Membuat wajah kiri kanan sama bonyok

Mengevaluasi sebuah informasi, dalam konsep literasi informasi, cek dan ricek itu suatu keharusan. Dan ini tidak sesederhana yang kita bayangkan, apalagi kalau kasusnya menyangkut politik dan hal-hal berbau SARA misalnya. Tidak semudah mengecek akurasi informasi ilmiah. Makanya banyak orang terjerumus kedalam lembah hoax, karena malas mikir. Cenderung pakai tensi, emosi. Sialnya hal ini berulang dialami oleh orang penting dan katanya hebat yang sedang berjuang jadi presiden di negeri ini.

Mari kita bedah kasus hoax nya Bu Ratna dari segi literasi informasi.
Dalam LI, ada 3 unsur pokok yang perlu diperhatikan untuk menilai apakah sebuah informasi itu akurat, yakni: otoritas, relevansi, objektivitas. Dalam kasus ‘saya digebukin orang tidak dikenal’, kira-kira seperti inilah pembedahannya.

Pertama, otoritas. Ini menyangkut sumber informasinya. Siapa yang menyampaikan, buktinya mana, kejadiannya kapan.
Dari segi sumber, tidak diragukan lagi, karena yang mengatakan ‘saya digebukin orang tidak dikenal’ adalah si korban sendiri. Sumber primer.
Buktinya? Ya, wajah bonyok.
Kejadiannya? Pengakuannya tanggal 21 September.  Lokasi, di Bandung.
Semuanya jelas, dari sumber primer. Sampai disini, informasinya clear! Masalah otoritas cukup akurat, tapi ini belum memeriksa kebenarannya.

Kedua, relevansi. Kenapa beliau digebukin? Apa masalahnya? Apakah punya masalah pribadi? Atau salah sasaran?
Lalu cek bukti fisik, wajah bonyok. Perhatikan baik-baik. Koq bisa lebam dan bonyoknya sama di mata kiri dan kanan? Bengkak dan hancurnya sama. Apakah para penggebuk itu melakukan tindakan penggebukan secara berirama, tekanan gebukan sama di mata kiri dan kanan sehingga menghasilkan kebonyokan yang setara?  Lalu tanggal kejadian, tanggal 21 September. Cross chek dengan aktivitas beliau di tanggal itu. Koq di tanggal itu beliau aktif terus ngetwit? Apakah beliau super women yang bisa tetap posting status sambil digebukin? Masuk akal gak?

Ketiga, objektivitas. Ini menyangkut apakah pendapat tersebut objektif atau bertendensi khusus. Memang kalau dalam kasus2 ilmiah, ini mudah dievaluasi, tinggal merujuk ke teori yang dipakai. Tapi dalam kasus seperti ‘wajah bonyok’ ini, perlu kehati-hatian. Kita perlu menganalisis, apakah informasi yang disampaikan ini objektif atau tidak. Dalam kasus ini yang bisa dipertanyakan adalah, kalau betul dikeroyok sampai hancur begitu, koq tidak lapor polisi? Ingat, beliau adalah aktivis pemberani. Beliau sadar hukum. Jangankan dirinya sendiri dipreteli, orang tenggelam di dasar Danau Toba aja, tanpa ada yang minta, beliau datang dengan gagah perkasa membela. Beliau selalu hadir di alam para korban. Beliau eksis di setiap kasus yang layak digoreng. Masa diri sendiri yang jadi korban, koq selow? Mencurigakan kan? Hal pertama yang bisa kita duga adalah, ini masalah pribadi. Sehingga tidak cocok diangkat sebagai isu politik. Kalau ingin memberikan simpati, sebatas berempati sebagai sesama manusia saja. Gak perlu langsung mengaitkannya ke posisi beliau sebagai timses apapun, apalagi langsung menuding pihak lain sebagai biang kerok.  Kalau ingin mengetahui dengan jelas persoalannya, periksalah semua kebenaran informasi tadi. Periksa lokasinya, cek semua hal terkait yang disampaikan si sumber primer. Kalau sudah pasti, barulah boleh nge twit menunjukkan simpati. Bolehlah menuding pihak lain sebagai biang onar. Bolehlah menyalahkan siapa yang layak disalahkan. Bolehlah menuntut di jalur hukum. Bolehlah mengadakan konperensi pers dengan tampang membela yang terzolimi. Bolehlah mengutip ayat-ayat. Bolehlah menjadikannya bahan untuk kampanye. Bolehlah nyinyir!

Untuk orang-orang seleval dan sehebat capres dan cawapres pilihan partai suci nan saleh, religius, konfisius ala kardus ituuu…. mosok sih gak mampu mikir begitu? Tidak mungkin! Itu geng lulusan universitas keren-keren, orang-orang berpendidikan tinggi, kehidupannya mapan. Nutrisinya bagus. Tidak ada alasan mereka untuk bertindak konyol, selain memang benar-benar tolol. Masa sih tokoh-tokoh ‘dunia’ sehebat mereka bisa terperdaya seorang nenek hanya dengan akting ‘wajah bonyok’? Maluuuuu. Bayangkan aja kelak presiden kita menghabiskan waktunya dengan urusan pipi lebam, lemak bergelambir salah sedot, jerawat membuncah jadi tumor, upil merekah, hidung melesak kesamping. OMG! Pakkkk… plisssss. Belajarlah dari Pakde yang kuyus krempeng ituuuu. Coba tarik nafas deh Pak, sejenak merenung, bayangkan wajah Pakde kami yang capek, lelah, tapi tulus itu. Ingat berbagai fitnah dan cemoohan yang ditujukan pada beliau. Ingat bagaimana beliau bereaksi terhadap hujatan-hujatan pada dirinya dan kerabat atau teman-temannya. Kasus Ahok yang maha menyeramkan itu saja, si Pakde itu tak pernah tampil emosional di publik membela karibnya itu. Dia relakan si kafir itu di bui, diproses hukum. Tidak intervensi. Tidak grasa grusu membela atas dasar perkoncoan dan perikenenekan. Begitulah contoh pemimpin yang bener Pak.

Hadeuh… saya kasihan lihat Bapak harus tampil bersama tim dengan wajah tertunduk lesu (tidak ada yang berani menatap kamera) dan dengan terpaksa sekali meminta maaf di depan tivi nasional. Lebih kasihan lagi karena Bapak hanya berani meminta maaf kepada kelompok Bapak yang sudah repot dengan akting wajah bonyok ini. Belum ada keberanian ya Pak untuk minta maaf kepada Pakde dan seluruh rakyat Indonesia yang selama ini juga terganggu dengan info-info hoax ini? Benar-benar sial ya Pak? Jangan bilang ini ujian ya Pak eee…. ini bukan ujian Pakkkk. Ini mah disuruh kontemplasi Bapakkkk….., mikiirrrr… kata Cak Lontong. Syukur-syukur bisa tobat Pak, berhentilah menuding2 orang lain!

Saya percaya Bapak tidak sekonyol ini, andai Bapak selektif memilih tim pendukung. Serius Pak, saya dulu nge fans ke Bapak, waktu Bapak masih jadi bintang iklan soal pertanian. Tapi ilfill sejak Bapak merelakan diri Bapak ke orang-orang yang kerjanya merusuh, menuding, memfitnah, dan memprovokasi itu. Ayo Pak, masih ada waktu untuk berbenah. Bakal capek Bapak ngurusin orang-orang itu kelak. Salam number uno ya Pak. 👍 Clara Naibaho, pustakawan di UI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *