Saut Sirait: Ketika Sejarah Meninggalkan Kita

KETIKA SEJARAH MENINGGALKAN KITA
     (catatan kecil utk DR Ahmad Basarah)

Pada awal reformasi, degup jantung para aktifis, terutama yg sdh “senior” dan tidak lagi menyandang status mahasiswa,  kembali kepada irama normal. Para junior yg masih kuliah, kembali menekuni lorong2 kampus dan perpustakaan.

Semua merasa puas dan lega, manakala Presiden Soeharto lengser digantikan Habibie. Pemilu 99 juga memberikan harapan dgn tampilnya PDIP sebagai pemenang Pemilu, meskipun keunggulan yg diraih tdk mencapai mayoritas absolut, hanya mayorotas sederhana, 34% lebih.

Gus Dur yg tampil sebagai Presiden, meski partai yg didirikannya PKB tdk mencapai 3 besar, kemudian terjungkal di tangan poros tengah yg semula menjadi pendukung utamanya. Mega tampil sebagai Presiden dan pilihan mayoritas sederhana pada PDIP, seolah memperoleh kanalisasi yg sewajarnya dan seharusnya.

Di tengah situasi yg serba baru itu, Bapak Soeharto menjadi beban berat bangsa Indonesia. Di samping kekuatan real berupa jaringan lama dan kekuatan uangnya, Golkar dan TNI menjadi jangkar pelindung  tersendiri utk menjangkau kasus-kasus hukum yg melanda dirinya. Kekejaman dan katamakannya yg luar biasa selama berkuasa, menjadi sangat bermanfaat utk menyelamatkan diri dari sentuhan hukum. Bocornya rekaman prmbicaraan telepon Jaksa Agung Andi Galib, menjadi bukti yg tdk terbantah menyangkut kuatnya jaring pengaman Soeharto.

Pada moment itu sesungguhnya para aktifis mulai mengalami kegamangan, tidak sanggup lagi menjaga kontras perjuangan antara hitam dengan putih. Nuansa abu-abu sdh memasuki sanubari dgn hitungan masing-masing. Pilihan keterlibatan atas partai, dengan basis konsep kebebasan yg dijamin demokrasi menjadi pegangan satu-satunya. Kaum rezim Orba yg masih memiliki segala kemampuan dengan sangat jeli membaca dan memanfaatkan ruang demokrasi utk membangun kembali kekuatan dirinya, tanpa kritik apalagi perlawanan. Bahkan mendapat sambutan luas dari aktifis garda terdepan perjuangan reformasi.
Tanpa kehendak mengadili, suatu pertanyaan yg tidak akan kunjung terjawab adalah: dasar dan alasan para aktifis yg rela bergabung dan menjadi garda terdepan dari orang2 yg dulu menculik dan menghilangkan nyawa kawan2nya. Demokrasi bukan hanya sekadar ruang yg menjamin kebebasan kita, tetapi memastikan ruang itu dipenuhi dgn keindahan dan nilai yg menghargai kehidupan dan kemanusiaan. Tidak mungkin orang dengan masa lalu pembabat demokrasi yg menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan, menjadi pelaku atau ikon demokrasi.   Disadari atau tidak di saat itulah awal mula anamoli dalam seluruh dimensi kehidupan bangsa. Para pemusnah nilai2 demokrasi, pemusnah nyawa, kembali melenggang dgn gagah dalam gegap gempita pentas politik dan ekonomi. Mereka lebih dari istilah “bangkit kembali”, tetapi justru dibangkitkan musuh2 yg dulu diberangusnya.

Anomali yg paling berbahaya dalam setiap masa dan manusia adalah hancurnya hati nurani. Dan, membangkitkan hal itu kembali akan sangat membutuhkan waktu dan energi yg tidak sedikit. Tidak mengherankan ketika nurani telah mati, pengakuan Prabowo di depan para pendukungnya bahwa dialah yg diperintah Soeharto untuk mengejar aktifis yg menentang rezim Orba, bukan hanya dibiarkan, dianggap biasa, tetapi telah menjadi “nilai” tersendiri. Para pembunuh dgn bangga dan bebas mengaku di mimbar umum, dihadapan para pejuang reformasi, justru disambut dgn tawa senyum dan tepuk tangan. Justu para pelaku itu yg mengingat dan mengingatkan. Dan, mereka berhasil “melawan lupa”, sementara kaum reformis sdh pura2 lupa atau melupakan “siapa dirinya” yg sesungguhnya.

Sejarah mencatat, negara-negara yg berdasarkan hukum dgn sistem  demokrasi  hanya dapat maju dgn lompatan yg jauh ke depan, apabila dgn rela dan gagah menyelesaikan masa lalunya yg kelam dan hitam secara adil berdasarkan hukum. Membiarkan masa lalu yg dipenuhi kekejaman rezim, dgn korban mati yg jutaan tanpa melalui proses hukum, termasuk 14 aktifis reformasi yg jasadnya belum ditemukan, akan membuat bangsa Indonesia dipenuhi roh kebencian dan dendam. Keluarga2 yg kehilangan akan dihantui mimpi yg tak akan terjawab, menyangkut sebab musàbab kematian dan jasadnya yg tdk ketahuan. Sepanjang masa bila tidak diselesaikan.

Pelaku yg kemudian dgn bangga mengakui, tapi bebas dari jangkauan hukum, akan menanamkan nilai yg menghujam ke alam bawah sadar manusia Indonesia, bahwa negara ini sesungguhnya bukan negara hukum. Siapa saja bebas utk menggunakan kekuasaan dan kekuatannya utk membunuh orang lain dgn semena-mena.

Afrika Selatan telah menjadi contoh yg menyejarah, menyejukkan sanubari, membangkitkan optimisme tentang nilai2 kemanusiaan sejati dgm proses penyelesaian di atas kebenaran dan perdamaian. Melalui Truth and Reconciliarion Commission (TRC), mereka dapat menyelesaikan kekejaman rezim Apartheid dgn penuh keindahan. Para pelaku menyatakan pengakuan di hadapan sidang pengadilan yg jujur dan para korban terobati batin dan nuraninya, bersedia berdamai dgn saling mengampuni. Para pelaku yg memiliki ekonomi dgn penuh keharuan membantu keluarga korban. Roh korban yg sdh terkubur tidak lagi penasaran di akherat sana.
Melalui penyelesaian yg bermartabat itu, Afsel di bawah kepemimpinan Neslon Mandela, setelah 27 tahun dipenjarakan dgn perlakuan yg tdk manusiawi, membawa Afrika Selatan maju pesat dan dia menjadi pemimpin yg legendaris di dunia, selamanya.

Masa lalu yg keji dalam sejarah Indonesia, pasti akan menjadi beban dari generasi ke generasi. Apalagi para pelaku penghilangan nyawa tidak pernah diadili, tetapi pasti dikejar perasaan bersalah sepanjang hidupnya, meskipun kelihatan gagah dan tampil gegap gempita. Negara menjadi tidak bermaka apa-apa, bila hal itu tidak diselesaikan oleh negara. Disadari atau tidak kita akan berada dalam status kubangan ketidaksenohon dan kehinaan yg mencolok dalam pergaulan dunia.

Sang pelaku  mengungkap “lupa” dgn pernyataan mengenai korupsi di Indonesia. Semua aktifis reformasi menganggapnya “biasa” saja dan bahkan “mengamini” demi kedudukan, posisi dan peluang politiknya kini dan ke depan.

Tampilnya Ahmad Basarah, memberi peringatan menyangkut realitas bangsa atas peran Soeharto yg maha berkuasa pada masa lalu dan tetap akan menjadi sejarah hitam dan kelabu sampai akhir dunia, terutama dalam masalah mega korupsi, menjadi suatu interupsi atas anomali dan kehancuran nurani. Dalam posisi dan jabatan kenegaraan, kepartaian dan kemampuan akademisnya yg sdh tidak tanggung-tanggung lagi, sangat memungkinkannya utk tenang2 dalam “comfort zona”. Cukup menjalankan tugas kenegaraannya dgn nyaman, sudah membuat dirinya, keluarganya dan kawannya hidup lebih dari sekadar hidup.

Ahmad Basarah, yg dikenal sejak dulu sejuk, penuh kesantunan,  menghargai teman dan menghormati semua orang yg lebih tua, tidak suka bermusuhan dgn siapapun, tiba2 tampil keluar dari pakem diri, berteriak lantang tentang Soeharto sebagai guru Korupsi.

Siapapun dia yg sadar nilai, etika, memiliki pikiran dan hati nurani yg normal, pasti mengakuial itu merupakan realitas faktual, “de facto”. Alam Indonesia, baik secara jasmani dan rohani, seluruhnya merasakan hal itu beserta kepahitan2 dan kemiskinan yg diakibatkannya hingga kini. Sementara anak2nya dalam taburan uang yg tidak berseri.

Sebagai bangsa yg bermartabat, rakyat Indonesia sejatinya beretika. “Ethics beyond the law”, etika  melampaui hukum merupakan perilaku masyarakat Indonesia yg dipenuhi nuansa keagamaan dalam semua dimensi yg dianut rakyat. Benar secara hukum belum tentu benar secara etis. “Damaging process”, proses kehancuran yg  terjadi dalam tatanan kenegaraan, yg membuat manusia tidak lagi hidup bebas, kecuali taat dan menghamba pada penguasa rezim, merupakan kenyataan yg lebih cukup utk menyimpulkan bahwa Soeharto telah melakukan tindakan yg “tidak patut” dan “tidak layak” terhadap harkat dan hakekat manusia Indonesia yg seharusnya dilindunginya.

Tidak pelak lagi jika ezim orde baru dgn penguasa tunggal Soeharto, telah membiasakan kita utk menghilangkan substansi etika yg bermakna kemanusiaan universal dan tinggal memelihara simbol kosong yg  artifisial, berupa sopan santun semata. Sekadar hormat, bergaya soleh, berbicara halus, tetapi sangat beringas  memanipulasi dan ganas melakukan korupsi.

Ketika kita sebagai manusia yg memiliki memori dan pengalaman kolektif berdiam atas semua itu, Alam memikiki caranya sendiri,   membuka ruang dan mimilih Ahmad Baskara utk menyatakan yg benar itu benar dan yg salah itu salah. Seorang yg selama hidupnya ramah dan memelihara persahabatan tanpa kehilangan konsistensi melawan kezoliman. Baginya ini bukan soal pilihan politik, tetapi kondisi “status konfesionis”, realitas yg tidak tertolak, satu suara di tengah pembiaran yg berkepanjangan, suara dalam sepi dan sunyi kebungkaman kita.

Sikap dan tindakan etis telah dilakukan Ahmad Basarah atas nama keluhuran nurani. Alam yg berkehendak akan berpihak dengan penampakannya yg tepat waktu, di luar jangkauan kemampuan manusia. Bagi saya pernyataan Ahmad Basarah merupakan jalan menuju  kemenangan yg lebih tinggi bagi kaum para pejuang reformasi.

Para kaum pragmatis dan oportunis sejati, termasuk aktifis reformasi masa lalu yg berdiam dalam lingkar kebungkaman dan pembiaraan, “masa bodoh” atau memang dari dulu bodoh,  kini terwakili dgn adanya pihak yg mengadukannya ke ranah hukum.  Sejatinya jika mereka reformis, sesungguhnya mereka melawan dirinya sendiri.

Dalam khasanah peristiwa yg melahirkan orang2 besar di dunia, “konsistensi” menjadi keutamaan yg tidak terlawan. Mulai dari Jenderal Mc’  Arthur, Aquino, Gandhi, hingga bung Karno, semua berada dalam perahu yg sama: konsistensi.

Dan, yg tidak kalah dahsyatnya, sejarah itu sendiri menangkap Ahmad Basarah, untuk menyejarah dan pembuat sejarah. Para pelawannya, akan menjadi asesoris bagi sang pembuat sejarah. Sementara, para rekan seperjuangannya dulu dalam jajaran peretas reformasi, pasti akan ditinggal sejarah. Hanya akan menjadi fosil, dgn sedikit kegunaan, dibawa ke laboratorium utk jadi bahan penelitian dan kemudian di buang ke tempat sampah. Her/ His story without history.

Penuh Doa

Pematangsiantar, 4 Desember 18

Pdt. Saut Sirait
Dosen Theologia Bidang Etika dan Alamiah Dasar

STT HKBP
Pematangsiantar