PINAHAN DO I (itu ternak), PAK POLISI

Suatu pagi hari Senin, 5 Desember 2011, waktu menunjukkan pukul 06.30, aku bersama isteri dengan kenderaan pribadi bergegas berangkat dari Ambarita menuju Pangururan untuk mengejar apel gabungan di Kantor Bupati Samosir. Dalam perjalanan melintasi desa sepanjang jalan propinsi, isteri memintaku untuk berhati-hati sepanjang jalan karena pada jam-jam seperti itu lalu lintas dari arah yang berlawanan akan dipadati oleh kenderaan (bus, roda dua dan becak)termasuk kenderaan yang mengejar waktu keberangkatan trip ferry Tomok. Semula peringatan itu tidak saya perhatikan dan tetap saja memacu kenderaan dengan kecepatan normal (kebiasaan saya bila berkenderaan bersama keluarga, lebih hati-hati dgn kecepatan 40 s/d 60 km per jam, dan prinsip mematuhi aturan lalu lintas), tetapi tiba-tiba disebuah tikungan (kawasan jalan yang paling banyak tikungan di desa Marlumba, Sangkal, Simanindo)berpapasan dengan anak sekolah yang mengendarai roda dua, berboncengan, tidak pakai helm dan kecepatan tinggi, hingga dengan gerakan refleks kenderaan saya bawa ke beram jalan, sementara si anak sekolah kelimpungan hampir saja terjatuh ke jurang; Perjalanan kami lanjutkan hingga di jalan yang kami lewati ada bus (bus tiga perempat, kapasitas 25 orang) yang berhenti menaikkan penumpang, (anak sekolah) kendatipun kami lihat tidak tersedia lagi tempat duduk penumpang bus tersebut, anak sekolah tersebut masih diperbolehkan naik ke atap bus, sebagian bergantungan di sisi kiri dan bagian belakang bus. Memasuki kawasan desa Simanindo dan juga di kawasan Kecamatan Pangururan, pemandangan seperti itu menjadi sesuatu yang umum, bus berkapasitas 25 orang diisi 40 orang lebih anak sekolah, baik yang duduk bersusun dalam bus maupun yang duduk di atap dan yang bergelantungan di sisi bus tersebut. Tidak ketinggalan, becak bermotor (menggunakan roda dua sebagai penarik) yang biasanya diisi dengan 2 atau 3 orang penumpang, tidak ketinggalan ikut-ikut menaikkan penumpang hingga 9-10 orang anak sekolah. Dengan suasana kepadatan lalu lintas bus, roda dua, becak bermotor dan pejalan kaki, akhirnya untuk ‘mengutamakan keselamatan’ saya mengurangi laju kecepatan dan lebih berhati-hati, biarlah terlambat ke apel gabungan asalkan selamat sampai tujuan. Mencermati kondisi ini, saya teringat dengan masa ketika saya menjadi SMA di Pematang Siantar, karena pada waktu itu tidak ada SLTA di kampung halaman Raja Maligas I Kec.Tanah Jawa (48 km dari Pem.Siantar); Waktu itu, kami yang sekolah di Pem.Siantar hanya pulang kampung setiap hari Sabtu dan kembali pada hari Minggu, hari-hari sekolah tinggal ber-indekos di Pem.Siantar (rumah penduduk yang dekat dengan sekolah); dan jika akan pulang kampung untuk meminta dari orangtua biaya sekolah dan uang kost, selalu menunggu bus jurusan Tanah Jawa di lokasi PMM (persimpangan jalan Narumonda/Jl.Melanthon Siregar). Hanya 2 unit bus kecil yang bertrayek-jurusan Raja Maligas, sehingga anak sekolah yang ingin pulang kampung harus berlomba mencari tempat duduk, kalau tidak harus siap-siap untuk naik ke atas atap atau bergantung di sisi kiri/belakang bus. Hal yang sama terjadi juga ketika akan kembali dari kampung menuju Pematang Siantar, anak sekolah harus mempersiapkan diri untuk berdesakan di dalam bus, yang penting tiba di tujuan. Ketika itu, saya menyadari bahwa menompang kenderaan/bus yang melebihi kapasitas tidaklah aman dan sangat rentan terhadap bahaya, tetapi apa mau dikata, kenderaan bus sangat terbatas, mau tidak mau kita harus kembali ke kampung/sekolah, jika tidak jangan naik bus. Ada sebuah kebiasaan yang ditetapkan pemilik bus, yakni kaum wanita/perempuan boleh duduk didalam, laki-laki naik ke atas atau bergantungan, jika seorang anak laki-laki tidak mau naik ke atas atap bus dia akan dicap sebagai perempuan/banci. Bukan tidak ada aturan tentang kapasitas penumpang bus, dan biasanya bus tersebut diawasi atau dihentikan ketika melintas di Polsek Tanah Jawa, namun tindakan pengawasan seperti itu hanya insidental atau mungkin diselesaikan ditempat (dibiarkan begitu saja); Bila digelar penertiban dan razia, biasanya lima ratus meter atau satu kilometer sebelum pos razia, supir/kenek bus akan menurunkan penumpang yang bergantung dan dari atap bus, dan disuruh berjalan atau naik angkot melewati jauh dari pos razia, atau membungkus penumpang dengan kain trapal sehingga tidak kelihatan dari luar (tak perduli apakah penumpang sesak nafas atas saling bertindihan. Suatu ketika (menurut informasi ada pergantian pejabat komandan)digelar razia di depan Pos Polsek, razia kali ini tidak main-main karena sifatnya gabungan dan jarak satu kilometer sebelum dan sesudah pos razia telah ditempatkan petugas; Sebuah bus dengan membawa penumpang anak sekolah didalam/diatap bus bergerak akan melintas pos razia, namun karena sudah menjadi hal yang biasa (dapat diselesaikan di tempat dengan salam tempel ?), supir bus melaju terus dan meminta agar penumpang di atap ditutupi dengan kain trapal, sementara yang bergantungan dipaksa untuk masuk (berdiri) dalam bus, ketika itu kami penumpang bus ini berjumlah 40 orang (kapasitas tempat duduk cukup sesak 25 orang). Tiba di pos razia, bus kami dihentikan dan disuruh turun untuk diperiksa (mungkin mencari seorang penjahat? ) maka dari dalam bus turunlah 35 orang; Petugas bertanya, apa yang diatas itu supaya dibuka dan diperiksa, sang supir menjawab : PINAHAN DO I, PAK POLISI (ternak itu pak Polisi), petugas meminta kernek bus untuk membuka penutup/trapal namun tidak dilakukan, petugas tidak kalah jeli lalu mengambil pentungan dan memukulkannya ke arah bungkusan, dan…’ternak’ ternyata tidak ‘marngiak’ (menjerit), malah suara mengerang kesakitan yang muncul “AMANGOI, HANSITNA I, JOLMA DO ON AMANG, UNANG DIPUKULI”, dan petugas membuka paksa kain traval serta menurunkan penumpang 15 orang dari atap bus kecil itu, sambil diterjang dan didorong oleh petugas, sebagian ada yang melompat ke tanah, sebagian turun tangga, ada yang kepalanya benjol, ada yang merasa pusing terkena pentungan. Betapa sakitnya dan betapa tidak manusiawi, ANAK SEKOLAH DIANGGAP SEBAGAI TERNAK, hanya untuk mengumpul uang ? Selama 3 tahun bersekolah di Pematang Siantar, diperoleh informasi banyak anak sekolah yang menjadi korban, luka-luka, sakit dan meninggal dunia, ada yang terjatuh dari atap bus atau bergantung, ada yang meninggal karena busnya tabrakan, berguling atau masuk jurang; Kendatipun kenderaan yang mengangkut anak sekolah dengan bentuk dan pola seperti yang saya sebutkan, hingga kini dengan jumlah kenderaan yang cukup banyak, jalan makin mulus, hal seperti itu masih saja berkelanjutan, termasuk di Samosir. Mungkinkah ini kesalahan pada supir/pemilik bus/kenderaan, atau kesalahan penumpang/anak sekolah dan orangtua? Mari kita renungkan, agar kita terhindar dari kebiasaan yang menimbulkan bahaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *