Nelson Siregar Yang Saya Kenal
(Catatan Pendek menyambut Emeritasi/Pensiun dan HUT Pdt Nelson Siregar)
NELSON Siregar itu, terasa lebih pas sebagai aktifis, ketimbang seorang pendeta. Itu kesan pertama yang kutangkap ketika pertama kali mengenalnya.
Kalau pendeta itu kan, tampilannya “Tongam, Porman dan Badai.” Kesan itu justru kurang tampak di diri seorang Nelson yang senantiasa tampil apa adanya, walau tidak juga bisa disebut selebor. Tepatnya, “kurang pendeta”-lah jika dibandingkan dengan pendeta kebanyakan. Pendeta HKBP pula!
Dalam pertemuan-pertemuan pergerakan, Nelson kerap melepaskan pikiran-pikiran “liar”-nya dan tidak pernah merasa takut menyampaikan argumentasi yang bertentangan dengan teori-teori yang ada.
Bagiku, Nelson memiliki kepintaran dan kecakapan yang mumpuni. Lewat pemikirannya yang lateral—kritis, dan jauh dari naif apalagi mitos. Nelson senantiasa tampil sebagai pemikir yang resah dan gelisah, dan bahkan terkesan pemberontak.
Sesekali, dengan cerdas, Nelson selalu menyelipkan humor di tengah pembicaraan berbobot dan analitik. Saat itu, saya merasa mendapatkan seorang “guru baru” dengan segudang pengalaman empirik melayani di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Rezim Otoriter Soeharto
Sama seperti aktivis lainnya—yang bergerak di era tahun 1990-an—Nelson juga masuk dalam pusaran orang kebanyakan yang dipaksa, dikondisikan tidak banyak bicara tentang politik, apalagi bagi seorang pendeta. Maklum saja, begitulah suasana sosial politik Orde Baru di bawah kekuasaan rezim otoriter Soeharto.
Namun tidak demikian dengan Nelson, yang tidak memperdulikan keotoriteran Soeharto. Hampir di setiap pertemuan selalu bicara perubahan. Sikap pembangkangan tersebut, membuat orang-orang bahkan rekannya pendeta yang a-politis, akan cepat-cepat menghindar darinya. Tapi sebaliknya, bagi orang-orang yang ingin belajar kritis, Nelson sangat dirindu untuk sebuah diskusi, debat bahkan “marbada”.
Suasana tersebut, saya rasakan Tahun 1992, ketika bergabung di Departemen Pengembangan Masyarakat (Pengmas) HKBP yang bermarkas di Pearaja Tarutung, Direktur-nya (kala itu) tidak lain adalah Pdt, Nelson Siregar. Kesempatan itu saya dapat ketika akhirnya saya meninggalkan Organisasi Non Pemeritah bernama Lembaga Studi Pengembangan Wilayah (LSPW) yang bermarkas di Siborong-borong.
LSPW yang lebih bersifat developmentalis, saya tinggalkan dan mulai belajar bagaimana pengorganisasian masyarakat. Pekerjaan pengembangan masyarakat yang bersifat teknis developmentalis dinilai tidak banyak membawa perubahan.
Nelson pun acap memberi warning, “Kita bukan manusia pembangunan fisik. Kita membangun kesadaran manusia HKBP menjadi manusia seutuhnya yang kritis dan memiliki kemampuan dalam mengembangkan dirinya sendiri.”
Berkat panduannya, saya menyadari bahwa pekerjaan Pengmas lewat kegiatan pembangunan fisik, hanyalah pintu masuk (entry point) bagi penyelesaian permasalahan yang lebih berspektrum luas.
Sehingga, sebagai aktifis Pengmas HKBP kala itu, baik saya maupun kawan-kawan lainnya, terus menerus memperbaiki motivasi diri, untuk dapat tampil sebagai agen perubahan. Tentunya, perubahan pemikiran dan kesadaran.
Buah dari perjuangan Nelson Siregar, Departemen Pengmas HKBP, dapat tampil sebagai agen pembaharu pemikiran yang menyentuh hingga ke aras jemaat (grass root). Tidak saja bagi umat HKBP.
Peningkatan kesadaran sosial, ekonomi dan politik akibat pekerjaan pengorganisasian dan advokasi Departemen Pengmas HKBP, mulai terasa dampaknya terhadap keberanian dan kemampuan jemaat dalam memunculkan kreatifitas dan keberanian keluar dari zona “aman” kemiskinan dan zona “aman” Rezim Otoriter Soeharto.
Munculnya Tokoh Baru
Di kurun waktu itu pula, tentu tidak hanya semata-mata buah karya Departemen Pengmas, juga oleh Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dimana Nelson juga ada di dalamnya, bermunculan “tokoh-tokoh baru” di kampung-kampung yang pasti dikenal dan mengenal Nelson.
Sebutlah di Lintong Ni Huta, muncul Sumurung Sihombing. Di Porsea ada Nai Shinta br Sibarani, Aden Manurung dan Musa Gurning. Di Siborong-borong ada Bangun Nababan.
Kemunculan tokoh-tokoh ini, menurut pengamatan saya tidak terlepas dari jalan fikiran Nelson yang bekerja lewat Departemen Pengmas dan KSPPM.
Walau sudah menunjukkan betapa besar peran sertanya dalam perubahan, Nelson masih tetap saja berada dalam lingkaran gejolak hati dan pikiran yang dibungkus keresahan dengan kondisi yang melingkupi kehidupan masyarakat ketika itu, terlebih di Tapanuli yang dilabel sebagai “Peta Kemiskinan”.
Nelson Siregar patut disebut sebagai motor peningkatan kesadaran kritis di kalangan masyarakat, yang secara langsung berkorelasi dengan kesadaran politik, kesadaran sosial, kesadaran ekonomi serta kesadaran lingkungan.
Apalagi, sama-sama kita ketahui bahwa dalam kurun waktu yang cukup lama, di era kepemimpinan Soeharto yang dikenal sebagai Orde Baru, nyaris tidak terdengar ada “perlawanan” terhadap kekuasaan.
HKBP, sebagai salah satu organisasi keagamaan yang diperkirakan punya umat 3 juta-an orang kala itu, tidak pernah dipertimbangkan sebagai kelompok yang perlu didengar. Kenapa? Umat HKBP dan pimpinannya memilih jalan “berdamai” dengan kekuasaan. Bagi Nelson itu suatu kebodohan yang tidak perlu dipelihara.
Selain menabuh perang terhadap “kemiskinan”, Nelson juga terus menerus mengembangkan pemikiran kritis terhadap ancaman perusakan lingkungan di Tapanuli dengan kehadiran PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang telah beroperasi sejak tahun 1986. Hal yang sama, yang harus dihadapi adalah adanya upaya pihak penguasa untuk mengintervensi HKBP.
Peningkatan kesadaran kritis masyarakat dimana Nelson aktif sebagai pemberi inspirasi telah pula bermetamorfosis menjadi kekuatan melawan. Perusak lingkungan sekelas Indorayon mendapat perlawanan tidak saja di Porsea tetapi juga di kantung-kantung pengorganisasian Pengmas HKBP dan KSPPM di Dairi, Samosir, Simalungun bahkan di Tapsel.
Penerbitan SK Bakorstranasda sebagai intervensi terhadap HKBP, dilawan dengan berani oleh para aktifis dan umat HKBP. Perampasan tanah di Simalungun, di Parbuluan dan berbagai lokasi di Sumatera Utara oleh warga korban, dilawan dengan sumberdaya yang tersedia.
Nelson, tidak mau hanya “di balik layar”. Dia ikut tampil di depan, yang berakibat pada penangkapan, penyiksaan aparat militer terhadap dirinya. Bahkan ditahan di tahanan militer di Jalan Gaperta dan diititip di RS Bhayangkara untuk dirawat setelah menjadi korban kekerasan dan penyiksaan.
Walau mendapat tekanan dari penguasa, Nelson bersama dengan orang-orang dan institusi yang sevisi dengannya, terus bergerak mendorong rakyat untuk berani bicara hukum, keadilan dan hak azasi manusia.
Di bidang pembangunan fisik, Nelson patut disebut sebagai “pahlawan”. Sebab lewat program besutannya di Departemen Pengmas HKBP, berbagai desa yang sebelumnya tidak mengecap aliran listrik mendapat berkah baru dengan Program Listrik Micro Hydro maupun Solar Cell.
Desa yang sulit air, dialiri air bersih dengan memperkenalkan teknologi tepat guna seperti Hydrolic Ram Pump. Masyarakat yang kesulitan modal diberi akses lewat program Credit Union dan berbagai program pengembangan pertanian terpadu memperkenalkan dana bergulir. Serta banyak lagi program pengembangan yang alpa dilaksanakan oleh pemerintah saat itu.
Salah satu ide Rencana Pembangunan Sekolah Pertanian Alternatif di atas tanah milik HKBP di Tele, yang ditujukan bagi pendidikan dan pelatihan bagi petani-petani oleh petani-petani yang punya keahlian dan pengalaman empirik lewat metoda “people to people education” tidak terlepas dari buah pemikiran Nelson. Walaupun, program ini terpaksa mangkrak, sehubungan dengan pecahnya konflik HKBP kala itu.
Sebagai Preases dan Kepala Departemen Diakonia
Seiring waktu, Nelson terus mengembangkan dirinya di HKBP, hingga dipercaya sebagai praeses dan belakangan menjadi Kepala Departemen Diakonia. Hingga pada suatu ketika, Nelson memberanikan diri tampil sebagai salah seorang calon Ephorus di perhelatan akbar Sinode Godang HKBP Tahun 2012. Waktu itu, saya berpendapat lain. “Tak cocok dia jadi Ephorus”.
Ketidakcocokan yang saya maksud bukan soal kapasitas, kapabilitas dan akuntabilitasnya. Tetapi, sejak awal Nelson, memang terkesan tidak tampil sebagai pendeta HKBP yang “Tongam. Porman dan Badia” sementara sebagai sinodesten, dia masih belum bergerak dari pola fikir lama. Terakhir, setelah tidak memegang jabatan struktur di HKBP, Nelson mulai tampak mendekatkan diri dengan “mimbar”.
Sekarang, saya melihat betapa keresahan Nelson terus bergejolak yang dicoba-uraikannya lewat khotbah-khotbah dan diskusi-diskusinya di jemaat maupun di kalangan aktifis yang tetap menganggapnya sebagai senior dan sahabat yang asyik diajak beradu “jugul”.
Panjang umurlah Pak Pendeta Nelson Siregar. Selamat jadi Emeritus. Shalom!
(Poltak Simanjuntak)
Pdt. Nelson Siregar yang saya kenal adalah pendeta yg sederhana, baik hati dan peduli terhadap pembangunan masyarakat tani di desa2. Kami mengenalnya sebagai tokoh HKBP yg patut dicontoh dgn kelemahan lembutan dan sikap friendly n fairplay nya. Simpati dan salute lihat nya, semoga sehat2 ya Anang pandita laekku naburju, warm regards (BRM Badiaraja Manurung)
Saloommm Lae Poltak Simanjuntak…tepat sekali uraian kalimat lae tetang mantan Direktur Pengmas HKBP thn 92 , tp itu beliau disetiap seminar dan diskusi apa pun itu ttp beliau kritis, saya ada beberapa bulan ikut di Pengmas sampai pd pemburanan pengurus masa beliau thn 92, hingga ke pjbt ephorus SM. Sihombing. Dan sempat dapat pendidikan training tentang Advoksi dari Alm. Asmara Nababan ketika itu, byk hal yg dpt saya peroleh dari masa itu. Ngk terasa dgn berjalannya wkt pak Nelson sdh Pengsiun dr HKBP , selamat menjalani aktivitas pengsiun lah buat pak Nelson terimakasih sdh pernah bersama dlm naungan Pengmas HKBP walau hanta sesaat. Dan salam buat Lae Poltak semoga sukses selalu menyertai aktivitas Lae ku. Horas dari Ir. Dimpu Panjaitan di Pekanbaru (helena pandiangan)
Inang ny Nelson Siregar Jolinda Sihombing pun adalah sosok Aktivis, yang seharusnya di fasilitasi HKBP di masanya demi sinergitas pelayanan rohani dan pelayanan sosial yang di lakukan oleh para istri Pendeta yang mempunyai kemampuan di bidangnya. Banyak sebenarnya potensi dari istri” Pendeta yang mampu menjadi aktivis sosial yang oleh karena keengganan menjaga Tohonan pendeta dan institusi yang menaungi suaminya menjadi terhenti begitu saja… (st.jhonson nababan)
Your point of view caught my eye and was very interesting. Thanks. I have a question for you.