HORAS, Salam dan Sapaan Batak Penuh Makna

BUDAYA


Kata “HORAS” Sapaan Batak Toba Penuh Makna 
Oleh : Danny Melani Butarbutar | 06-Nov-2017, 09:54:09 WIB
KabarIndonesia – Samosir, Sejak lama masyarakat dunia mengakui jika negeri kita Indonesia, zamrud khatulistiwa adalah negara yang memiliki kekayaan tiada tara. Kekayaan itu terlihat dari sumber daya manusia (penduduk) yang cukup besar, pulau-pulau yang banyak, suku -adat budaya dan bahasa yang beragam dan potensi sumberdaya alam yang melimpah. Pantas dan sangat wajar bila suatu saat negeri ini menjadi pusat perhatian dan aktivitas dunia.

Data yang dirilis Pemerintah saat berlangsungnya konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berlangsung di New York, Amerika Serikat tahun lalu bahwa ada pertambahan pulau di Indonesia. Dari data yang dirilis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Indonesia kini terdiri dari 17.504 pulau, di antaranya 16.056 pulau yang sudah diberi nama dan terverifikasi.

Ditilik dari sisi kependudukan, menurut Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk di Indonesia tahun 2010 adalah 237.641.326 jiwa. Penghitungan jumah penduduk dilakukan setiap 10 tahun sekali, artinya Badan Pusat Statistik akan melakukan sensus penduduk pada tahun 2020 mendatang. Jika kita mengacu pada data yang dikeluarkan bank dunia, yaitu laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,2%/tahun maka jumlah penduduk Indonesia tahun 2017 adalah 256.603.197 juta jiwa. Tentu ini belum menjadi data valid karena masih hasil hitung-hitungan kasar. Dapat dibayangkan jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2030 bisa mencapai 300 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk sebanyak itu maka kekayaan negeri ini makin besar pula.

Informasi yang diperoleh dari Wikipedia, menurut sensus BPS tahun 2010, terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia, tepatnya 1.340 suku bangsa. Suku Jawa adalah kelompok suku terbesar di Indonesia dengan jumlah mencapai 41% dari total populasi. Orang Jawa kebanyakan berkumpul di pulau Jawa, akan tetapi jutaan jiwa telah bertransmigrasi dan tersebar ke berbagai pulau di Nusantara bahkan ada yang bermigrasi ke luar negeri atau belahan dunia yang lain.

Selain suku Jawa, suku Sunda, suku Batak dan suku Madura adalah kelompok terbesar berikutnya di Indonesia, yang populasi dan konsentrasi penyebarannya di beberapa provinsi. Suku Jawa diperkirakan 95,240,200 jiwa terkonsentrasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Lampung. Suku Sunda 36,715,500 di Jawa Barat, Suku Batak 8,585,800 di Sumatera Utara, Suku Madura 7,230,300 di Pulau Madura, Jawa Timur, Suku Betawi sejumlah 6,828,800 jiwa di Jakarta.

Banyaknya pulau yang didiami masyarakat dengan keberagaman yang terdapat di Indonesia sebagaimana disebut di atas menunjukkan betapa besarnya berkat dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Selain suku yang beragam, agama yang berbeda, bahasa yang berbeda, ras dan budaya yang berbeda, ada hal yang harus sangat dipahami dan diketahui oleh semua rakyat Indonesia sebagai sesuatu yang bukan untuk dbeda-bedakan apalagi diperdebatkan. Malahan keberagaman itu merupakan notasi nada yang diaransir menjadi lagu indah dalam harmoni kehidupan.

Seiring dengan banyaknya suku dan sub etnis bangsa Indonesia sebagaimana disebutkan di atas, maka bahasa sebagai alat komunikasi intern masing-masing suku juga cukup banyak. Dari 1.340 suku bangsa maka bahasanya pun pasti lebih banyak lagi, karena adakalanya satu suku bangsa masih memiliki bahasa sub etnis dan bahasa menurut status/strata budaya. Dalam suku Batak misalnya, dengan 5 sub etnis memiliki bahasa masing-masing, suku Nias yang terdiri dari beberapa sub etnis juga dengan bahasa yang berbeda. Bahkan yang paling kelihatan berbeda ada di bahasa Jawa, Batak yang dikenal dengan bahasa ‘halus’ dan bahasa umum.

Tegur sapa atau salam di Indonesia
Sebuah adagium yang menyatakan ‘bahasa menunjukkan bangsa’ merupakan pernyataan bahwa setiap suku bangsa memiliki adat, budaya yang berbeda yang tentu sekali ditunjukkan (salah satu) melalui bahasanya. Bahasa merupakan perwujudan budaya yang dinyatakan dan diungkapkan secara vocal/oral (ucapan kata). Ucapan kata tentu lazim dipahami sebagai ungkapan sehari-hari dengan kata teguran atau kata sapaan.

Demikianlah masyarakat Indonesia dengan sapaan dikenal sebagai warga yang ramah tamah, miliki sopan santun, etika berbahasa dengan sapaan dalam komunikasi sehari-hari. Kata sapaan adalah kata yang digunakan untuk menegur sapa orang yang diajak berbicara (orang kedua) atau menggantikan nama orang ketiga. Mengenai sapaan atau kata pembuka dan penutup dalam setiap perjumpaan di Indonesia adalah kata yang lazim diucapkan masyarakat sebagai ungkapan kata menurut keyakinan atau adat budaya/suku.

Beberapa contoh kata yang dapat digunakan sebagai kata sapaan atau salam, antara lain, Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh (Islam), Syalom/shalom (Kristen), Sampurasun (Jawa), Adil Ka’Talino-Bacuramin Ka’Saruga, Basengat Ka’Jubata, Horas Tondi Madingin, Horas Pir Tondi Matogu (Batak Toba), Mejuah juah kita kerina (batak Karo), Ja’ahowu (Nias), Om Swastiastu (Bali), Namo Budaya (Hindu Bali), Ahoii (Melayu), dan berbagai kata sapaan lainnya sesuai dengan jumlah suku-bahasa di Indonesia tercinta.

Mengenal suku Batak melalui suara/ucapan/kata
Sebuah fakta yang jarang dipahami oleh masyarakat pada umumnya, bahwa setiap suku memiliki watak, karakter, pola pikir, pola adat budaya dan sistem kekerabatan yang berbeda. Hal ini juga berlaku bagi masyarakat suku Batak yang terdiri dari 5 sub suku yakni Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Pakpak (Dairi), Batak Karo dan Batak Angkola/Mandailing. Dua sub suku yang disebut terakhir pada waktu belakangan ini ‘menolak’ disebut suku Batak.
Menurut catatan sejarah suku bangsa, orang Batak memiliki tanah leluhur di Sianjur Mulamula kabupaten Samosir. Keturunan Si Raja Batak ini dulunya bermukim di sebuah kampung dan seiring dengan perkembangan zaman kemudian mendiami kawasan Danau Toba atau Tapanuli di Sumatera Utara. Suku Batak berkembang menjadi salah satu suku terbesar keempat di Indonesia yang menyebar hingga kota-kota di Indonesia dan di luar negeri.

Pada umumnya orang Batak mengaku sebagai bangsa (bangso) dengan alasan yang tidak sekedar dibuat-buat malah dapat dibuktikan dengan syarat umum sebagai bangsa. Suku bangsa Batak memiliki tanah leluhur, nenek moyang dan garis keturunan yang jelas tercatat, sistem kekerabatan, adat istiadat dan hukum, bahasa dan aksara yang jelas, warisan budaya-sejarah yang masih tersimpan (sebagian di museum negeri Belanda). Suatu hal yang nyata di zaman kemerdekaan tercipta lagu “O Tano Batak’ (OTanah Batak) yang kemudian disebut sebagai lagu kebangsaan suku Batak dan biasanya kerap dinyanyikan bersama dalam sebuah acara pesta atau rapat besar.

Orang-orang Batak memang mudah dikenali dari gaya bicara/logat bahasanya, tidak jarang seseorang yang bersuara keras (kuat) dan bicara ‘vokal’ langsung dikategorikan sebagai orang Batak. Apalagi saat memperkenalkan diri menyebut marga dan berasal dari Medan (ibukota provinsi Sumatera Utara) langsung disapa dengan kata “Horas bah” ditambah lagi mengucapkan kata dalam bahasa Indonesia bergaya/logat khas suara kuat, pengucapan vokal yang lebar. Sesungguhnya akan sangat kelihatan berbeda seorang Batak dengan yang bukan orang Batak saat menggunakan bahasa Batak (Toba), sangat jelas jika meniru atau dibuat-buat.

Banyak orang berprasangka jika orang Batak itu berkarakter dan watak yang keras hanya karena suara keras dan bicara kuat padahal sesungguhnya ada kelembutan dan keramahtamahan. Diakui, suara kuat dan keras itu sudah menjadi sifat kebiasaan sehari-hari dan ciri khas orang karena dulunya kondisi geografis yang berbukit-lembah serta hutan lebat di Tapanuli-Samosir.Diakui, suara kuat dan keras itu sudah menjadi sifat kebiasaan sehari-hari dan ciri khas orang karena dulunya kondisi geografis yang berbukit-lembah serta hutan lebat di Tapanuli-Samosir. Ditambah lagi keras-sulitnya kehidupan di daerah yang kesuburan tanahnya relatif kurang (tahun 80-an pernah dijuluki peta kemiskinan). Kondisi ini berdampak pada banyaknya orang Batak yang migrasi ke luar (kota) untuk bekerja dan sekolah.

Suara keras dan logat bicara itu terutama dilakonkan orang Batak (Toba) yang lahir di kampung halaman (bona pasogit), sementara mereka yang lahir di perantauan beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Ada juga yang tidak berubah dalam gaya dan logat bicara yakni mereka yang hidup diperantauan masih menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa sehari-hari di rumah atau dalam pergaulan sesama.

Dengan demikian, suara keras/kuat bukan berarti marah atau membentak, tetapi lebih pada sifat terbuka, tegas, terus terang tanpa ada unsur dendam atau menyembunyikan sesuatu. Ketika sudah bertemu, berbincang akan terlihat rasa persaudaraan, keramahtamahan dan etika-sopan santun.

Horas, Salam dan Sapaan singkat penuh makna

Menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI, bahwa kata sapaan adalah kata yang digunakan untuk menegur sapa orang yang diajak berbicara (orang kedua) atau menggantikan nama orang. Penggunaan kata sapaan itu sangat terikat pada adat-istiadat setempat, adat kesantunan, serta situasi dan kondisi percakapan. Itulah sebabnya, kaidah kebahasaan sering terkalahkan oleh adat kebiasaan yang berlaku di daerah tempat bahasa Indo­nesia tumbuh dan berkembang.

Wikipedia Indonesia mengatakan bahwa salam adalah cara bagi seseorang (juga binatang) untuk secara sengaja mengkomunikasikan kesadaran akan kehadiran orang lain, untuk menunjukkan perhatian, dan/atau untuk menegaskan atau menyarankan jenis hubungan atau status sosial antar individu atau kelompok orang yang berhubungan satu sama lain. Seperti juga cara komunikasi lain, salam juga sangat dipengaruhi budayadan situasi dan dapat berubah akibat status dan hubungan sosial. Salam dapat diekspresikan melalui ucapan dan gerakan, atau gabungan dari keduanya. Tetapi salam sering tidak selalu diikuti oleh percakapan (just say hello).

Bentuk ucapan salam atau sapaan manusia sangat beragam. Di berbagai suku bangsa, biasanya ungkapan salam atau sapaan selalu dikaitkan atau tergantung dengan waktu, situasi kondisi termasuk dari sisi agama, juga orang yang terlibat, status sosial dan hubungan pribadi.

Buat masyarakat Batak Toba, ungkapan atau frase kata HORAS adalah ucapan salam atau sapaan yang berlaku umum tanpa batasan waktu, status sosial, agama, suku atau hubungan pribadi, malah saat ini kata ‘Horas’ sudah menjadi salam sapaan internasional. Karenanyalah jika sesama orang Batak bertemu, kapanpun, dimanapun, dalam situasi apapun, kata pertama yang diucapkan adalah “horas“.

Sekilas, orang hanya tahu bahwa “HORAS“ itu adalah sapaan atau salam saat bertemu saja. Namun tidaklah demikian sebenarnya. Kata HORAS adalah ucapan penuh makna, suatu terminologi yang di dalamnya termuat falsafah hidup yang harus dibawa orang Batak kemanapun ia pergi. Saat bertemu, berpisah, situasi suka duka, waktu pagi-siang-sore-malam, buat orang Batak selalu menyapa, mengawali ujaran deng kata “horas” sebagai sebuah ungkapan yang tercermin dari hati menjadi ‘inner beauty’.

Meningkatnya ilmu pengetahuan dan berkembangnya teknologi informasi-komunikasi dikaitkan dengan realitas hubungan adat-istiadat-kekerabatan, maka para pemerhati bahasa Batak berusaha melakukan kajian atas kata Horas. Kajian itu menyebut bahwa kata ‘horas’ itu adalah kependekan (gabungan dari 5 huruf) sehingga didalamnya terkandung cita-cita, harapan, doa dan gambaran hubungan sebagai berikut:

1. Kata HORAS diartikan sebagai Hubungan Organik Refleksi Antar Sesama. Artinya saat kita mengucapkan “Horas” maka akan tercipta hubungan organik sebagai refleksi antara sesama yang bertemu-berpisah dan sebagainya.

Dalam pembicaraan sehari-hari ketika sesama orang Batak bertemu, mereka akan mengucapkan salam ‘horas’ dan akan dibalas juga dengan kata ‘horas’ dengan ekspresi gembira. Dapat dilihat adanya hubungan “erat” diantara keduanya yang berjumpa atau berpisah.

2. Kata “HORAS“ adalah suatu singkatan dari:
*H*. -> Holong masihaholongan = kasih mengasihi;
*O*. -> On do sada dalan nadumenggan = inilah jalan yang terbaik.
*R*. -> Rap tu dolok, rap tu toruan = seia sekata.
*A*. -> Asa Taruli pasu-pasu = supaya mendapat berkat.
*S*. -> Saleleng di hangoluan = selama kita hidup.
Jadi kata “HORAS“ itu adalah suatu cita-cita atau harapan yang mengambarkan bahwa setiap orang harus hidup saling mengasihi. Inilah jalan yang terbaik dan diwujudkan dengan seia sekata supaya kita mendapat berkat selama hidup kita, dan harapan selamat-sukses-sehat-sejahtera.

3. Kata “Horas” adalah wujud rasa saling menghormati.
Ungkapan kata horas bagi suku Batak (Toba) merupakan suatu keharusan sebagai rasa hormat/menghargai dan ungkapan syukur, menyapa dan berkomunikasi menjadi cair setelah menyampaikan ungkapan kata ini. Adalah semacam keharusan bagi orang Batak untuk mengucapkan salam atau menyapa dengan kata Horas, sebaliknya pihak kedua yang terlibat juga harus membalasnya dengan kata horas, sehingga sungguh terlihat hubungan erat diantara mereka.

Penggunaan kata horas sebagai salam dan ungkapan rasa hormat adalah wujud dari perilaku yang tidak lekang dari masyarakat Batak, yakni perilaku ‘anak ni raja’ (semua orang Batak adalah raja dan atau anak raja). Dalam hal ini “raja” tidak dalam pemahaman kerajaan (zaman pra kemerdekaan) tetapi lebih memberi arti “terhormat” dalam berperilaku, bertindak, berkata. Karena itu adakalanya kata HORAS diartikan HOlan RAja Sude (semuanya raja) yang harus saling menghormati.
Umumnya apabila dicermati, kelima sub suku Batak memiliki cara dan ungkapan kata yang berbeda setiap sub sukunya namun memiliki makna yang kurang lebih adalah sama.
Suku Batak Toba menyebut: ”Horas Jala Gabe ma Dihita Saluhutna”
Suku Batak Pakpak berkata : ”Njuah-juah Mo Banta Karina”
Suku Batak Simalungun mengucapkan :”Horas Banta Haganupan, salam Habonaran do Bona”
Suku Batak Karo mengatakan : ”Mejuah-juah Kita Krina”
Suku Batak Mandailing dan Angkola menyampaikan :”Horas tondi mandingin pir ma tondi matogu, sayur matua bulung”
Seluruhnya salam khas itu bermakna sama dengan kata Horas yang berarti ”hormat dan kiranya kita semua dalam keadaan selamat-sejahtera.

4. Kata Horas diucapkan tiga kali.

Ungkapan kata HORAS sudah sangat kental diketahui dan dijadikan ucapan salam dan sapaan masyarakat, baik dikalangan orang Batak maupun etnis lain di Sumatera Utara. Para pimpinan daerah selalu membuka pertemuan rapat dengan menyampaikan salam dalam bahasa 8 etnis di Sumut termasuk dengan kata horas. Bahkan akhir-akhir ini akibat inkulturasi yang terjadi, kata Horas sudah meluas di tanah air hingga manca negara.

Sering ditemukan dalam sebuah pertemuan, perjumpaan bahkan dalam acara di televisi, dikatakan HORAS, HORAS BAH, yang secara refleks atau ‘komedi’ dijawab dengan kata Horas atau Horas Bah.
Penyebutan kata Horas Bah oleh pembicara tidak salah tetapi terasa tidak pas di telinga, sebab sapaan-salam yang benar adalah kata Horas saja dan harus diucapkan tiga kali menjadi Horas, horas, horas ma di hita sude (horas buat kita semua)

Menurut para tetua, diucapkannya tiga kali kata horas mengandung makna harapan dan cita-cita memperoleh kehidupan (mata pencaharian). Dalam bahasa Batak angka tiga (tolu) itu sempurna, misalnya Adat Dalihan Natolu (tungku nan tiga), debata na tolu, banua na tolu. Makna tiga kali penyebutan supaya memperoleh sumber hidup/kehidupan (tubu ngolungolu).

Mungkin banyak yang mengira kata horas ini adalah kata-kata yang biasa saja, padahal kata ( Horas ) ini sudah menyebar luas ditanah air bahkan di manca negara. Bahkan sering Kita lihat di acara tv jika sudah mendengar dengan namanya kota medan, pemain bahkan MC sering mengungkapkan kata “horas”.

Akhir kata, mudah-mudahan dengan tulisan ini generasi muda Indonesia semakin mencintai budaya, bahasa, adat istiadat yang berbeda dan beragam dirajut menjadi sebuah modal dalam harmoni kehidupan.(penulis: dari berbagai sumber).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *