataan supermodern —- agaknya terpancing oleh lawannya — tanpa cukup sumber-sumber ketahanan ekonomi dan politik.

Dalam hal ini Prabowo tampak hidup dalam pemikiran strategis lama, yang berkembang sebelum Perang Dingin berubah secara mendasar.

**

Di sini kita bisa belajar sedikit dari perspektif kesejarahan Harari.  Penulis buku “Sapiens” dan “Homo Deus” yang terkenal ini juga menulis “Lessons for the 21st Century”.

Pelajaran yang perlu diambil dari perkembangan sejarah buat abad ke-21 adalah semakin cepatnya perubahan.  Ini tentu saja bukan kesimpulan baru;  di tahun 1970, Alvin Toffler menulis “The Future Shock” untuk menunjukkan bahwa tiap hari kita dipergoki dengan hal-hal yang baru, seakan-akan kita melompat ke dalam masa depan. Harari melanjutkan perspektif Toffler:  dunia bukan hanya berubah cepat, tapi tingkat perubahan itu sendiri makin rapat.  

Tapi yang membuat ia penting kita dengar dalam percakapan kita sekarang adalah analisanya tentang perubahan pengertian “ancaman”.

Ancaman yang gawat (dalam kata-lata Harari, “ancaman eksistensi’) di abad ke-21 bersifat global:  bukan hanya dihadapi masing-masing bangsa dan negara.

Pertama, ancaman perubahan iklim yang makin cepat. Kenaikan suhu bumi akibat cerobohnya manusia dalam mengelola lingkungan (terjadinya polusi, menipisnya lapisan ozon di angkasa, dan lain-lain), secara berangsur-angsur akan membuat gunung-gunung es di kutub mencair.  Akibatnya permukaan laut di dunia akan naik, menenggelamkan kota pantai (seperti Amsterdam, Jakarta, Surabaya) dan puluhan pulau-pulau.

Kedua, perang nuklir.  Perang dengan senjata yang dampak radiasinya akan menyebar ke seluruh dunia ini sekarang kembali mengancam, setelah Perang Dingin usai.  Negara yang memiliki senjata pamungkas itu — India, Pakistan, RRT, Korea Utara, Israel, setelah AS, Inggris dan Prancis — pada umumnya adalah negara-negara dalam keadaan bersengketa.

Ketiga, “disrupsi” teknologi. Perkembangan “kecerdasan buatan” atau AI (Aritificial Intelligence) bukan hanya membantu kehidupan manusia, tapi juga menakutkan.  AI telah mencapai tingkat kecerdasan yang tak dapat diimbangi manusia. Akan banyak manusia yang akan tersisih dan bahkan dikalahkan. Negara atau kekuasaan yang sanggup memprodusir AI akan memegang hegemoni global. Akan mengerikan jika perkembangan AI akan melahirkan senjata penakluk yang menghentikan peradaban manusia.

Di hadapan ancaman global itu, Harari melihat tak efektifnya  jawaban yang terpisah-pisah dari negara ke negara. “Kerjasama global”, kata Harari, “adalah langkah pertama dan yang harus diambil untuk menghadapi tantangan terhadap makhluk manusia itu.”

Dengan jenis ancaman yang berbeda, tapi skalanya sama — yakni global — Jokowi dan Harari memilih bukan jalan persenjataan, melainkan kerja sama internasional dan pertumbuhan sikap saling percaya.  Nasionalisme dalam hal ini perlu ditafsirkan sebagai, untuk mengutip kata-kata Bung Karno, nasionalisme yang “tumbuh dalam taman sarinya internasionalisme.”

Jokowi memahami itu. Prabowo entah.

***
Goenawan Muhammad

2 thoughts on “

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *