Diaspora Batak dari kawasan Danau Toba

DANAU TOBA: PEREMPUAN YANG DIPERKOSA OLEH ANAK2NYA SENDIRI.
Pdt. Daniel Taruli Asi Harahap, 09/12/18
KESATU:
Entah kenapa saya diundang mengikuti dan menjadi narasumber sarasehan diaspora Batak. Sebagian pesertanya Batak yang lama bermukim di Jerman, Prancis, Italia dan Malaysia. Sebagian lagi Batak yang datang dari Jakarta, Medan atau Borneo seperti saya. Dan sebagian lagi Batak dan Jerman (Anette Hoffman) yang hidup di sekitar danau Toba. Fasilitatornya Badan Pengelola Otorita Danau Toba.

Dari segi asal-usul saya ini orang Angkola yang berjarak lebih dari 100 km dari danau Toba dan tak bersentuhan langsung dengan danau hasil ledakan vulkanologi Toba lima ribu tahun silam. Saya sendiri lahir dan besar di Medan dan tidak pernah bermukim di Toba. Memang Ibu saya almarhum boru Hutabarat memang besar di Laguboti Toba Holbung. Dan saya sejak kecil bila liburan kerap mandi di danau Toba bersama kerbau dan bebek. Mertua saya Siregar asal Muara salah satu sudut paling cantik dari danau Toba. Jadi apa alasannya mengikutsertakan saya dalam sarasehan ini? Saya bukan ahli geologi atau ekologi apalagi bisnis parawisata. Satu2nya alasan yang masuk akal adalah mungkin karena saya pendeta HKBP. Mayoritas penduduk di sekitar Danau Toba beragama eh maaf bergereja HKBP.  Langsung tak langsung HKBP bertanggungjawab atas Danau Toba. Tapi kenapa harus saya yang justru tidak pernah melayani di Toba dan tidak juga memiliki wewenang mengatasnamakan HKBP secara keseluruhan, dan sekarang melayani di jemaat kecil Balikpapan Kaltim? Alasan lain yang lebih masuk akal karena saya pegiat media sosial Batak Kristen dan HKBP. Entah apalah itu yang nyata saya diongkosi untuk hadir dan diminta bicara.

KEDUA:
Sejujurnya saya sangat merasa terhormat dan mendapat berkat diundang ke sarasehan diaspora ini. Saya berjumpa dengan orang-orang baik sebab itu hebat yang namanya sudah lama saya dengar namun belum pernah berinteraksi fisik. Saya berjumpa dengan Tony Sianipar penyelenggara pameran buku internasional 24 jam di ICE BSD. Wow. Ada Lena Simanjuntak pegiat opera Batak Perempuan di Tepi Danau yg sudah lama bermukim di Jerman. Ada Anette Hofmann Silalahi seorang perempuan Jerman yg sudah seperempat abad tinggal di Tuktuk dan mengusahakan Tabo Cottage. Ada Sebastian Hutabarat pengusaha pizza andaliman Balige sekaligus pejuang lingkungan yang sangat gigih. Ada Mahendra Sitepu ahli teknologi digital. Ada Johnson Siahaan pembuat video parawisata yg membuat saya terkagum-kagum dengan drone-nya. Ada Ratna Gultom petani dan pelopor eko-turisme dan pengusaha mango-wine dari Silimalombu (dijamin banyak anggota group ini tak tahu dimana itu Silimalombu). Ada kawan saya dari milis HKBP yang 90-an Rudolph “Alof” Damanik yang Katolik. Ada St Choky Pakpahan konduktor segala abad. Ada Ren Lumbantobing yang sangat menguasai ilmu perhotelan. Ada Sargon Manurung yang menbangun kembali rumah pusaka nenek moyangnya yang terbakar di Jangga Dolok. Dan ada Rahmad Manurung kepala desa Jangga Dolok yang sangat visioner. Ada Basar Simanjuntak adik kelas saya di Immanuel Medan yang kini Direktur BPODT. Dan banyak lagi. Dan di kapal saya berjumpa dengan maestro Tony Siagian dengan concolatio choirnya yang sangat setia menyanyikan Buku Ende dan menguploadnya di youtube. Saya percaya tiap-tiap perjumpaan dengan orang baik dan otentik adalah rahmat Tuhan dan mendatangkan sukacita dan inspirasi baru. Saya merasa sangat disegarkan, diperkaya, dan dicerahkan bukan saja oleh capaian2 kawan2 ini melainkan juga oleh problem2 real Danau Toba dan kebatakan yang ada. Tuhan memang baik.

KETIGA:
Lantas apa kontribusi saya kepada sarasehan ini? Saya bukan ahli ekonomi. Bukan ahli planologi. Bukan pengusaha. Saya cuma seorang pendeta di salah satu akar rumput HKBP yang mencintai gereja dan alam dengan cinta tak sempurna.

Saya memutuskan tak bicara hal-hal teknis parawisata yang tak saya kuasai. Saya juga tak mau sok ilmiah. Saya hanya mau bicara apa yang ada dalam hati dan pikiran saya sendiri, berdasarkan pengalaman hampir 30 tahun, tentang kebatakan, kekristenan dan modernitas. Pergumulan saya bertahun-tahun:  saya ingin menjadi Batak, Kristen dan Moderen sekaligus pada saat yang sama. Dan saya ingin mendidik warga jemaat yang dipercayakan kepada saya juga 100% Batak, 100% Kristen dan 100% Moderen pada saat yang sama. Bukan hari Senin sd Jumat menjadi orang moderen, Sabtu jadi orang Batak dan Minggu jadi orang Kristen. Dengan kata2 lain sudah belasan tahun ini saya bergumul nilai-nilai apakah yang dapat mempertemukan kebatakan, kekristenan dan modernitas saya? Apakah hal2 yang dianggap penting dalam kebatakan, dianggap penting juga dalam kekristenan dan dianggap penting pula dalam dunia moderen. Saya bukan batak prakristen dan pramoderen! Saya bukan kristen tanpa akar budaya dan juga bukan kristen masa lampau. Saya bukan orang moderen yang tak beriman dan tak berleluhur.

Saya pikir tema ini sangat relevan dengan diaspora Batak. Juga relevan dengan pengembangan danau Toba sebagai tujuan wisata internasional. Kita baik yang tinggal di bona pasogit maupun parserahan atau diaspora memerlukan nilai-nilai yang dijunjung bersama. Dalam membangun budaya maupun ekonomi termasuk parawisata kita juga butuh nilai2 yang sama.

Pergumulan dan pengalaman saya sebagai pendeta yang melayani di HKBP selama hampir tiga puluh tahun saya menemukan minimal ada 5(lima) nilai yang mempertemukan kebatakan, kekristenan dan modernitas.

Nilai pertama: transparansi (hapararon). Ini adalah nilai yang sangat dijunjung oleh kebatakan. Orang2 Batak pada dasarnya adalah orang2 yang suka berterus-terang, jujur dan terbuka. Kita adalah “sihunti rere” (hurufiah: sejenis serangga yang tidak bisa melipat atau menyembunyikan sayapnya). Seluruh istilah Batak yang menunjuk kpd keterbukaan selalu berkonotasi positif (andar, ungkap, patar, tiur, tedek, torang dll). Sebaliknya semua istilah yang menunjuk kepada ketertutupan selalu berkonotasi  negatif (huphup, buni, semo, golap, dll). Dimana ada keterbukaan disana ada damai. Tuntutan keterbukaan atau transparansi ini semakin diperkuat dengan tingginya kecurigaan dan ketakutan di kalangan orang Batak. Keterbukaan selalu menghilangkan rasa curiga atau takut.

Transparansi atau hapataron yang sangat diagungkan oleh kultur Batak ternyata juga dijunjung oleh kekristenan. Alkitab sejak awal menyatakan Allah berperang melawan kegelapan. Yesus adalah Terang Dunia yang datang menyingkirkan kegelapan dan menyingkapkan segala rahasia. Dan Yesus meminta murid2Nya hidup dalam terang atau transparansi.

Dan sangat menarik bahwa kultur moderen dan milenial juga menjunjung transparansi dan menjadikannya kata kunci. Kita hidup di jaman transparansi atau keterbukaan di segala hal baik politik, ekonomi maupun budaya.

Jadi bisa dibayangkan bagaimana nilai transparansi itu dalam komunitas batak, kristen dan moderen. Tiga kali lipat! Sebab itu saya berani bertaruh semua organisasi atau program atau kebijakan yang tidak transparan di kalangan batak kristen moderen pasti akan mengalami ketegangan, konflik,  dan kehancuran. Itu berlaku bagi organisasi keagamaan. Juga berlaku bagi pemerintahan. Juga bagi program parawisata Danau Toba. Ingat ini: tak ada keterbukaan tak ada juga damai.

Nilai kedua: partisipasi (parsidohotan, parjambar). Kultur Batak bersifat partisipatif dan eksperiensial. Orang Batak tidak suka hanya menjadi penonton termasuk dalam konflik atau perkelahian. Orang Batak selalu ingin terlibat dan berperan dimanapun dia berada. Ketika orang Batak tidak diijinkan terlibat dan berperan dalam suatu institusi maka kemungkinannya hanya ada dua. Jika dia kuat maka sadar tak sadar dia akan merusak institusi ini. Namun jika dia lemah maka dia akan pergi dan menyingkir. Hamu ma disi. Sebaliknya dimana orang Batak diberi bagian peran dan kedudukan maka dia akan membela mati2an institusi itu kalau perlu berkorban. Saya punya banyak contoh untuk membuktikannya. Mengapa laki2 Batak itu tahan di pesta adat dari pagi sampai malam? Jawabnya: karena disana dia punya peran, tanggungjawab dan kedudukan. Sebaliknya kenapa laki2 Batak yg bukan sintua malas ke gereja? Jawabnya: karena dia tidak punya peran di sana. Sebab itu jika ingin suatu lembaga Batak termasuk BPODT sukses junjunglah pendekatan partisipatif. Libatkanlah dan ajaklah bicara sebanyak-banyaknya orang.

Tortor Batak adalah ritus bukan show. Saya  tidak pernah bisa menikmati tortor batak sebagai pertunjukan. Namun saya menghayatinya sebagai upacara yang khidmad. Dalam tortor tak ada penonton. Yg ada peserta atau partisipan.

Jangan borong atau monopoli semua peran dan kedudukan. Jangan anggap remeh masalah parjambaran juga di dunia politik maupun keagamaan.

Partisipasi (parsidohotan, parjambar) juga adalah hal yang sangat penting dalam kekristenan. Allah datang ke dalam dunia untuk berpartisipasi dalam kehidupan dunia ini dan mengajak orang2 percaya mengambil bagian dalam kehidupanNya. Ibadah Kristen bukanlah show melainkan partisipasi dalam kehidupan Allah. Gereja Kristus adalah arak2an orang2 yang telah ditebus bukan pemerintahan tunggal atau elit kaum klerus. Dalam Baptisan Kudus kita mati dan bangkit bersama Kristus. Dan dalam Perjamuan Kudus kita menerima rubuh dan darah Yesus. Itulah wujud partisipasi yang paling dalam.

Partisipasi juga merupakan nilai utama dalam kehidupan moderen. Demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk Rakyat. Kebenaran ditemukan dan dirumuskan bersama-sama banyak orang. Kehidupan dikelola bersama untuk kepentingan bersama.

Anda bisa bayangkan apa yang terjadi jika suatu organisasi yang beranggotakan orang2 Batak, Kristen moderen menolak atau mengabaikan partisipasi atau parsidohotan banyak orang? Ketegangan luar biasa dan konflik yang berujung perpecahan atau kemunduran hebat. Itu berlaku di pemerintahan, adat juga keagamaan. Termasuk urusan danau Toba ini.

Nilai ketiga: kesetaraan (hadosan). Sejalan dengan nilai kedua maka nilai ketiga yang sangat penting dalam kultur Batak adalah kesetaraan atau egalitarianisme atau hadosan. Semua orang Batak merasa dirinya orang terhormat atau raja. Batak pada dasarnya tidak mengenal kasta. Dalam adat domestik Batak selalu ada pergiliran peran dan kedudukan. Orang tak bisa selamanya menjadi hulahula yg dilayani dan tidak selamanya juga jadi boru yang melayani. Peran2 digilir dan berganti. Mengapa? Karena semua adalah orang terhormat atau raja. Dan semua orang ingin menunjukkan eksistensi dirinya dan mengaktualisasi dirinya.

Itulah sebabnya susunan tempat duduk dalam even2 Batak adalah melingkar atau berhadap-hadapan menunjukkan semua pihak setara dan sama2 terhormat (susunan kursi model teater dalam gereja batak membuat raja2 batak berkecil hati dibawah sadarnya). Tidak boleh ada satu orang yang terlalu kuat atau dipuji dan dihormati.

Pada saat yang sama kultur Batak menjunjung komunalitas atau kebersamaan. Rumah Batak itu indah kalau berdiri bersama-sama membentuk suatu huta. Rumah Batak yang berdiri sebagai entitas tunggal spt gedung DPRD Sumut atau partungkoan Tarutung itu tampak janggal, aneh atau kesepian (lungun). Jadi saran saya kepada BPODT jangan bangun rumah Batak (tunggal) melainkan bangunlah kampung Batak dengan alaman sebagai sentrumnya.

Kesetaraan (hadosan) ini juga nilai utama dalam kekristenan.  Semua kita adalah setara: sama2 ciptaan dan citra Allah, mulia dan terhormat. Dalam kekristenan juga tidak ada kasta. Kita adalah sesama manusia. Dengan semua perbedaan dan keunikan masing2 kita adalah sederajad sebab itu kita dapat bersaudara dan bersahabat.

Dan dunia moderen juga sangat menjunjung kesetaraan itu. Kita adalah mitra sejajar. Modernitas menolak diskriminasi berdasarkan apapun. Rasialisme adalah kejahatan. Sebaliknya meritokrasi atau penghormatan berdasar prestasi dipuji.

Percayalah institusi atau organisasi Batak, Kristen dan moderen yang menolak kesetaraan akan gagal.

Dalam organisasi yang anggota2nya sangat menghayati dan menjunjung kesetaraan maka kata kunci kepemimpinan adalah sahala atau wibawa. Bukan kekuasaan atau kekuatan atau kekayaan. Orang Batak hanya mau tunduk kepada pemimpin yang didakunya marsahala atau berwibawa.

(Bersambung)

One thought on “Diaspora Batak dari kawasan Danau Toba

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *